SuaraKawan.com
Bab 8 Gerbang Demak

Gerbang Demak – 9

“Hamba, Kanjeng Ratu.” Adipati Hadiwjaya mengatur napas kemudian melanjutkan perkataannya, ”Sebuah ilmu yang saya pikir telah hilang, ternyata muncul lalu menebar akibat buruk bagi Pajang.”

“Siapakah yang membawanya kembali?”

“Kiai Rontek.”

“Selubung asap yang panas dan menghanguskan lembah Merbabu. Wedhus Gembel,” lirih Sultan Trenggana berkata-kata, kemudian menarik napas panjang. ”Ilmu yang dikembangkan oleh seorang pertapa di celah Merbabu. Aku tidak mendengar apabila ia mengambil murid, namun banyak orang di masa lalu telah menjungkir balik lereng-lereng dari Merbabu hingga Merapi. Mereka mengira pertapa itu meninggalkan ilmunya dalam guratan yang terbaca. Tetapi hingga kau sebut nama itu, mungkin ia adalah orang yang beruntung. Dan mungkin pula karena nama itulah yang membuatku benar-benar ingin tahu segalanya, Ngger.”

“Hamba, Kanjeng Ratu.”

“Kau mengerti bahwa sesaat lagi aku akan berlayar menuju Panarukan. Maka aku harus berkata kepadamu bahwa aku telah menetap hati dengan menunjukmu sebagai pengganti di Demak.”

“Kakang Pangeran Mukmin yang lebih pantas menjadi pengganti, Bapa.”

“Untuk itulah aku mengajakmu berbicara di tempat ini.”

Ruangan yang dipilih oleh Raden Trenggana berada di bagian bawah istana Demak. Untuk mencapai ruangan itu, seseorang harus melintasi bilik khusus Sultan Trenggana lalu membuka beberapa bilah papan yang berada di balik meja jati yang berukuran besar. Papan-papan itu sekilas apabila dilihat dari luar tampak seperti panggung kecil, namun di bawah panggung itu terdapat ruang yang dapat menampung lima orang dewasa.

Raden Trenggana melanjutkan kemudian, ”Angger Pangeran Mukmin tidak dapat aku serahi tugas sebagai pengganti. Ia telah mengambil tempat sebagai pemimpin pasukan pendukung. Selain itu, bala bantuan dari wilayah barat pun telah mengenalnya dengan baik.” Ia kemudian menyandarkan punggung, lantas Raden Trenggana melanjutkan, ”Mungkin kau berpikir mengenai Arya Penangsang. Apakah benar yang aku katakan?”

Adipati Hadiwijaya mengangguk.

“Ki Tumenggung Gajah Dampit sebagai pemimpin pasukan sandi melaporkan padaku bila Gagak Panji berada di balik sebuah gerakan untuk mengambil alih kedudukan ini. Dalam laporannya, Ki Gajah Dampit menyebut bahwa Kiai Rontek adalah satu punggawa terkuat yang bergabung pada barisan Gagak Panji. Tetapi aku tidak terkejut ketika ia mengatakan bahwa Arya Penangsang turut serta dalam gerakan itu.” Terdengar satu tarikan napas panjang dari Raden Trenggana ketika bibirnya telah terkatup. Lalu ia meneruskan, ”Atas laporan itulah kemudian aku pikir bahwa membiarkan Arya Penangsang tetap berada di Jipang akan memberinya waktu dan ruang untuk sedikit mengenali Demak. Selain itu, Kiai Rontek sudah barang tentu akan berpikir ulang apabila ia mengetahui kau berada di tempat ini. Terlebih jika ia tahu bahwa kau selamat dari keganasan ilmunya. Karena satu kemungkinan adalah ia akan berpikir bahwa paman Parikesit akan mendampingimu.”

“Kakang Penangsang yang melakukannya, Bapa,” kata Adipati Hadiwjaya, ”Selepas kepergian Kiai Rontek bersama seorang kawannya, Kakang Penangsang mengambil alih penyembuhan yang dilakukan Eyang Parikesit.” Lalu Adipati Hadiwijaya menceritakan sebagian peristiwa yang ia lalui bersama Pangeran Parikesit tetapi ia tidak mengatakan bahwa Adipati Penangsang telah mengantarkannya hingga gerbang kota.

Raden Trenggana lantas menatap tajam wajah menantunya. “Arya Penangsang pun hadir di tempat itu. Tentu saja kehadirannya mungkin akan membuat perkembangan gerakan itu semakin rumit,” katanya.

“Hamba tidak mengerti, Bapa.” Saat itu Adipati Hadiwijaya memutuskan untuk mengatakan pada mertuanya mengenai rencana Pangeran Parikesit dan Ki Buyut Mimbasara yang berkeinginan agar Raden Trenggana menarik mundur rencananya. Tetapi ia tidak banyak bercerita tentang Pangeran Benawa.

“Seharusnya yang terjadi adalah Arya Penangsang memutus urat napasmu, Ngger,” kata Sultan Trenggana seolah-olah peristiwa yang dialami menantunya tidak meninggalkan bekas pada hatinya. ”Tetapi ia tidak melakukannya, bahkan ia turut menolongmu. Agaknya terjadi perubahan dalam pendiriannya, tetapi siapa orang yang mampu mengubah Arya Penangsang?”

“Kenyataan itu memang terjadi,” kata Adipati Hadiwjaya dengan pandang mata menatap ke bawah.

Lantas Raden Trenggana bangkit dari duduknya dan berkata tegas, ”Apapun yang kau alami di dalam hutan bersama Arya Penangsang tidak membuatku berpikir untuk mengubah keputusanku. Bahkan apabila Paman Parikesit berada di tempat ini dan mencoba untuk mengalihkan perhatianku, aku dapat pastikan bahwa usahanya tidak akan pernah berhasil. Menghukum kadipaten di wilayah timur adalah kewajiban yang harus aku jalankan. Karena memang seperti inilah Demak.”

Related posts

Tanah Larangan 6

Ki Banjar Asman

Panarukan 7

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 52 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman