SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 65

Hilangnya kekuatan itu sangat mengejutkan Ki Patih Mandaraka, walau demikian, ketajaman nalarnya benar-benar mumpuni ; ia dapat mengira bahwa peristiwa yang terjadi di dalam bagian tubuhnya erat terkait dengan geliat Kiai Plered yang memancar dahsyat! Selanjutnya memang terjadi hal yang tidak mudah dilakukan Ki Patih Mandaraka yang didera letih dan kepayahan karena sebagian tenaga cadangannya berpindah ke dalam diri Sukra ; ujung lancip Kiai Plered tepat menyambut bagian terdepan dari helai cambuk Ki Hariman yang berwarna kebiruan.

Bumi bergetar. Tercipta bunyi ledakan yang tidak memekakkan telinga. Bunyi ledakan yang mendentum sangat halus. Ledakan yang sanggup menciptakan lubang besar yang setara dengan luas sepuluh roda kereta kencana Panembahan Hanykrawati. Ledakan yang menghamburkan gelombang tenaga yang sanggup menggeser Sukra, Ki Demang Brumbung, Ki Lurah Plaosan serta para tawanan sejauh lima langka tanpa mengubah sikap duduk mereka, tanpa melukai bagian luar tubuh mereka! Namun, sebagian orang mendadak tak sadarkan diri. Ledakan yang sangat mengerikan ketika seberkas bianglala berkelebat seperti cakram tajam lalu membelah batang pohon sebesar sepelukan dua orang dewasa! Pohon terbelah begitu halus, tanpa guratan serat yang tertinggal! Sangat mengerikan karena pohon tidak segera tumbang! Ledakan yang cepat mengeringkan permukaan tanah yang basah oleh hujan!

Tubuh Ki Hariman terpental, terjungkal, bergulingan hingga belasan langkah surut, lantas bangkit dengan dada nan tegak. “Wedhus! Ia masih hidup!” Ia segera menghimpun kembali kekuatan yang terserak, sorot matanya begitu buas dan sangar. Ki Hariman siap menyerang Ki Patih Mandaraka!

Sedangkan Ki Patih Mandaraka terdorong jauh ke belakang, menggeliatkan tubuh dengan sebelah lengan terjuntai hingga ujung Kiai Plered menyentuh tanah, sementara sebelah kakinya membentuk siku-siku dengan lutut di tanah. Namun Ki Patih Mandaraka tidak sanggup berbuat sama dengan musuhnya. Segenap urat dan rangkaian sarafnya seolah tak kuasa memanggil pulang tenaga yang menghilang!

Hampir serupa dengan tenaga gaib yang menyusup ke dalam tubuh Agung Sedayu, hanya saja, Ki Patih Mandaraka lebih tenang menerima unsur-unsur yang berlainan dengan kekuatannya sendiri. Ki Patih mampu menyesuaikan diri sehingga perubahan-perubahan mencolok yang dapat melemahkan ketahanannya tidak terjadi. Meski demikian, saluran-saluran yang biasa digunakan untuk mengungkap kekuatan inti telah tersumbat dan benar-benar tertutup! Perkembangan yang aneh menempatkan Ki Patih Mandaraka dalam keadaan yang sangat berbahaya. Ia hanya mampu bergerak dengan kekuatan wadag. Kecepatannya menurun hingga setara dengan lelaki biasa berusia puluhan tahun. Lambat!

Pergumulan di Slumpring dan pecahnya perhatian karena luka dalam yang diderita Agung Sedayu memaksa Ki Patih Mandaraka menguras tenaga melebihi batasan. Ditambah pemandangan terakhir mengenai Agung Sedayu yang diliputi oleh kabut pekat. Apakah Agung Sedayu dapat selamat? Ini benar-benar menjadi sebab-sebab goyah pertahanan patih Mataram. Keadaan mungkin akan jauh berbeda bila Ki Patih memulai pertarungan dengan segenap kekuatan yang utuh.

Ki Patih Mataram nyaris tidak sanggup mengangkat tubuhnya sendiri, tetapi apa yang dapat dilakukan Ki Demang Brumbung dan Sukra? Ki Lurah Plaosan? Tidak ada! Karena urat saraf mereka pun seolah terputus dan berada dalam kendali kekuatan yang susah dimengerti.

Benak Ki Patih Mandaraka dipenuhi bayang-bayang hitam. Sejumlah kunang-kunang berterbangan liar di balik kelopak matanya. Untuk sekejap, segala yang berada di dalam kepala patih Mataram mendadak hilang! Sesaat kemudian, ia terbangun. Seolah kembali dari kampung orang-orang mati, ia berkata lirih, “Tidak terjadi sesuatu padaku. Ini sangat bagus, tetapi aku harus dapat memaksa diri.”

Dengan sisa kekuatan, ia menggerakkan tubuh sedikit demi sedikit dengan keagungan sikap yang tersamar. Ia berusaha berkata lantang untuk mengulur waktu, “Apakah engkau akan melanjutkan pertempuran, Ki Sanak?”

Ki Hariman tertegun. Pandangan matanya heran. Bagaimana Ki Patih mampu menegakkan punggung? Sedangkan menurutnya, Ki Patih seharusnya terjungkal karena dua lututnya telah bergetar. Dan mati karena ia telah mengerahkan kekuatan puncak yang disadapnya kitab Kiai Gringsing. Lalu sepasang mata Ki Hariman lekat menatap senjata yang masih erat tergenggam Ki Patih Mandaraka, Kiai Plered. Bukankah itu adalah Kiai Plered? Bukankah seharusnya ia berada di dekat Raden Atmandaru? Bagaimana dapat terlepas dari beliau? Pertanyaan bermunculan dalam pikiran Ki Hariman, tetapi sepertinya ia tidak ingin mengendurkan tekanan. Tubuhnya kembali merendah.

Senyum tipis menghias Ki Patih Mandaraka, ucapnya lagi, “Engkau mengira aku akan mati? Kematianku adalah peristiwa yang sudah dapat dipastikan, Ki Sanak.” Meski begitu, meski terlihat tegar dan tidak terlihat mengalami guncangan, Ki Patih mengatur napas agar tidak terdengar terengah-engah oleh Ki Hariman. Bagian dalam tubuh Ki Patih terguncang karena benturan yang sangat hebat. Ia mengulur waktu sambil memperkirakan perkembangan yang terjadi di lingkaran perkelahian Nyi Banyak Patra. Mungkin ia harus berharap pada keponakannya. Mungkin ada jalan yang tidak terduga. Mungkin… mungkin dan mungkin saja karena segala sesuatu dapat terjadi tanpa dikehendaki.

Dalam waktu itu, Nyi Ageng Banyak Patra benar-benar membuka pertahanan, membiarkan dadanya terhantam pukulan yang dilambari tenaga cadangan yang sangat dahsyat!

Lontaran sepasang tangannya tidak dapat dihentikan. Namun dada Nyi Ageng Banyak Patra hanya tersentuh oleh kuatan wadag Ki Manikmaya! Kurang dari sejengkal atau lebih dekat lagi, Ki Manikmaya harus melanjutkannya dengan mata terbelalak! Ia terkejut tanpa tandingan. Pikirnya, bagaimana tiba-tiba tenaganya lenyap dan seolah tercelup dalam kekuatan yang tidak menimbulkan riak atau gelora? “Anak demit!” umpatnya dalam hati.

Penyerahan diri sepenuhnya pada kekuatan yang tidak terjangkau oleh semesta menjadi landasan jiwani Nyi Ageng Banyak Patra, ditunjang oleh penguasaan ilmu yang diturunkan Ki Kebo Kenanga, perempuan berhati singa itu hanya terdorong sedikit. Lambaran tenaga cadangan Ki Manikmaya mendadak lebur dalam kehampaan ketika memasuki tabir perlindungan Nyi Ageng Banyak Patra.  Ilmu yang diterapkan oleh guru Kinasih berlainan watak dan sifat dengan kemampuan yang dikuasai oleh dayang Prabu Brawijaya di Gunung Lawu. Meski mempunyai kesempatan untuk memukul balik, Nyi Ageng Banyak Patra memilih untuk tidak menyerang Ki Manikmaya. Perubahan akan menempatkannya pada tanduk bahaya. Samudera kehampaan yang baru diterapkannya akan berbalik arah lalu membunuhnya. Itu dapat terjadi karena gelombang tenaga Ki Manikmaya belum benar-benar larut dalam olahan ilmunya. Nyi Ageng Banyak Patra menjejak kaki, mencelat ringan dan tinggi, melemparkan konde pada musuhnya. Berbarengan dengan itu, Nyi Banyak Patra mengayunkan selendang, membelit Ki Patih Mandaraka lalu menjauhkannya dari jangkauan serang Ki Hariman.

Sejenak kemudian, setelah dirasakan gelombang tenaga Ki Manikmaya cukup tenang, selendang berlukiskan gunung dan tumbuhan itu berdesing nyaring dan melengking, menghujani Ki Hariman  secara luar biasa. Dan, bahaya besar kini mengancam jiwa orang yang menyadap isi kitab Kiai Gringsing tanpa seizin Agung Sedayu.

“Wedhus! Siapakah perempuan gila ini?” Ki Hariman melesat maju, menutup jalur serangan, mengayunkan lecutan sandal pancing, dan kedipan berikutnya, pertarungan yang seru pun meledak!

Sekali lompat sambil menghindari sambitan konde yang kemudian terbenam dalam tanah tanpa sisa, Ki Manikmaya telah berada di permukaan tanah. Sepintas ia melihat terjangan Nyi Ageng Banyak Patra lalu melirik keadaan Ki Patih Mandaraka. “Tidak ada gunanya menyabung nyawa hingga mati dalam gelap malam ini,” batinnya berkata. Lantas ia berseru mengancam, “Perempuan! Jangan merasa bangga dengan keberhasilanmu kali ini. Sesaat lagi, engkau akan menyesali segalanya.” Pikirnya pula, buat apa mengusik Ki Patih Mandaraka? Itu tidak akan ada manfaatnya. Ia belum mengetahui keadaan sebenarnya dari orang kepercayaan Panembahan Hanykrawati, maka bertaruh dalam ketidaktahuan adalah kebodohan paling terang jika ia menyerang patih Mataram. Katanya dalam hati, “Andaikan ia menjadi lemah, Ki Juru Martani tetaplah ular berbisa. Mematikan dan berbahaya.” Sekejap kemudian, Ki Manikmaya melesat, menghilang di antara rintik hujan yang turun di tengah kegelapan.

Related posts

Sabuk Inten 11

Redaksi Surabaya

Lembah Merbabu 30

Ki Banjar Asman

Persiapan 4

Ki Banjar Asman