SuaraKawan.com
Bab 9 Pertempuran Panarukan

Panarukan 23

“Tidak adakah jalan lain bagi kedua pihak ini, Guru?” bertanya Gagak Panji seraya menyandarkan punggung pada dinding bambu yang terlambar kuat di belakangnya.

Mpu Badandan menjawab lirih, ”Selalu ada apabila kau benar-benar mencarinya.” Mpu Badandan bangkit berdiri kemudian ucapnya, ”Waktumu telah tiba. Para prajurit akan menanyakan keberadaanmu jika kau tidak segera hadir di tengah-tengah mereka.”

Setelah ia memberi salam penghormatan pada gurunya, Gagak Panji melangkah gontai mendekati pintu. Sejenak ia melepaskan pandangannya ke medan pertempuran maka yang kemudian terlihat olehnya adalah kapal perang kedua belah pihak telah saling melepaskan lontaran besi bulat yang sangat panas. Ia memejamkan mata lalu berdesis pelan, ”Bagaimanapun juga Blambangan tidak boleh jatuh ke tangan Demak!” Dalam sekejap kemudian Gagak Panji melesat cepat menuju sekumpulan prajurit yang sedang menunggu perintah darinya.

Setelah berbicara singkat dengan para senapati, Gagak Panji menaiki sebilah papan yang terapung di atas permukaan air laut. Papan yang telah disiapkan atas permintaannya. Lalu ia bertanya pada prajurit di dekatnya, ”Apakah Semambung telah bersama Lembu Srana?”

“Benar, Ki Rangga!” jawab seorang prajurit dengan setengah badan terendam air laut sambil memegang ujung papan. Ia sangat terkejut ketika Gagak Panji seperti tidak mempunyai bobot tubuh saat berada di atas bilah papan. Kain panjang Gagak Panji hanya terbasahi sebatas mata kaki, sementara tubuhnya bergerak naik turun mengikuti bilah papan yang seolah lengket pada alas kakinya ketika diayun gelombang kecil secara beruntun.

Di tengah hamparan permukaan samudera yang begitu luas, cahaya matahari memantul seperti kilau butiran berlian yang telanjang terserak. Elang laut dengan gagah mengepakkan sayap melintas di atas layar-layar yang mulai terkembang. Sebagian dari mereka bahkan hinggap di antara tiang-tiang kapal. Beberapa ekor di antara kawanan elang laut terlihat menukik deras lalu kembali melesat ke angkasa dengan seekor ikan pada paruh mereka. Gagak Panji seolah terlarut dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya, dan mungkin untuk sementara waktu ia bahkan melupakan bahwa di bawah kepak sayap elang laut sedang beradu nyawa ribuan prajurit Demak dan Blambangan.

Dan tak lama kemudian, ia melihat sebuah bayangan yang terlihat seperti balok kayu tiba-tiba muncul dari bawah salah satu kapal perang dan meninggalkan lubang yang cukup besar.

“Kau benar-benar membuat keributan hari ini, kawan.” Senyum mengembang Gagak Panji melihat Semambung kembali meluncur deras menembus permukaan air laut. Segera ia memberi sejumlah perintah pada para petugas penghubung. Maka dalam waktu yang singkat, ratusan sampan kecil terlihat bergerak di bawah lindungan dentum lubang besi yang panjang. Prajurit Blambangan akan menggelar perang dengan mengerahkan ratusan sampan untuk menghadapi angkatan laut Demak yang berada di dalam kapal-kapal berukuran belasan kali lipat dari sampan orang-orang Blambangan.

Deret kapal laut Blambangan, yang membentuk seperti dinding pembatas, kemudian perlahan-lahan bergeser guna memberi jalan teman-teman mereka yang tergabung dalam pasukan sampan.

“Blambangan memang gila!” seru salah seorang tumenggung Demak, Ki Jala Sayuta, ketika melihat pergerakan pasukan sampan Blambangan mulai bermunculan dan berjajar di depan kapal-kapal yang lebih besar.

“Apakah kau dapat menduga apa yang menjadi rencana mereka, Ki Tumenggung?” bertanya Raden Trenggana.

“Ini sebuah gelar perang yang gila!” jawab Ki Jala Sayuta. ”Mereka sungguh-sungguh akan memerahkan perairan ini!”

“Mereka akan melakukan bunuh diri?”

