SuaraKawan.com
Bab 9 Pertempuran Panarukan

Panarukan 19

Mahesa Karta, yang benar-benar tak ingin melepas lawannya, terlihat masih berusaha mengayunkan cambuk dan meremukkan tulang dada Ra Kayumas. Dalam kecepatan yang luar biasa, selarik sinar merah melesat menembus dada Mahesa Karta. Ra Kayumas melontarkan Kiai Rimang Pangkon ketika tubuhnya terdorong mundur, namun ia sendiri tak mampu mengelak tatkala ujung senjata Mahesa Karta menggedor pertahanannya.

Sekejap kemudian tubuh kedua senopati pilih tanding itu telah terbaring dan seakan tak bernyawa. Sekelebat bayangan melesat cepat lalu menyambar tubuh Ra Kayumas dan membawanya ke kapal pasukan Blambangan.

Banyak prajurit Demak yang datang mengerumuni Mahesa Karta. Mereka saling pandang dan membisu ketika melihat setengah tubuh pemimpinnya telah hangus terbakar. Tidak seorang pun berani menarik Kiai Rimang Pangkon yang masih menancap padanya.

“Kita kehilangan seorang pemimpin sejati.” Satu tarikan napas menjadi penutup kata orang bertubuh kecil yang kemudian bersimpuh di samping Mahesa Karta. Ia mengangkat dua tangannya lalu berucap lirih. Lama ia berkata-kata tanpa bersuara, lalu membuka pakaiannya kemudian menutup sebagian tubuh Mahesa Karta. Ia berkata kemudian, ”Tidak selangkah pun ia meninggalkan kapal ini. Setiap perompak selalu mendapatkan pengampunan darinya meski berulang kali ia harus menerima peringatan dari para pemimpin di barak. Mahesa Karta!” Beramai-ramai kemudian mereka membawa tubuh Mahesa Karta ke tempat yang beratap.

Orang yang membawa jasad Ra Kayumas telah menjejak kakinya di atas geladak kapal.

“Apa yang harus kita lakukan?”

“ Apakah senapati masih hidup?” bertanya seorang prajurit Blambangan yang menyongsong orang yang telah mendarat di atas geladak kapalnya. Prajurit ini tak peduli lagi dengan tubuhnya yang penuh dengan luka menganga panjang dan masih mengalirkan darah.

“ Aku tidak tahu!” pendek orang itu menjawab. Lalu ia menempelkan telinganya pada lubang pernapasan Ra Kayumas. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepala. Sesaat kemudian ia terkejut ketika Ra Kayumas mendesah lirih, ”Terima kasih.”

Orang itu menundukkan wajah cukup lama. Lalu ia berdiri dan mengedarkan tatap matanya, ”Tumenggung telah meninggalkan kita. Tidak ada alasan bagi kita untuk menyerahkan Blambangan esok pagi. Jika Blambangan harus jatuh ke tangan Demak, itu terjadi setelah mereka mengorbankan diri hingga tiada sisa lagi. Kita harus pastikan Demak menerima hukuman setimpal. Rawe-rawe rantas. Rawe-rawe rantas!

Teman-temannya yang telah melingkar kemudian memberi penghormatan terakhir pada Ra Kayumas, senapati tangguh kepercayaan Hyang Menak Gudra. Juru mudi kapal memutar haluan kapal menuju daratan saat matahari berangsur menenggelamkan dirinya di lintas cakrawala. Rona merah membayangi kaki langit seperti merenungi peristiwa hebat yang baru saja terjadi. Orang yang membawa tubuh Ra Kayumas bersandar di ujung buritan dengan sorot mata menyala saat menatap kapal Demak yang semakin jauh darinya.

Raden Trenggana tentu mengira sangat mudah menundukkan wilayah-wilayah yang berada di dekatnya. Tetapi ia mungkin tidak mendapat laporan sandi bahwa kita telah mengosongkan separuh kekuatan di setiap kadipaten.

Pendapat Pangeran Parikesit : Rencana Penaklukan

Malam tiba dan menyapu bumi Blambangan seluruhnya serta perairan di sebelah utara Tanah Jawa. Dalam pekatnya malam, kesibukan masih berlangsung pada dua kubu yang berseberangan itu. Orang-orang yang bertugas khusus dalam pengobatan tampak hilir mudik menangani para prajurit yang terluka. Sementara mereka yang berpulang telah mendapat perlakuan yang terhomat dari rekan-rekan dan para pemimpin mereka. Kesedihan yang selalu terulang tetapi rasa duka itu pun segera berlalu apabila kemenangan telah teraih. Namun sebaliknya, kesedihan menjadi langgeng bila kekalahan telah mendera. Dan menjadi lebih buruk apabila harapan telah dipatahkan.

Di dalam barak pasukan Blambangan. Mpu Badandan banyak mendengar para senapati tentang peristiwa di medan perang. Sekali-kali ia menarik napas bila senapati mengutarakan peristiwa yang menyesakkan dada. Namun demikian, raut wajahnya masih terlihat tenang meski mendengarkan kabar gembira.

