SuaraKawan.com
Bab 2 Nir Wuk Tanpa Jalu

Nir Wuk Tanpa Jalu 9

nir wuk tanpa jalu, bulan telanjang, sang maharani, novel indonesia, prosa liris, novel silat indonesia, cerita silat jawaAku berkata dalam hati, “”Aku memang bukan tamu.” Sebenarnya aku ingin bertanya tentang orang-orang yang mati terbunuh di dalam ruanganku, tapi aku urungkan niat. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai urusan denganku. Andai kata memang ada persoalan, aku tidak merasa kenal dan tahu tentang orang-orang itu.

Aku masih berdiri tanpa sehelai benang dalam selubung cahaya yang remang-remang. Ra Gawa, Gita Nirvati serta Anindita Rukmi sudah bergeser dari kedudukan semula. Mereka berjaga di depan dan belakang pintu. Sejenak kemudian, aku mengenakan kembali pakaian, melangkah ke pembaringan, lalu duduk mengamati mereka bertiga.

Tiba-tiba Ra Gawa melesat, melompat keluar dari ruangan, berpaling ke samping kanan dengan sikap tubuh siaga. Mungkin ada desir langkah pada lorong panjang yang gelap kemudian terdengar olehnya. Sikap yang lain dilakukan oleh Gita Nirvati dan Anindita Rukmi. Mereka berdua menempatkan diri tiga langkah di belakang Ra Gawa. Aku belum sempat menarik napas panjang ketika mendengar derap kaki dari lorong panjang yang diawasi oleh Ra Gawa.

Dalam sekejap kemudian, Ra Gawa berkelebat melompati rumpun semak sambil mengangkat tombaknya yang berujung bulan sabit. Mungkin dia mengira ada seseorang yang sedang  bersembunyi di dalam taman yang berada di depan ruangan.

Aku bertanya dalam hati, akankah hidupku akan menetap dalam perburuan> Sungguh, aku tidak mengerti dengan segala perkembangan yang terjadi sejak aku berendam bersama Dewi Rengganis. Mungkinkah ini yang disebut sebagai kutukan? Aku melihat Anindita Rukmi memberi tanda dengan sebelah lengan agar aku tetap tenang. Memang, aku dapat mengerti kewajibannya sebagai kepala keamanan, tetapi bukankah aku berhak mempunyai perasaan khawatit?

Karena tidak dapat menahan keinginan untuk melihat keadaan di luar ruangan, aku beranjak bangkit dari tepi pembaringan. Dari balik daun pintu, aku dapat melihat Ra Gawa sedang berancang-ancang menyusun sebuah tata gerak bela diri yang mendasar. Aku kerutkan sepasang alis. Aku terkenang dengan perkelahian sebelum memasuki kotaraja.

Sepertinya tiga kedipan mataku menjadi hitungan yang tidak disadari oleh Ra Gawa. Lelaki yang diangkat menjadi pengawal pribadiku memang sangat cekatan. Sepasang kakinya bergerak begitu lincah dan cepat membawa tubuh hingga tampak seperti bayangan yang melayang-layang. Pergerakan Ra Gawa seakan berlangsung lebih lambat dalam pandanganku. Keadaan yang berbeda dengan pertempuran yang pernah aku lewati sebelum sampai di tempat ini. Pada pagi itu, ketika perkelahian yang melibatkan Mpu Pali terjadi, mataku berkunang-kunang dan nyaris segalanya terlihat kabur di mataku. Namun sekarang, di depan bilikku, aku dapat mengikuti kecepatan dan kerumitan tata gerak Ra Gawa. Dua kaki Ra Gawa berloncatan panjang dan begitu ringan memantul ke depan dan belakang, ke kiri dan kanan, sementara tombaknya terus berputar-putar menutup tubuhnya dari serangan lawan.

Beberapa saat kemudian, dua orang melesat dari belakangku, melompati tlundak lalu berpisah arah. Anindita Rukmi dan Gita Nirvati seakan berlomba-lomba menyambut musuh – yang belum aku ketahui kedatangannya. Dua perempuan cantik itu meninggalkan semerbak harum yang mengelilingi batang hidungku.

Aku pejamkan mata. Aku melihat pedang Gita Nirvati menyabet datar, mematuk atau memotong silang dengan cara yang berbahaya. Aku kira bila lawannya sesaat lengah, itu sudah cukup bagi Gita Nirvati untuk mengirim lawannya ke dunia orang mati. Tubuh Gita Nirvati bergerak sangat cepat dan sepasang lengannya bertubi-tubi menghujani lawan dengan serangan berbahaya. Orang yang menjadi lawan Gita Nirvati adalah seorang lelaki yang memakai gelang berwarna hitam pada tangan kirinya. Aku ingat bahwa itu adalah tanda sama dengan orang-orang yang dipimpin Ki Jalapitu ketika menyerang rombongan kami.

