SuaraKawan.com
Bab 9 Pertempuran Panarukan

Panarukan 24

Semambung mendengar panggilan Gagak Panji sesaat setelah ia mengatupkan bibirnya berbicara dengan Lembu Srana. Lirih ia bergumam pada senapati yang didampinginya, ”Bila aku tak kembali pada kalian malam ini, katakan pada Ki Rangga bahwa aku tidak akan menyesali kematianku. Pengabdianku pada Pangeran Gagak Panji adalah jalan mencapai kemuliaan.” Jantung Lembu Srana bagai terbanting pada batu karang yang datar tatkala mendengar bahwa Gagak Panji adalah seorang pangeran, terlebih saat Semambung menyinggung tentang kemuliaan yang disebabkan oleh pengabdian. Ingin Lembu Srana bertanya namun Semambung telah melenting jungkir balik di udara sebelum ia bersuara.

Kurang dari sekejap, Semambung telah menukik deras menembus permukaan air laut dan meninggalkan ciprat air setinggi pohon kelapa. Kini Semambung telah menyelam jauh di bawah kapal-kapal Demak. Ia melayang di bawah permukaan laut menuju baris pertahanan kedua dari angkatan laut Demak.

“Apakah kau melihatnya, Jala Sayuta?” tanya Raden Trenggana pada Ki Jala Sayuta ketika ciprat air yang demikian tinggi itu tertangkap oleh penglihatannya.

Ki Jala Sayuta mengangguk kemudian, ”Apakah orang Blambangan menyimpan satu kekuatan yang menyamai kita?”

“Itulah Lindu Segara!” kata Raden Trenggana kemudian, ”kau harusnya dapat merasakan getarannya. Hanya segelintir orang di kawasan pesisir utara yang menguasai ilmu itu dengan sempurna.”

“Saya merasakannya, Raden,” sahut Ki Jala Sayuta.

“Pergi, cari lalu hentikan dia!” perintah Raden Trenggana tegas. Ia mengetahui kepandaian tinggi pembantunya yang sebenarnya jarang mengungkapkan ilmu yang sejenis dengan Lindu Segara. Lalu ia menambahkan pesan sebelum Ki Jala Sayuta beranjak pergi menjalan perintahnya, ”Orang ini sudah tentu tak akan mudah kau tundukkan meskipun matahari telah tenggelam. Namun kehadiranmu akan mengalihkan perhatiannya dari menghancurkan satu demi satu kapal perang kita. Untuk itulah Gending Pamungkas akan menghantam barisan sampan Blambangan sambil membawa dua sayap dalam gelar Supit Urang. Dan untukmu, aku tidak memberi kelonggaran sebelum benar-benar menghentikan orang itu!”

Ki Jala Sayuta menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa orang yang menyimpan ilmu Lindu Segara itu seperti dewa yang sedang menebar ancaman maut. Ia mampu memindahkan setiap marabahaya sesuka hati tanpa ada orang yang dapat memperkirakannya, kecuali oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang setara dengannya. Dan Ki Jala Sayuta mengerti bahwa ia adalah satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh Raden Trenggana dalam tujuan menaklukan Panarukan. Meskipun, dalam hati Ki Jala Sayuta mengakui masih banyak orang yang mempunyai kepandaian lebih tinggi darinya di Demak. Ia tak lagi dapat menoleh ke belakang atau memandang jauh tentang keluarganya – yang menunggu kedatangannya dengan selamat di sebuah pedukuhan kecil di selatan ibu kota kerajaan. Ki Jala Sayuta memberi hormat pada Raden Trenggana sebelum mengayun kaki keluar dari bilik kendali peperangan angkatan laut Demak.

Dengan dua kali loncatan pendek, Ki Jala Sayuta menggeser kedudukannya begitu ringan lalu berdiri di bibir kapal. Ia memusatkan segenap budi dan rasa untuk mencari pusat getaran ilmu Lindu Segara. Sekejap kemudian ia menghempaskan permukaan air laut dengan satu sapuan tangan yang terlambari tenaga inti. Air laut tersibak, membentuk jalur berdinding gelombang yang tinggi, lalu Ki  Jala Sayuta meluncur terjun, menyelam melalui celah dua gelombang yang sekilas tampak seperti lorong pendek.

