SuaraKawan.com
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 80 – Randulanang

Tombak pendek itu tiba-tiba menjadi benda rahasia. Raden Atmandaru sama sekali tidak menyebutkan namanya ketika duduk berhadapan dengan Ki Sekar Tawang di pendapa rumah Ki Gandung Jati, pemimpin Pedukuhan Randulanang.

Tanpa menyebut nama senjata keramat itu, Raden Atmandaru berkata, “Pertengahan malam baru saja berlalu. Maka seharusnya aku telah mendapat kabar dari Gondang Wates dan pedukuhan induk dari penghubung. Mereka sebaiknya aku beri kesempatan untuk menyaksikan rupa sesungguhnya dari tombak ini. Aku pikir, itu akan menjadi berita bagus bagi mereka di pedukuhan itu.”

Ki Sekar Tawang memandang arah luar lalu melirik ke atas tetapi ia tidak berkata-kata.

Lanjut Raden Atmandaru dengan ucapannya, “Mungkin Anda dapat memberi sedikit gambaran tentang keadaan sekitar keraton. Saya belum mendengar Anda bicara sedikit pun mengenai itu.”

“Saya, Panembahan.”

Namun sebelum Ki Sekar Tawang meneruskan ucapannya, Raden Atmandaru mengangkat telapak tangannya lalu tersenyum. Katanya kemudian, “Setiap kali saya mendengarkan Anda mengucapkan kata ‘Panembahan’, yang saya rasakan adalah kedudukan itu telah berada dalam jangkauan. Sangat berbeda bila yang mengatakan adalah orang selain Anda. Kiai, mungkinkah Anda telah mendapatkan wisik tentang hasil dari gerakan ini?”

Ki Sekar Tawang menarik napas panjang sebelum berkata-kata. Sejenak kemudian ucapnya, “Saya mengamati Panembahan Hanykrawati sejak ia berusia belasan atau mungkin sekitar dua puluhan tahun. Namun sedikit sekali keterangan yang dapat saya berikan pada Anda, Panembahan. Sejauh ini, saya hanya memungut serpihan-serpihan yang terserak dari orang-orang di sekitarnya. Anda mungkin akan mendapatkan gambaran lebih banyak bila Ki Hariman berada di sini.”

“Oh, tidak. Bukan tentang siasat, Kiai. Saya ingin mendengarkan sendiri dari Anda tentang peluang yang kita miliki.”

“Secara umum garis besar mengenai kehidupan Panembahan Hanykrawati justru lebih banyak yang tersingkap pada waktu belakangan ini. Saya tidak dapat memastikan waktu yang tersisa dalam genggamnya, hanya saja, saya berperasaan tajam bila ia tidak akan bertahan hingga akhir tahun ini.”

“Aah,” lirih terdengar dari Raden Atmandaru ketika menarik punggung lalu bersandar pada tiang sakaguru pendapa.

Mereka mengalihkan pembicaraan sewaktu Ki Gandung Jati terlihat menaiki tlundak pendapa. Sepertinya akan bertambah seorang lagi dalam perbincangan pada saat itu.

“Pasukan kita telah bergerak menuju Gondang Wates, Raden,” lapor Ki Gandung Jati, Bekel Pedukuhan Randulanang, setelah menjulurkan hormat pada dua orang yang berada di pendapa.

“Lalu, sekarang, di mana penghubung dari sana?”

“Saya memintanya agar segera kembali ke Gondang Wates. Menurut saya, tak baik baginya bila terlalu lama berada di pedukuhan ini. Saya pikir Ki Sarjuma lebih membutuhkan tenaganya. Sementara kita cukup aman berada di sini.”

“Terima kasih,” sahut Raden Atmandaru datar lalu memandang rembulan yang terhalan mendaung tipis yang berarak di bawahnya. Namun Ki Sekar Tawang dapat menangkap getar geram dari sikap tubuh Panembahan Tanpa Bayangan.

“Bila saja penghubung itu dapat melaporkan secara langsung pada beliau, tentu pasukan di Gondang Wates akan lebih bersemangat,” bisik Ki Sekar Tawang pada Ki Gandung Jati. Lalu Ki Sekar Tawang merasa gemas karena lawan bicaranya seperti tidak menanggapinya.

