“Tidak ada lagi yang dapat aku katakan padamu pada sisa malam ini,” sambung Pangeran Tawang Balun, ”lebih cepat kau merebut kendali pertempuran maka itu akan lebih baik bagi kedua belah pihak sebelum Demak berada di atas angin.”
“Maafkan saya, Pangeran!” Semambung menyela kemudian, ”bukankah setiap kekalahan akan mengubah air muka setiap orang?”
“Benar,” jawab Pangeran Tawang Balun, ”tetapi pertempuran ini harus dapat menyelamatkan martabat setiap pemimpin, dan itu akan menjadi tugasmu serta Gagak Panji.”
“Alangkah baiknya jika saat ini aku berada di tepi bengawan,” keluh Semambung seraya mengusap keningnya.
Gagak Panji tertawa kecil mendengar desah Semambung, lalu keduanya memberi perhatian sungguh-sungguh tatkala Pangeran Tawang Balun berkata, ”Kalian dapat memberi kemenangan pada Demak tanpa merendahkan Hyang Menak, atau kalian menangkan Blambangan atas pertempuran ini jika kalian mau. Tetapi aku minta kalian dapat menjaga dua pemimpin yang akan mempunyai kedudukan yang berbeda bila perang ini usai.”
Dua lelaki muda itu menundukkan kepala dalam-dalam. Pangeran Tawang Balun menggerakkan bibirnya tetapi tiada suara yang dapat didengar oleh kedua orang berilmu tinggi, dan saat mereka mengangkat wajah maka sosok Pangeran Tawang Balun seolah lenyap ditelan bumi.
“Apakah kau mendengar pergerakan beliau?” tanya Gagak Panji tanpa melihat wajah Semambung yang mencoba mengerti ketinggian ilmu Pangeran Tawang Balun.
“Tidak!” Semambung menjawab sambil mengamati tempat Pangeran Tawang Balun berdiri sebelumnya. Ia bergumam, ”Tidak ada pergeseran jejak dan Pangeran meninggalkan kita dalam keadaan lurus ke depan menghadapi kita.”
“Apakah ia melompat mundur?” Gagak Panji tertarik untuk mengamati. Kemudian ia menggelengkan kepala berulang sambil berdecak kagum. Betapa jejak kaki Pangeran Tawang Balun yang tertinggal di atas pasir ternyata tidak sedalam jejak kakinya. Jejak itu membuat kagum keduanya yang sempat mengira bahwa Pangeran Tawang Balun dalam keadaan melayang selama bercakap-cakap dengan mereka. tetapi tidak ada pembicaraan di antara mereka tentang ketinggian ilmu Pangeran Tawang Balun, Gagak Panji dan Semambung seolah sepakat bahwa mereka akan menyimpan kekaguman itu di dalam perasaan masing-masing.
Namun ketika waktu berlalu sepenanakan nasi, suara Pangeran Tawang Balun tiba-tiba terdengar oleh Gagak Panji. Walau terkejut, Gagak Panji tidak menampakkan perubahan pada wajahnya atau memberitahu Semambung mengenai keadaannya. Pesan yang diberikan oleh Pangeran Tawang Balun hanya dikhususkan padanya.
Tak lama kemudian mereka mengangkat wajah dan melihat lurus ke arah timur. Pendar merah memenuhi garis batas samudera. Pendengaran mereka pun menangkap sedikit demi sedikit kesibukan dari arah barak prajurit Blambangan. Para prajurit mulai sibuk mengawali tugasnya, sebagian menarik diri untuk digantikan oleh kawannya namun mereka mengerti bahwa dalam kecamuk perang tidak pernah mengenal kata istirahat yang sebenarnya. Banyak orang mulai mengawali hari dengan kewajiban-kewajiban pribadi, dalam kesempatan itu Gagak Panji melangkah lebar menuju bilik khusus Mpu Badandan.
“Eyang Pangeran telah datang menemui saya, Guru” kata Gagak Panji setelah mendapat izin memasuki bilik Mpu Badandan.
“Kapan itu terjadi, Gagak Panji?”
“Beberapa lama sebelum langit memerah.”
“Tentu saja Pangeran mengatakan sesuatu yang sangat penting,” kata Mpu Badandan, ”dan mungkin pesan itu akan merubah keadaan perang secara keseluruhan.” Panggraita Mpu Badandan seperti mengetahui secara persis mengenai pesan Pangeran Tawang Balun pada Gagak Panji. Langkah panjang yang telah ditempuhnya dalam mengarungi kehidupan dan ketekunan Mpu Badandan mengolah diri dalam sepi telah menjadikannya memiliki perasaan yang sangat tajam. Dan kemudian ia menatap mata Gagak Panji sambil menarik napas panjang, Lalu katanya, ”Lakukan perintah Eyang Tawang Balun, Angger Gagak Panji. Kau mampu melakukannya tanpa mengabaikan siasat yang telah kita susun bersama.”
“Guru tentu mengerti bahwa saya tidak akan mampu mengabaikan pesan Eyang,” kata Gagak Panji lirih dengan kepala tertunduk. Ia menggeser letak duduknya setapak lalu berkata lagi, ”Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi pemenang atau orang yang melangkah gelanggang pertarungan dengan tatap mata tanpa harapan, tetapi sangat sulit menghadapi Paman Trenggana.”
Mpu Badandan menatap muridnya dengan sorot mata penuh kelembutan. Tampak terpancar dari wajahnya sebuah keteduhan yang menunjukkan betapa tinggi pemahamannya tentang isi dada muridnya yang sedang bergolak hebat itu. Untuk beberapa lama Mpu Badandan berdiam diri mendengarkan aliran kata Gagak Panji.
“Batas ketinggian ilmu Paman Trenggana dapat aku jajaki, Mpu. Bahkan apabila boleh aku membanggakan diri, sebenarnya kepandaian kami nyaris tidak dapat dibedakan. Tetapi kesulitanku yang sebenarnya bukanlah dalam menghadapi ilmu Raden Trenggana yang dikabarkan telah melampaui langit,” Gagak Panji menghentikan ucapannya ketika ia merasakan dadanya menjadi pepat. Ia sadar bahwa ia harus mengamati perkembangan yang terjadi pada hatinya. Berulang kali ia menarik napas cukup panjang. Setelah merasa sedikit tenang, Gagak Panji berkata, ”Saya mengerti tujuan Paman Trenggana dalam pertempuran ini, bahkan saya pun memiliki keinginan yang sama dengannya. Tetapi kami mempunyai cara yang berbeda dalam mewujudkan angan-angan kami. Pada titik itulah saya kadang berpikir harus berhenti. Saya ingin menggenggam Blambangan, begitu pula Paman Trenggana. Namun pada hari ini dan mungkin juga untuk seterusnya saya harus menjadi penantang setiap rencana kekerasan.”
“Dan untuk menjadi seorang penantang, maka kau pun akan melakukan kekerasan, Ngger,” kata Mpu Badandan lembut.
“Benar, Guru.” Gagak Panji semakin dalam menenggelamkan wajahnya.
“Maka dengan begitu, kekerasan akan kembali menjadi pemenang ketika kau harus mempertahankan keyakinanmu,” ucapan Mpu Badandan semakin mengoyak batas kesabaran Gagak Panji yang masih berusaha mencari jalan untuk menghindarkan pertempuran yang ia yakini dapat berlangsung berbulan-bulan.