Setiap senapati telah mendapatkan giliran untuk berkata-kata, Mpu Badandan kemudian panjang bertutur, ”Aku tidak ingin kalian mempunyai anggapan bahwa setiap nyawa yang berpulang adalah akibat dari perlawaan yang kita lakukan. Dan setiap kehilangan akan menghasilkan tunas-tunas yang tumbuh dan berkembang lebih baik. Ra Kayumas adalah orang yang kalian sendiri telah melihat sepak terjangnya. Aku tidak ingin mengulang apa-apa yang pernah ia lakukan untuk Blambangan, tetapi Blambangan akan memberi kita lebih banyak orang seperti dirinya.  Ra Kayumas pernah berkata padaku bahwa ia akan menundukkan kepala kepada siapa saja yang menghormati Blambangan. Dan aku tidak pernah melihatnya menundukkan kepala.”

Mpu Badandan menarik napas panjang. Sekilas dari wajahnya terlihat rasa kehilangan yang amat dalam ketika berbicara tentang Ra Kayumas. Kemudian ia meneruskan, ”Besok adalah hari yang berat bagi kita semua dalam menjalani peperangan ini tanpa Ra Kayumas. Besok adalah hari saat kalian melihat Demak akan mengubah siasatnya. Mereka telah kehilangan beberapa kapal dan banyak senapati pilihan.”

Seorang senapati berpangkat rangga bangkit berdiri lalu berkata, ”Mpu Badandan, tanpa mengurangi rasa hormat dan bukan pula karena kita dalam keadaan berduka, tetapi siapakah pengganti Tumenggung Ra Kayumas?”

“Siapakah nama prajurit yang membawa tubuh Ki Tumenggung?” Mpu Badandan menatap lekat setiap wajah para hadirin.

Semua orang saling berpandangan. Dari deret terdepan kemudian berdiri seorang rangga lalu jawabnya, ”Wohing Jajag!”

“Di mana ia sekarang?” lembali Mpu Badandan bertanya.

“Ia tidak berada di dalam ruangan ini,” rangga itu masih menjawab. Lalu lanjutnya, ”Ia tidak turun dari kapalnya meski mendapat giliran untuk beristirahat.”

“Baiklah,” Mpu Badandan lantas mengangsurkan rencana, ”Wohing Jajag akan menggantikan kedudukan Ra Kayumas. Aku minta kalian tidak mempunyai keberatan atas penunjukkan ini.”

“Saya ingin mengatakan sebuah alasan,  Panglima,” kata seorang tumenggung seraya berdiri, lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kemudian katanya, ”Saya harap Mpu memberi saya  kesempatan untuk alasan ini.”

“Katakanlah, Ki Tumenggung Lembu Srana!”

“Kita tidak pernah meragukan kemampuan dan kekuatan jiwani setiap orang yang pernah menjadi anak buah Ra Kayumas…” Lembu Srana yang berbadan besar dan mempunyai kedua lengan yang kekar itu berhenti sejenak. Ia menganggukkan kepala pada Gagak Panji kemudian sambungnya, ”Tetapi Wohing jajag sedang mengalami kekalutan hati. Kita semua merasa kehilangan atas kepergian Ra Kayumas tetapi duka yang mendalam itu lebih dirasakan oleh Wohing Jajag. Kita tidak pernah melihat mereka berdua berpisah walau sekejap mata. Dan saya khawatir apabila Wohing Jajag bertempur dengan semangat membalas dendam. Ia akan kehilangan perhitungan dan pada akhirnya ia tidak dapat meneruskan harapan Ra Kayumas.”

“Jadi bukan karena kau memandang rendah kemampuan Wohing Jajag?”

“Sama sekali tidak, Panglima.”

“Lantas siapakah orang yang mampu menggantikan Ra Kayumas baik dari segi kemampuan bertempur secara pribadi maupun dalam kerjasama? Kita berada di atas air tidak dalam kesendirian.”

“Apakah Semambung dapat melakukannya, Ki Rangga?” Lembu Srana berpaling pada Gagak Panji.

“Aku harus bertanya padanya.” Gagak Panji memanggil seorang prajurit jaga untuk diperintahkannya memanggil Semambung. Orang-orang di sepanjang lembah Sungai Brantas banyak melihat Semambung sering berada di kaki Gunung Semar. Tetapi tidak setiap orang mengenalinya sebagai orang yang mempunyai kepandaian tinggi. Semambung lebih sering terlihat di bandar, pasar dan kedai di sekitar kaki Semar. Terkadang ia berjalan menyusuri tepi Brantas dengan cara yang tidak wajar. Perkenalan Semambung dengan Gagak Panji sendiri pun terjadi karena perkelahian mereka di masa muda. Pada saat mereka berguru dan sering memamerkan ilmu yang mereka miliki. Sejak itu, Semambung sering berkunjung ke Jipang untuk menemui Gagak Panji dan tak jarang mereka berdua melakukan lawatan ke tanah di brang wetan.

Related posts

Jati Anom Obong 48

Ki Banjar Asman

Segi Tiga Cinta di Mataram

Redaksi Surabaya

Jati Anom Obong 50

Ki Banjar Asman