Benar, aku membuat perkiraan yang benar ketika betis lawan Gita Nirvati terlihat mengucurkan darah. Sekelebat gerakakan Gita Nirvati menambah lagi luka-luka pada musuhnya. Bertambah lagi dan darah melumuri sebagian tubuh lawannya.

Sungguh, aku lebih suka duduk sambil mengayun kaki di beranda rumah kakekku di Kalingan. Meski aku belum merindukan tanah kelahiranku, tetapi suasana indah di pategalan terlalu indah untuk diabaikan.

Seseorang memekik kesakitan. Di dalam benakku, aku melihat dua lelaki jatuh lalu bergulingan menjauhi Anindita Rukmi. Oh, benarkah aku dapat melihat dua peristiwa yang sedang berlangsung melalui benak dan batinku secara bersamaan? Bagaimana, ah, bagaimana perubahan demi perubahan berlangsung sedemikian cepat?

Sementara itu, di balik kelopak mataku yang tertutup rapat, aku melihat tiga gelanggang perkelahian yang berlainan keadaan.

Pada lingkar perkelahian Ra Gawa, pergumulan dan adu senjata terjadi semakin seru. Ternyata Ra Gawa sedang bertarung melawan tiga orang yang mempunyai simpanan ilmu yang tidak dapat dianggap rendah. Meski begitu, meski jumlah lawan yang dihadapi Ra Gawa lebih banyak tetapi mereka tidak dapat mempersempit ruang gerak Ra Gawa. Ah, tiba-tiba muncul perasaan gila dalam jiwaku. Aku tersenyum tanpa dapat dikendalikan. Ra Gawa memang gagah, perkasa dan sedap dipandang. Angin panas menyapu wajahku! Ak segera sadar dari lamunan yang membinasakan perhatian dan pikiran! Udara panas yang mengitariku seolah mengirimkan getaran tentang hasrat yang sangat kuat untuk membunuh. Benar, tiga lawan Ra Gawa terlihat begitu menggebu agar segera dapat membinasakan salah satu pengawal pribadiku. Mereka berusaha mengepung Ra Gawa dari tiga penjuru angin, tetapi lelaki rupawan itu masih terlalu gesit untuk dikekang.

Anindita Rukmi. Wanita cantik bertubuh semampai yang benar-benar mampu menipu mata dan perasaan. Jika seseorang beranggapan Anindita Rukmi adalah wanita lemah yang mudah jatuh dalam pelukan, sesungguhnya mereka tertipu. Di dalam gelar perkelahian satu melawan satu, Anindita Rukmi begitu perkasa dengan dua tusuk konde sebagai senjata. Keris panjang lawannya sama sekali tidak berdaya untuk membongkar pertahanan Anindita Rukmi. Kepala pengawal rahasia yang dipercaya Rakai Panangkaran untuk menjaga tempat-tempat pemujaan yang dianggap penting, sungguh, terlihat mampu mengendalikan keseimbangan. Dua orang yang melawannya sudah bermandi darah dan kekalutan terlihat jelas di mata mereka.

Kegelisahan jelas berpendar dari tiga lingkaran perkelahian. Raut wajah putus asa tampak terlihat dari sinar mata orang-orang yang bertempur melawan pengikut Rakai Panangkaran.

Sebenarnya, apa yang menjadi sebab hingga mereka mengambil jalur maut dengan menerobos istana kecil disiapkan Rakai Panangkaran untukku? Mungkin mereka mendapatkan laporan yang salah, tetapi apakah nalar mereka dapat bekerja? Mungkin, mungkin saja memang begitu kenyataannya. Atau barangkali mereka sedang menguji kekuatan ayahku yang dianggap sedang diwujudkan pada suasana sekitar istanaku. Aku tidak tahu.

Satu demi satu penyusup dapat dijatuhkan. Mereka binasa di tanah lapang dan taman yang mengelilingi ruanganku. Aku mendengar tiga pengawalku menghela napas. Mungkin itu bentuk dari kelegaan setelah berhasil melampaui lonceng-lonceng kematian yang dipukul bertalu-talu sejak kehadiranku di kotaraja, tetapi aku tidak pernah tahu. Baiklah, aku membuka mata perlahan-lahan. Semua kejadian yang terpampang di dalam benakku terjadi persis dengan kenyataan yang terbentang di depan mataku. Aku hanya dapat mengembangkan angan-angan ; Surak Kelurak sedang mencari jalan untuk membalas dendam pada ayahku, Rakai Panangkaran.

Related posts

Lembah Merbabu 1

Ki Banjar Asman

Bulan Telanjang 22

Redaksi Surabaya

Kabut di Tengah Malam 2

Ki Banjar Asman