SuaraKawan.com
Bab 9 Pertempuran Panarukan

Panarukan 7

Dahi Gagak Panji berkerut. Dengan dua alis yang saling bertaut, ia bertanya, ”Saya tidak merasa telah membuat Anda marah, Paman. Dan pula saya tidak membuat kekacauan seperti yang dilaporkan para petugas sandi.”

“Kau meninggalkan Jipang lalu melangkah jauh melampaui perbatasan Demak.”

“Saya meninggalkan Jipang dan Demak karena tidak ingin ada darah yang membanjiri tanah ini. Saya menemui Adipati Lasem, Adipati Tuban dan Adipati Surabaya. Saya pula meminta mereka untuk tidak menghalangi laju para prajurit Demak bila melintasi wilayah mereka, dan mereka setuju.”

“ Omong kosong!” bentak Raden Trenggana. “Dalam perjalananmu ke wilayah timur, kau telah menyusun sebuah gerakan untuk menggulingkanku dari singgasana. Kau mengambil banyak orang dan mengatur muslihat agar perhatianku teralihkan pada keamanan di dalam Demak itu sendiri. Tetapi kau telah gagal, Gagak Panji. Aku telah berada di sini dengan sehamparan kapal perang dan prajurit yang tangguh.”

Gagak Panji beringsut maju lalu berkata dengan keras, ”Paman! Hentikan itu! Paman mendengar keterangan yang salah. Itu adalah berita bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang berada di dekat Paman. Sejak pertemuan itu usai, saya menapak keluar wilayah Demak agar secepatnya berada di sini. Dan kabar bahwa saya sedang berusaha mengambil tahta, itu memang saya dengar. Tetapi, semua itu adalah kebohongan.”

“Kau melampaui batasan, Gagak Panji! Aku adalah penguasa tertinggi Demak.”

“Aku tidak peduli!” sergah Gagak Panji. Tanpa sadar ia telah melumatkan kayu sandaran lengan. Kemudian ia berkata, ”Seorang paman akan menjaga keponakannya dan bila perlu ia akan membicarakan perihal keponakannya secara langsung. Tetapi Paman mencurigaiku berusaha mengambil alih Demak tanpa bukti yang dapat diterima akal sehat. Paman menuduhku dengan anggapan dari Paman sendiri ditambah laporan yang tidak jelas kebenarannya.”

“Aku adalah paman dan rajamu.”

“Aku sedang membela diri, Paman!” Gagak Panji menghempas punggungnya pada sandaran kursi. Ia mengatur napasnya lalu berkata, ”Aku tidak melakukan apapun yang Paman tuduhkan.  Seseorang sedang berusaha membuat celah di Demak bersamaan kepergian Paman ke Panarukan.”

“Aku tinggalkan Angger Mas Karebet untuk mereka,” kata Raden Trenggana dengan sorot mata tajam menusuk jantung Gagak Panji. Ia berujar kemudian, ”Aku akan selesaikan permasalahan yang menghu-bungkanmu dengan semua peristiwa yang terjadi setelah Blambangan berada dalam genggaman.”

“Itu terdengar lebih baik,” sahut Gagak Panji, ”kita kembali pada pokok persoalan.”

“Katakan!”

“Hyang Menak Gudra dan Eyang Tawang Balun tidak menghendaki terjadinya peperangan di antara kerabat sendiri.”

“Lalu?”

“Pertempuran yang melibatkan ribuan prajurit akan digantikan dengan perang tanding para pemimpin.”

“Itu muslihat peperangan,” suara Raden Trenggana terdengar pelan. “ Apa yang akan terjadi bila aku menolak permintaan mereka?”

“Saya tidak tahu.”

“Engkau seorang duta yang tidak diberitahu lebih dari yang kau ucapkan tadi?”

“Benar, Paman,” Gagak Panji mengangguk.

“Aku datang untuk membawa Blambangan berada dalam kekuasaan Demak. Perlindungan dapat aku berikan bagi Blambangan, tetapi usulan Hyang Menak Gudra akan menjadikan tanah itu tidak berarti lagi sebagai wilayah.”

“Blambangan tetap mempunyai harga diri, Paman. Kami tidak pernah menganggap Demak  sebagai musuh. Blambangan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Demak.”

“Kami?” ucap Raden Trenggana dengan nada bertanya. Lalu ia abaikan itu kemudian berkata, “Demak adalah penerus kekuasaan Majapahit dan Blambangan wajib tunduk.”

“Eyang Prabu tidak menunjuk orang atau salah satu keturunannya untuk menggantikannya. Maka yang demikian itu mempunyai arti bahwa setiap wilayah telah mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Bahkan kami semua menyayangkan peristiwa kelam yang terjadi di masa lalu.”

“Kami? Kau berkata seolah kau telah menjadi satu bagian dari Blambangan. Kau masih seorang prajurit Demak, Gagak Panji!”

“Benar bila itu berdasarkan sudut pandang Paman. Aku menganggap diriku telah keluar sebagai seorang prajurit Demak ketika Paman mengumumkan rencana untuk menaklukkan Panarukan.”

“Kau membuat kesalahan berlipat ganda, Gagak Panji. Sebagai seorang dari keponakan, kau telah berkhianat pada pamanmu. Sebagai seorang prajurit, kau adalah musuh bagi Demak saat ini. Aku dapat menangkapmu dan memberimu hukuman mati.”

Related posts

Gerbang Demak 4

Redaksi Surabaya

Lembah Merbabu 4

Ki Banjar Asman

Sabuk Inten 11

Redaksi Surabaya