Semambung, yang merasakan getar dahsyat ketika air laut tersibak oleh tenaga inti Ki Jala Sayuta,  lantas mengerti bahwa ia akan berhadapan dengan seseorang yang berilmu mungkin setara atau lebih tinggi darinya. Maka Semambung mengurangi kemunculan di permukaan, tetapi masih terus  menghantam bagian dasar kapal Demak hingga berlobang, lalu beralih menuju kapal yang lain dengan mengulang serangan yang sama. Oleh karena itu, Ki Jala Sayuta tiba-tiba kehilangan arah ketika getar Lindu Segara mendadak hilang dari rambatan gelombang yang bergolak di bawah permukaan. Perlahan-lahan ia naik ke permukaan dan menyembulkan kepalanya. Sekilas ia menarik kesimpulan dari yang terjadi di permukaan betapa ia melihat keributan pada beberapa kapal yang berada di sisi utara darinya.

Kembali Ki Jala Sayuta menyelam hingga mencapai dasar. Waktu itu, tubuhnya seolah berubah menjadi sebongkah batu cadas hitam, meluncur sangat cepat mencapai dasar perairan Panarukan. Saat ujung jari kakinya menyentuh bebatuan yang berada di dasar laut, Ki Jala Sayuta telah dapat memperkirakan kedudukan Semambung.

Sementara itu, di permukaan pasukan Gending Pamungkas bergerak memutar untuk menyengat pasukan sampan yang kian dekat dengan baris kedua angkatan laut Demak. Tetapi Gagak Panji yang gagah berdiri di atas bilah papan telah mempunyai perhitungan. Ia memecah barisan sampan hingga tersebar tak beraturan. Gagak Panji memilih sebuah gelar yang membebaskan pasukan sampan untuk bergerak. Ia tidak ingin mengikat mereka dalam gelar yang rapi namun dapat diperkirakan pergerakannya. Gagak Panji, yang menyadap ilmu perang di atas lautan dari Pangeran Tawang Balun, kini benar-benar mengerahkan seluruh pengetahuannya untuk menghadapi angkatan perang Demak yang sangat hebat di lautan. Dan yang terjadi kemudian adalah sebuah gelar, yang tampak seperti barisan semut yang kacau balau diterjang minyak kelapa, yang sanggup mengacaukan perhatian angkatan laut Demak yang mulai bangkit kepercayaan diri.

Dalam kesempatan itu, Gagak Panji telah mendorong pasukan sampan untuk mendekati kapal Raden Trenggana. Siasat Gagak Panji belum dapat dibaca oleh panglima perang Demak, yang pada hari itu, yang di bawah kendali tumenggung yang berusia sebaya dengannya. Ki Tumenggung Driya Sena ditunjuk secara khusus oleh Raden Trenggana untuk beradu dada menghadapi Gagak Panji. Seorang lelaki muda yang pernah turut serta dalam menaklukkan beberapa kelompok perompak yang menguasai perairan Cirebon. Kecakapan Driya Sena pun terlihat masak oleh pengalaman dalam mengatasi gelar Gagak Panji. Pada saat pasukan sampan Blambangan sudah tidak dapat dijangkau oleh lontaran besi, Driya Sena cepat memutuskan untuk menurunkan perahu-perahu kecil yang tergantung di sepanjang kedua sisi kapal untuk menghalau pasukan sampan Gagak Panji.

Gagak Panji melompat ke perahu yang selalu berada di dekatnya, lalu melesat sambil menyambar bilah papan, kemudian berloncatan dari sampan ke sampan sambil melempar bilah papan ke arah tertentu.  Hingga kemudian ia melenting lebih tinggi dari puncak tiang layar kapal Raden Trenggana. Tubuhnya menukik deras sambil melepaskan empat anak secara bersamaan menghunjam ke dasar lautan. Gagak Panji yang mempunyai daya serang mematikan segera mengirimkan tanda bagi Semambung yang berada di bawah permukaan laut.

Beberapa kejap kemudian, empat suara ledakan menggelegar dari dasar lautan. Empat buah anak panah Gagak Panji yang dilambari dengan tenaga inti telah mencapai dasar laut, lalu menghantam lapisan teratas dengan dahsyat!

Related posts

Di Bawah Panji Majapahit 8

kibanjarasman

Bulan Telanjang – 17

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 15

Ki Banjar Asman