Ki Gandung Jati adalah orang yang mempunyai tampilan sederhana. Dari setiap yang dikenakannya sama sekali tidak menunjukkan kemewahan atau kemegahan seorang bekel. Di balik itu, Ki Gandung Jati adalah pemangsa yang setia menunggu di bawah rerimbun semak. Sebagai bagian dari keluarga Ki Demang Sngkal Putung, keluarga Ki Gandung Jati mengemuka sebagai orang-orang terpandang di pedukuhan Randulanang dan cukup dihormati oleh banyak orang berpengaruh di sekitar pedukuhan. Oleh karena itu, keadaan Randulanang sangat jauh dari ketegangan.

“Aku hanya ingin menjadi seorang yang mempunyai pengaruh dalam tata kelola Mataram. Aku tidak ingin membawahi ratusan prajurit. Kedudukan itu pastilah akan diserahkan pada Simbara,” ucap Ki Gandung Jati ketika Ki Jagabaya bertanya padanya mengenai sikapnya pada ajakan Raden Atmandaru.

Walaupun Ki Gandung Jati tidak banyak mempunyai teman dari orang-orang dekat Panembahan Hanykrawti, sikap tubuh serta bahasanya begitu mengesankan. Hingga banyak orang dapat percaya dan memberi hormat terlampau tinggi padanya. Terlebih setelah ia bekerja keras untuk menyediakan  perbekalan serta senjata dalam jumlah banyak lalu melatih para pemuda agar siap dalam ukuran keprajuritan.

“Ki Bekel,” ucap Raden Atmandaru tiba-tiba, “bilamana pertempuran telah meletus lalu merambati wilayah ini, saya tidak ingin Anda menjadi risau dan tak ingin pula perasaan saya menjadi kacau. Adalah kewajiban Anda dalam memastikan keadaan itu.”

Rasa geram jelas terpancar dari nada Raden Atmandaru.

Bayangan megah segera menyingkir dari hati Ki Gandung Jati. Ancaman yang datang berulang-ulang dan sangat mengganggu! bisiknya dalam hati. Sejenak tercetus dalam jalan pikirannya untuk menyudahi semuanya bila gerakan mereka selesai.

Mendengar suara Raden Atmandaru, kepala Ki Gandung Jati bergerak-gerak lalu ia undur diri dari pendapa. “Apakah aku telah menjadi pesuruhnya? Segala sesuatu tentu mempunyai pertimbangan dan perhitungan,” kata Ki Gandung Jati dari balik relung jiwanya di sela ayun langkah meninggalkan pendapa.

Lantas Raden Atmandaru mengelus senjata yang berselimut kain halus sambil berucap, “Ki Sekar Tawang. Tujuan besar telah sama-sama kita goreskan di atas batu pipih. Walaupun Pedukuhan Janti sepenuhnya kita kuasai, namun sementara waktu ini, mungkinkah Sangkal Putung dapat menjadi rumah bagi kita semua?”

“Bila kita tidak dapat menemukan ruang untuk bersembunyi, mungkin Alas Krapyak dapat menjadi tempat persinggahan berikutnya, Panembahan.”

Raden Atmandaru bergumam. Rahangnya mengeras. Keningnya mengerut ketika pikirannya membuka cabang-cabang yang tak terhitung jumlahnya. “Saya pun telah menimbang kemungkinan itu. Meski tidak ada keraguan tentang keampuhan senjata ini, Mataram masih menyimpan pusaka Demak yang tak kalah hebat.”

“Nagasasra bukanlah senjata yang dapat digunakan di medan perang. Selain itu, kecil kemungkinan bila Panembahan Hanykrawati membawanya saat berburu.”

“Benar, Kiai benar. Sungguh, hasil pandangan yang sangat tajam dengan menjadikan Alas Krapyak sebagai tempat beristirahat.”

Related posts

Tiga Orang 3

Ki Banjar Asman

Lembah Merbabu 32

Ki Banjar Asman

Sabuk Inten 9

Redaksi Surabaya