“Sudah pasti itu yang dapat mereka lakukan,” jawab Ki Jala Sayuta sambil mengatup rahang dengan rapat. Ia tidak mempunyai dugaan selain bunuh diri yang akan dilakukan oleh ribuan pasukan Blambangan ketika mendekati baris serang Demak secara perlahan-lahan. Sementara meriam angkatan laut Demak masih melontarkan besi-besi bulat yang dapat meledak, tetapi sebuah kejutan telah disiapkan oleh Mpu Badandan beserta para senapatinya.

Adalah Semambung yang menjadi kejutan yang meledakkan hati para prajurit Demak. Semambung telah mengetrapkan ilmu Lindu Segara dan ia benar-benar mengguncang perasaan orang-orang Demak. Betapa Semambung dengan kemampuannya menyelam dan berenang dengan kecepatan yang luar biasa tiba-tiba menghantam bagian dasar kapal hingga menembus geladak kapal. Hingga Gagak Panji melihatnya membuat kekacauan, Semambung telah menenggelamkan dua kapal Demak yang berada di barisan depan. Namun ketika ia melihat pasukan sampan mulai bergerak, Semambung pun bergabung dengan mereka. Ia berada di atas sampan yang sama dengan Lembu Srana.

“Apa yang dikatakan oleh Ki Rangga untukku?” tanya Semambung pada Lembu Srana.

“Tidak banyak yang dikatakan beliau,” jawab Lembu Srana sambil menarik napas lega setelah menyaksikan sendiri kehebatan ilmu Semambung. Lanjutnya kemudian, ”Beliau hanya ingin Ki Semambung membuat kekacauan yang tidak dapat dilupakan oleh orang-orang Demak.”

“Itu saja?” Semambung mengerutkan kening.

“Itu saja kata Ki Rangga.”

“Tidakkah ia berpesan agar aku bersatu dalam siasatmu?”

“Siasat Mpu Badandan dan Ki Rangga adalah memastikan Anda benar-benar membuat keributan yang sangat besar, Kiai.”

“Ki Rangga adalah orang yang hilang ingatan.”

“Untuk saat ini, saya tidak membantah pendapat Anda.” Lembu Srana tersenyum usai mengatakan itu.

Sambil mengibaskan kain basah yang membalut lengannya, Semambung bergumam, ”Sesungguhnya hari ini aku telah bergabung dengan sekumpulan orang yang kehilangan kesadaran.”

Lembu Srana bergeser menghadapkan tubuh sepenuhnya pada Semambung, ”Kami kehilangan kekuatan dan kehadiran Kiai telah membuat kami semua hilang ingatan. Kami tidak sadar bahwa di depan adalah prajurit yang telah menggetarkan tujuh samudera di bawah panji Demak. Kami tidak menyadari kekuatan yang tersimpan pada kami hingga Ki Rangga dan Ki Semambung hadir di tengah-tengah kami semua.”

“Jika begitu,” sahut Semambung, ”kita akan bertempur hingga air samudera ini mengering.”

“Kami beserta Anda!”

Kedudukan pasukan sampan pada saat itu berada di dalam jangkauan lontaran besi bulat, tetapi kehadiran Gagak Panji yang menaiki sebilah papan telah melindungi mereka dari hunjaman tiada henti bola panas yang dilepaskan dari lambung kapal-kapal Demak. Ratusan anak panah berada diatas sebuah perahu yang dikemudikan seorang prajurit. Dan seorang prajurit bertugas menyiapkan anak panah yang kemudian dilepaskan Gagak Panji untuk membidik bola-bola besi. Beberapa bola besi memang lolos dan menghantam beberapa sampan, namun hujan bola besi itu belum mampu menghentikan laju pasukan sampan Blambangan.

“Kita akan memasuki jangkauan kapal dari baris kedua pasukan Demak,” kata Gagak Panji pada prajurit di atas perahu, ”beri tanda pada pasukan di belakangmu agar segera maju!” Prajurit yang mengemudikan perahu segera mengambil tanduk kerbau yang panjang lantas meniupnya dengan nada tertentu. Segera saja prajurit yang bertugas sebagai penyambung perintah meneruskan perintah Gagak Panji dengan cara yang sama. Maka sekejap kemudian suara yang berasal dari tanduk kerbau terdengar bersahut-sahutan hingga didengar oleh para senapati Blambangan yang berada di atas kapal-kapal yang besar. Di bagian buritan, banyak prajurit terlihat sibuk mengendalikan pergerakan kapal mengikuti perintah Gagak Panji.

Dalam waktu itu Gagak Panji menoleh sekejap ke belakang dan saat kapal mulai sedikit bergeser, ia berkata lantang, ”Semambung!”

Related posts

Kiai Plered 2

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 17

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 16 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman