SuaraKawan.com
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 4 – Pedukuhan Janti

Menjawab seruan pengawal yang berjaga di gardu pengamat, Ki Gatrasesa berkata, “Tetap pada kedudukan kalian. Kita memang menunggu. Bila tidak, bisa jadi mereka akan mendapat celah untuk menerobos pedukuhan.”

Sebagian pengawal menampakkan keberatan dari tatap mata mereka. Namun kepatuhan pada perintah menjadi ketundukan yang telak. Tidak dapat ditawar meski dalam pandangan mereka adalah menunggu adalah sikap terburuk menghadapi serangan Sayap Garu Wesi.

Nyaris bersamaan dengan pembakaran lubang-lubang galian yang lebih mirip dengan parit, jalan-jalan pedukuhan tiba-tiba penuh orang hilir mudik. Sejumlah orang yang tidak turut dalam pengungsian terlihat ketakutan dengan sulur penyesalan terpampang jelas pada wajah mereka. Beberapa berusaha tegar lalu menggabungkan diri ke dalam barisan pengawal dan menunggu perintah Ki Gatrasesa. Sementara itu para peronda terus menerus berkeliling untuk menenteramkan penduduk serta mengawasi keadaan. Namun ada sebagian orang yang meringkuk di sudut-sudut rumah dan tidak berdaya menggerakkan lutut yang terkulai. Yang terjadi kemudian adalah pengawal pedukuhan turun untuk membujuk dan merayu agar mereka mau meninggalkan rumah.

Beberapa orang menyatakan dirinya akan bergabung dengan cara menjaga bangunan dan tanah mereka sendiri. Ketika itu mereka ungkap secara terbuka, Jumena segera memberi izin, “Itu lebih baik, Ki. Kami akan bersandar pada penjagaan seperti itu bila terjangan musuh tak lagi dapat dibendung.”

Dalam kesempatan lain, pertengkaran kecil sempat memicu keadaan lebih memanas.

“Ki Sanak,” kata Ki Gatrasesa, “meninggalkan rumah lalu bergabung dengan yang lain di banjar atau pendapa akan memudahkan kami saat melindungi pedukuhan ini.”

“Dan itu juga lebih mudah bagi musuh untuk menghabisi kita semua,” sahut seorang lelaki yang berbadan gempal tapi mengaku sedang menderita sakit bagian dalam.

“Meski sebenarnya lebih baik bagi kita semua daripada menyisakan satu orang yang hidup tetapi menjadi hamba,” tukas Ki Gatrasesa. “Baiklah, Ki Sanak. Silahkan berkeras hati, kami tidak mempunyai waktu panjang untuk berbantahan tentang persoalan ini.”

Malam masih terlampu dini untuk menjemput fajar.

Kecepatan Sayap Garu Wesi tidak dapat dipandang sebelah mata. Mereka begitu lugas dan cepat ketika menyergap para pengawal yang berjaga di batas wilayah pedukuhan. Pekarangan penduduk tidak berbatas dengan bangunan batu. Sebagian dari mereka hanya menyusun bebatuan sungai setinggi pinggang. Kebanyakan mereka memagari pekarangan dengan tanah yang ditinggikan lalu dipenuhi tanaman perdu atau pohon pisang. Maka menghadapi dinding pertahanan pedukuhan yang tidak dirancang sebagai benteng, laskar Sayap Garu Wesi tidak menemui kesulitan yang berarti.

Mereka tidak bergerak lurus tetapi berliku-liku sesuai dengan pesan Raden Atmandaru. Mereka tidak menunggu benda yang melintang pada jalur gerakan tetapi selalu berkelok dengan tujuan untuk mengacaukan pengamatan musuh. Dengan begitu pemanah pedukuhan benar-benar kesulitan untuk melepaskan bidikan karena sasaran mereka senantiasa mengubah arah. Pengawal pedukuhan yang menjaga batas luar sebelah barat nyaris tidak mendapat kesempatan untuk membidik secara tepat. Pasukan Ki Garu Wesi terus menerus berloncatan, bertukar tempat bahkan sesekali mereka menelungkup lalu merayap maju.

Walaupun benturan belum benar-benar terjadi, para penjaga batas telah merasakan bahwa tenaga mereka habis terkuras!

“Setiap anak panah yang kita lepaskan seolah tidak ada yang dapat mengenai sasaran,” kata seorang penjaga wilayah. “Apakah sudah waktunya untuk menarik pedang?”

“Tak perlu buru-buru,” jawab kawannya yang berjarak dua langkah darinya. “Kita tidak mengetahui jumlah mereka dan tempat mereka terus menerus berubah. Kita masih membutuhkan waktu sebelum mereka berada dalam jarak dekat. Dalam waktu itu, mungkin pedang dan golok akan lebih melindungi pedukuhan.”

“Bila benar yang kau katakan, cepat atau lambat, kita akan terpotong dan terbelah. Lihatlah kecepatan mereka itu! Mungkin dalam sepenginang sirih, mereka akan mendadak menyerang dari balik punggung kita. Benar-benar meresahkan!”

Mendadak dua penjaga berdiri dan seorang dari mereka berkata, “Engkau benar, engkau benar sekali. Kami akan bersiap di garis berikutnya. Kami akan mundur sejauh lima belas langkah.”

“Hey! Jangan lakukan itu. Barisan ini akan berlubang, lalu siapa yang akan menghadang mereka?”

“Itu akan menjadi urusan kami bila mereka memasuki wilayah Janti.”

“Kalian sungguh-sungguh telah menjadi gila!”

Namun umpatan hanyalah kata-kata yang menguap di angkasa ketika dua penjaga tetap meninggalkan tempat penjagaan.

Waktu tetap mengapung sejauh sepenginang sirih.

Related posts

Cuzzz, Nyebelin!

Redaksi Surabaya

Sampai Jumpa, Ken Arok! 4

Ki Banjar Asman

Bulan Telanjang 21

Redaksi Surabaya