SuaraKawan.com
Bab 14 Pertempuran Hari Pertama

Pertempuran Hari Pertama 8

Punggung perbukitan mulai meredam panas matahari dengan kelam. Kekuatan kedua pasukan tampaknya belum berkurang cukup banyak. Meski demikian, jatuhnya korban adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Di setiap jengkal masih terdengar jerit kesakitan dan sorak sorai bila ada kemenangan kecil pada kelompoknya. Pertempuran masih menggelora dan semangat masih menyala pada setiap dada prajurit dari dua pasukan besar itu.

Hari beranjak untuk menjumpai gelap. Ken Banawa segera memerintahkan seorang prajuritnya untuk meniup  sangkakala sebagai tanda berakhirnya pertempuran bagi pasukannya. Hal yang sama juga dilakukan Ki Sentot. Ia berkata pada prajurit di sampingnya, ”Ken Banawa memberi tanda mundur bagi pasukannya.” Kemudian ia tugaskan seorang pewarta untuk mengikuti langkah Ken Banawa.

Kumandang mundur pun bergema. Panjang dan bersahutan.

Sedikit perubahan terjadi pada garis pertempuran dua pasukan sehamparan tebasan parang. Sepintas seolah-olah tidak terlihat ada satu pihak yang terdesak, meski begitu, bagian sayap yang dipimpin oleh Warastika dipaksa mundur setapak oleh Ubandhana. Pada waktu itu, ternyata Warastika belum sanggup memperbaiki keadaan pasukannya hingga pertempuran berakhir pada hari pertama.

Setiap senapati dari kedua pasukan telah meneriakkan aba-aba perintah untuk mundur dan mengakhiri pertarungan. Sekalipun sebagian prajurit tercekam gelisah dan geram, tetapi sulit bagi mereka untuk mengendalikan diri. Sebagian kecil dari mereka masih terlibat perkelahian dan saling melontarkan makian, dengan demikian pemimpin dari masing-masing kelompok harus turun untuk mencegah anggotanya agar dapat mengekang perasaan.

Hanya satu yang tersisa ketika muram senja tidak sanggup menjadi penghalang perkelahian sengit antara Bondan dengan Ki Cendhala Geni.

Mereka masih saling menyerang. Sesekali berbenturan tetapi senjata mereka masih belum mampu menembus pertahanan lawannya. Di bawah cahaya yang semakin berkurang, terlihat tubuh keduanya terbalut keringat seolah bermandikan darah. Beberapa orang berteriak untuk mengingatkan mereka agar menghentikan pertarungan tetapi tampaknya seruan itu tidak dihiraukan.

Tiba-tiba Bondan melompat surut menjauh beberapa belas langkah. Sejenak ia mengatur pernapasan, Ki Cendhala Geni sempat terkejut dan termangu-mangu namun tidak memburu Bondan. Sebaliknya, ia mengambil kesempatan itu untuk mengatur pernapasan juga. Sesaat muncul pikiran dalam benak Bondan untuk mengikuti seruan untuk menghentikan perkelahian. Namun ketika ia teringat kecurangan yang pernah dilakukan lawannya, maka timbul kecurigaan dalam dirinya bahwa lawannya akan beruat culas lagi.

“Mungkin ada baiknya aku berhenti dari pertarungan ini. Orang itu bisa saja akan melakukan kecurangan lagi dan tiba-tiba meninggalkan medan pertarungan ketika terdesak,” kata Bondan dalam hatinya. Kemudian ia melihat sekelilingnya yang telah banyak orang-orang yang bertugas mencari korban dari masing-masing pasukan.

Bagi Bondan, kehadiran Ki Cendhala Geni di tengah pertempuran dapat memberi perbedaan penting. Selain tidak ada orang yang berdiri bebas untuk menghadangnya, hal lain adalah kepandaian lelaki bertubuh tinggi besar itu sulit dipadankan dengan senapati bawahan Ken Banawa. Keadaan Bondan yang tidak membawahi prajurit akan membuatnya bergerak bebas. Maka harapan Bondan pun bertumpu kuat pada kelonggaran Ken Banawa menjalankan siasat perang. nya yang terakhir. Oleh karenanya muncul kemudian bentangan rencana dalam pikirannya. “Baiklah, aku akan meminta izin paman Ken Banawa untuk tidak terikat dalam kesatuan agar dapat leluasa mencari orang itu. Dan mungkin paman akan memerintahkan beberapa prajurit untuk mengawal dalam pencarian yang aku lakukan esok hari,” gumam Bondan seraya mengawasi kedudukan lawannya sambil menyarungkan senjata serta menggulung ikat kepalanya.

“Ki Cendhala Geni, aku akan pastikan esok engkau berlutut sambil merintih seperti kucing dalam perangkap. Sementara ini, aku kira sudah cukup untukmu berkenalan lebih jauh denganku,” kata Bondan seraya melangkah mundur.

Geram Ki Cendhala Geni mendengar ejekan Bondan.

“Kadal bunting! Apakah engkau mengira akan selamat saat ini?” teriak Ki Cendhala Geni. “Tetapi, baiklah, mari kita lihat apakah engkau cukup hebat untuk membunuhku? Sedangkan tubuhmu akan terseret oleh kuda dan terinjak banyak telapak kaki hingga wajahmu tidak akan dapat dikenali!”

Bondan hanya menatap lekat  Ki Cendhala Geni yang berlari kecil meninggalkan dirinya. Tiba-tiba kakinya menghentak tempatnya berpijak, begitu kuat hentakkan tenaga inti yang tersalurkan melalui kakinya dan terasalah getaran seperti gempa yang melanda tanah sekitarnya, pohon-pohon sekitarnya pun berguncang. Bondan melepaskan gejolak perasaan agar dapat melewati malam dengan tenang.

Related posts

Nir Wuk Tanpa Jalu 4

kibanjarasman

Membidik 60

Ki Banjar Asman

Membidik 39

Ki Banjar Asman