Kiai Plered 74 – Gondang Wates

oleh

Berulang-ulang ia menerjang dengan sepasang tangan yang berayun-ayun sangat kuat. Sedangkan kaki Ki Dirgasana begitu ringan menginjak tanah, menjejak lalu seperti terbang ketika memburu Marmaya.

Pergerakan Marmaya yang lincah dan sejauh itu berhasil menghindari belitan Ki Dirgasana ternyata berbuah kenyataan buruk. Banyak pengawal pedukuhan yang terjungkal roboh setiap kali mereka berusaha menghadang laju senapati Raden Atmandaru. Tubuh mereka terpental, berserakan, bahkan sebagian justru menimpa lingkaran kawan-kawannya sendiri. Ketangguhan jiwani mereka menjadi sebab utama ketika mereka kembali bangkit dan menyusun ulang gelar rancangan Agung Sedayu. Walau dengan langkah terseok, terhuyung dan tertatih, pengawal pedukuhan tetap bertarung cukup hebat!

Pada saat itu kedudukan Marmaya memasuki jarak pantau Sabungsari. Lurah muda ini sejenak memicingkan mata. Alisnya berkerut. Sedikit terkejut ia melihat kemampuan hebat Ki Dirgasana. Sejenak ia bertanya pada hatinya, namun seketika mendapatkan jawaban bahwa Marmaya sengaja menarik Ki Dirgasana ke hadapannya!

“Cerdik!” puji Sabungsari. Kemampuan Marmaya tidak sebanding dengan Ki Dirgasana, dan itu akan melepaskan ikatan pengawal pedukuhan dengan segala siasat yang ada, pikir Sabungsari. Maka dengan cepat Sabungsari mengalihkan tampuk siasat pada Dharmana yang berada di balik punggungnya. Sejenak ia memusatkan pengamatan lalu memutar jalan, memotong pergerakan Ki Dirgasana!

Pemimpin sayap Raden Atmandaru berseru kaget. Dari samping kanannya terasa kekuatan besar tengah  berusaha menyambar dengan kekuatan hebat. Akibat pukulan jarak jauh ini dapat diperkirakan Ki Dirgasana akan merusak bagian dalam tubuhnya bila ia tersentuh tanpa tedeng aling-aling.

“Bukan main!” seru Ki Dirgasana dalam hatinya. Ia meloncat ke samping, lalu membalas dengan rangkaian gerakan yang cepat dan sangat kuat. Sabungsari segera menahan laju tubuhnya yang sangat deras. Lurah Mataram ini harus membalikkan arah serangannya lalu menghindar. Dan, sekejap kemudian mereka terlibat dalam perkelahian yang sangat seru.

Ketegangan segera meningkat di dalam hati dua senapati yang beradu tanding. Kemampuan mereka sangat cepat beralih ke lapisan lebih tinggi. Kelebat tubuh mereka semakin sulit dilihat dalam suasana gelap. Belum dapat dinilai dengan tepat tentang kedudukan mereka. Apakah Ki Dirgasana sedang menekan sangat hebat atau Sabungsari yang menyerang begitu dahsyat? Yang dirasakan orang-orang yang bertempur di sekeliling mereka hanya desir angin yang menyambar-nyambar dan seruan-seruan tertahan tetapi tubuh wadag tidak terlihat.

Seorang pengawal pedukuhan menunjukkan gelagat tidak sabar. Berkali-kali ia berusaha mencari dan memperkirakan kedudukan Ki Dirgasana, tetapi tak kunjung mendapatkan sasarannya. “Bisa saja lurah Mataram itu kalah, sedangkan kami begitu dekat dengan banjar pedukuhan.” Maka ia selalu bersiap dengan cambuk yang dapat digerakkannya secara tiba-tiba apabila Ki Dirgasana berada dalam jangkauan serangnya.

Namun keinginannya hanya setinggi galah yang tertanam sejengkal. Dharmana segera mencegahnya berbuat bodoh. “Bidikanmu dapat mengenai Ki Sabungsari. Bila itu terjadi, siapa yang menjadi benteng terkuat sedangkan Sayoga terikat oleh lawan lainnya,” kata Dharmana.

Sayoga, ya, anak muda ini telah mengerahkan segenap yang dikuasainya. Dan sejauh itu, sejak awal pertarungan, Ki Sarjuma pun belum mampu mendesak Sayoga begitu kuat. Mereka masih berkelahi dengan jarak dan kekuatan yang terukur. Meski begitu, Ki Sarjuma dapat berpikir bahwa ia tidak akan mudah menekuk lutut Sayoga.

Nyatalah bagi semua orang bahwa dua orang itu adalah bagian dari petarung yang benar-benar mumuni walau mempunyai perbedaaan usia cukup jauh. Sekejap kemudian sepasang tangan Ki Sarjuma bergerak menyilang seperti mata gunting yang memotong selembar kain. Kelengahan Sayoga akan memisahkan tubuh dari kepala karena kecepatan lawannya begitu sulit diikuti oleh pandang mata biasa.

Sayoga tersentak! Ia menjatuhkan diri lalu menggulingkan tubuh, menjauh tetapi lawannya mengubah serangan dengan tendangan yang susul-menyusul sangat cepat. Seolah usaha Sayoga tidak berarti ketika sepasang kaki musuhnya semakin dekat padanya. Sayoga terancam maut.

Sayoga tidak pernah mempunyai kesempatan untuk memutar tubuh lalu melejit. Ia pun tidak memiliki ruang untuk berkelit selain bergulingan saja. Serangan Ki Sarjuma merupakan susunan gerakan yang teratur dan wujud kesatuan dari banyak ragam yang sehati. Setiap ayunan dari satu lengan seringkali diikuti oleh gerakan mengejutkan dari tangan lain. Sekilas terlihat seolah gerakan susulan itu adalah serangan mendadak karena Sayoga seringkali salah menerka kelanjutan gerak musuhnya.

Pedang kayu Sayoga seolah tidak memberi pengaruh yang cukup untuk membendung serangan beruntun Ki Sarjuma, kala itu. Ketenangan Sayoga kemudian datang mengambil kendali perkelahian yang sebenarnya telah mencapai keadaan yang menggiriskan!

Setelah berkali-kali usahanya untuk menepuk tanah agar tubuhnya dapat melejit deras dan makin menjauh, Sayoga berhasil mengorak sila ketika telapak kirinya secara penuh dapat memukul tanah sebelum tubuhnya terlontar. Anak muda itu berdiri gagah dengan pedang kayu yang berputar-putar seperti baling-baling. Suasana gelap tidak membendung gaung suara pedangnya yang berputar sangat cepat. Mirip dengung ratusan ekor lebah, pedang Sayoga berubah menjadi senjata yang nggrigisi dengan lambaran tenaga cadangan yang bersumber dari ilmu Serat Waja.

Ki Sarjuma telah mengenal kecepatan Sayoga dan Serat Waja, maka perubahan gerak pedang memberinya peringatan sangat keras!

“Walau kecil kemungkinan anak ini dapat menang melawanku, tetapi bisa saja aku terbunuh olehnya pada malam ini. Anak yang benar-benar menjengkelkan! Dan, aku akan membantunya mati dengan tenang. Jika tidak, mungkin akulah yang harus menerima kenyataan terburuk. Sepertinya, itulah yang akan terjadi,” desis Ki Sarjuma dalam hatinya.

No More Posts Available.

No more pages to load.