SuaraKawan.com
Bab 9 Pertempuran Panarukan

Panarukan 26

Ia meluncur sangat cepat menembus tirai air yang rapat, sedangkan gelembung udara yang mengelilinginya meluncur deras seperti hujan bola besi yang keluar dari lambung kapal perang. Beberapa gelembung udara telah mencapai dinding air yang berpusar di sekitar Ki Jala Sayuta. Benturan kecil yang berakibat hebat pun terjadi. Tubuh Ki Jala Sayuta bergetar hebat, bahkan ia merasa seperti ditusuk oleh puluhan duri ketika gelembung udara datang membentur pusaran air dengan keras.

Ki Jala Sayuta kini berada dalam kesulitan, sementara jarak Semambung semakin dekat dengannya. Semambung benar-benar tidak ingin memberi kelonggaran pada Ki Jala Sayuta maka secara mendadak ia melakukan gerakan yang berada di luar dugaan. Ia memutar balik tubuhnya lalu dua kakinya mengarah pada jantung pertahanan Ki Jala Sayuta. Pergerakan yang luar biasa dan hanya mampu dilakukan oleh para pemilik ilmu Lindu Segara yang berada dalam jajaran tinggi. Karena itulah, untuk melindungi diri dari serangan yang sangat ganas itu, maka Ki Jala Sayuta mendorongkan dua tangannya menyambut serangan Semambung secara langsung.

Terasa olehnya kekuatan Semambung yang ternyata lebih tinggi darinya. Ia terdorong surut dan sebuah ledakan besar terjadi sebagai akibat dari benturan yang tidak dapat dibayangkan. Air permukaan pun bergejolak hingga mencapai ketinggian puncak tiang layar setinggi dua kali pohon kelapa. Kapal-kapal perang dari kedua pihak yang berlawanan yang berada di sekitar tempat perkelahian Semambung dengan Ki Jala Sayuta pun terhempas hebat. Lambung-lambung kapal yang telah bersiap meluncurkan bola besi yang panas pun akhirnya harus menerima terjangan air yang memasuki lubang pada dinding kapal. Bola besi panas yang bersamaan terlontar juga tidak mampu mencapai sasaran dengan tepat. Bahkan beberapa bola besi menerjang kapal kawan sendiri.

Dalam waktu itu, Gagak Panji melontarkan tubuhnya mengikuti ombak besar yang dapat dicapainya. Gagak Panji seolah sedang menari di atas gelombang, sesekali tubuhnya lenyap di balik julur lidah air yang melengkung panjang seperti lorong.

Sementara jauh berada di bawah permukaan air laut, Ki Jala Sayuta merasa tubuhnya remuk redam oleh dorongan dahsyat ilmu Lindu Segara. Walaupun ia telah melindungi tubuhnya dengan ilmu Karang Bolong namun tenaga inti Semambung ternyata berada selapis tinggi di atasnya. Sembari menahan rasa sakit, Ki Jala Sayuta meluncur naik ke atas permukaan. Sebenarnya ia menyadari bahwa tidak sepatutnya meninggalkan Semambung tetapi ia membutuhkan setarikan udara untuk memulihkan keadaan tubuh. Lagi pula Ki Jala Sayuta masih merasa mampu menahan gerak Semambung sekalipun kedudukan tak lagi seimbang.

Tetapi Semambung tidak membiarkan lawan berlalu dari hadapannya. Semambung lekas memburunya bahkan dengan tubuh yang meluncur lebih cepat dari sebelumnya.

“Gandrik!” membatin Ki Jala Sayuta sambil menghentak kaki melepas tenaga untuk menambah daya luncurnya.

Tentu saja keadaan seperti itu tidak disangka oleh Ki Jala Sayuta atau Raden Trenggana sendiri. Bahwa seorang tumenggung yang pilih tanding dengan kemampuan sangat tinggi dalam pertempuran di bawah air akhirnya menemui kenyataan bahwa Semambung benar-benar menjadi mimpi buruk bagi mereka. Segala perkembangan yang terjadi tidak lepas dari pengamatan Raden Trenggana. Berulang kali ia tidak dapat menyembunyikan kekaguman pada pertarungan dua orang yang terjadi di bawah laut. Raden Trenggana dapat merasakan getar hebat yang timbul dari perkelahian seru dan tak tampak dari permukaan laut, namun ilmu Raden Trenggana yang demikian tinggi ternyata mampu mengikuti keadaan yang terjadi bawah kapalnya.

“Ki Tumenggung benar-benar menemui lawan yang sepadan,” berkata Raden Trenggana pada seorang senopati yang berada di sisinya.

Gending Pamungkas yang telah berpindah kapal menyahutinya, ”Saya pikir tidak ada orang yang mempunyai kepandaian melebihi Ki Jala Sayuta selain Raden sendiri. Saya pernah melihat kemampuannya saat bertempur menumpas para perompak bermata biru.” Kening Gending Pamungkas berkerut saat mencoba menerka kedalaman tempat perkelahian.

“Kita mempunyai sudut pandang yang berbeda.” Tajam Raden Trenggana menatap kawasan yang ia ketahui sebagai tempat pertarungan maha dahsyat itu.  Gending Pamungkas mengalihkan tatap matanya ke arah yang lain. “Kau memuji Ki Jala Sayuta karena kau dan ia berkedudukan sama sebagai orang Demak. Cobalah memandang dari sisi yang berbeda. Tempatkan dirimu sebagai orang Blambangan.”

Gending Pamungkas menarik napas panjang. Katanya, ”Saya tak pernah ingin menjadi orang Blambangan.”

Raden Trenggana memandangnya heran.

Gending Pamungkas melanjutkan, ”Mengubah sudut pandang hanya membuat saya terjebak dalam gelisah, Raden.”

“Ini bukan permasalahan pribadi. Aku memintamu agar kau dapat mengerti bahwa ketinggian ilmu yang dimiliki Ki Jala Sayuta bukanlah yang tertinggi.”

“Tanpa mengubah cara pandang, saya telah memahami itu.”

“Lalu mengapa kau mengungkap gelisahmu dengan mendorong semua kapal yang berada di bagian sayapmu untuk mendekati pasukan sampan Blambangan? Kau tak perlu sembunyikan itu. Bahkan kedudukan perang hari ini akan menjadi tidak seimbang jika terus menerus larut dalam gelisah yang tak ingin kau akui.”

Gending Pamungkas tidak menjawab. Tetapi jantungnya bergolak hebat. Ia harus mengakui ketajaman pengamatan yang dilakukan oleh penguasa tertinggi Demak. Meskipun agaknya kedudukan pasukan laut Demak belum terlihat dalam kesulitan, namun Gending Pamungkas mengaku dalam hatinya bahwa ia benar-benar dalam cengkeram gugup yang luar biasa.

“Kau harus mampu mencegah seorang prajurit yang berpindah haluan!” perintah Raden Trenggana. Dan Gending Pamungkas mengenal betul orang yang dimaksud oleh panglimanya.

Related posts

Perwira 8

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 12

Ki Banjar Asman

Membidik 31

Ki Banjar Asman