Laskar Ki Garu Wesi seperti menghilang di balik asap dan kabut yang memenuhi permukaan wilayah luar pedukuhan Janti. Sementara itu kegelisahan makin mencekam hati para pengawal pedukuhan yang kebanyakan berisi anak-anak muda yang belum berpengalaman dalam peperangan. Meski Swandaru sering menggelar latihan-latihan yang terjadwal namun itu tidak dapat dibandingkan dengan keadaan sesungguhnya. Gelar perang dalam latihan bertujuan untuk membiasakan diri, tetapi pada malam itu para pengawal berhadapan dengan dua pilihan, hidup atau mati.
Seorang lelaki muda bahkan berisak tangis, dan ketika Jumena bertanya padanya, lelaki itu menjawab bahwa sebenarnya ia tidak keberatan bila harus mati di medan tetapi ia mengaku segala pengetahuannya tiba-tiba hilang. Jumena menyadari bahwa tekanan cukup berat telah berhasil dilakukan oleh musuh mereka. Membakar pategalan dan kebun, melontarkan panah dan bersembunyi ternyata menjadi senjata yang cukup mangkus diterapkan oleh laskar Ki Garu Wesi. Dalam waktu itu, kata Jumena dengan tenang, “Tidak hanya engkau yang mengalami kebingungan. Aku pun demikian. Tetapi percayalah, selagi engkau masih mendengar perintah Ki Gatrasesa dan kata-kataku, maka kita akan lewati neraka ini dengan baik. Percayalah!”
Banjar pedukuhan segera menjadi ramai oleh riuh suara orang-orang saling mengingatkan dan memberi perintah. Sebagian perempuan yang masih tinggal di banjar tidak lagi memancarkan raut wajah ketakutan. Sebaliknya, mereka adalah pelontar semangat terbaik pada malam itu.
Di halaman banjar, di hadapan penghubung yang akan menemui Agung Sedayu, di bawah pandangan puluhan pasang mata, Ki Gatrasesa lantang berkata, “Jika fajar nanti belum ada serangan dari lawan, itu tidak berarti kita mendapat kelonggaran waktu. Malam ini, waktu sepertinya bersahabat dengan kita, ia berjalan begitu lambat. Tetapi ia dapat berubah terlampau cepat apabila kita semua terlena atau terkungkung dengan perasaan tidak menentu. Tibanya pagi adalah tanda bahwa semua orang harus turut berperang. Kalian dapat berperang di jalan-jalan, ujung lorong, di pakiwan maupun di tepi hutan. Di mana kalian bertemu dengan musuh, di situlah kalian bertarung demi tanah, demi air dan harga diri kampung halaman kita.”
Sekejap mereka merasa seolah malam berhenti mendadak ketika suara Ki Gatrasesa menggema. Nada bicara pemimpin mereka telah menyentuh bagian terdalam dari inti semangat orang-orang yang mendengarnya. Tiba-tiba mereka berteriak penuh semangat. Hasrat untuk memenangkan peperangan muncul dan menguasai mereka tanpa kendali. Gelisah telah sirna, lalu berganti ketegaran langkah menyambut matahari pagi.
“Sekalipun kita kalah, kemenangan mereka harus melalui jalan yang sangat terjal” tekad seorang pemimpin kelompok pada anak buahnya. Dan ternyata gaung ucapannya segera memadati ruang udara pedukuhan Janti.
“Aku akan membuatkan neraka bagi mereka di pedukuhan ini!”
“Mereka akan menyesali keputusan dengan memilih lawan dan tempat yang salah.”
Dan seterusnya ucapan-ucapan senada bergantian memayungi udara pedukuhan Janti. Pedukuhan yang menjadi benteng pertama Sangkal Putung bangkit dan menunjukkan geliat bahwa mereka tidak mudah ditaklukkan!
Demikianlah, beberapa saat kemudian, kelompok-kelompok yang masih berada di banjar segera menempati kedudukan masing-masing. Mereka akan berperan sebagai pelapis apabila benteng di tepi pedukuhan telah terbongkar lawan.
Dalam waktu itu Ki Gatrasesa mengirim seorang penghubung ke pedukuhan induk. Petugas ini akan membelah satu pedukuhan yang memisahkan Janti dengan pendapa Ki Demang Sangkal Putung.
“Ki Rangga tentu telah melihat panah sendaren berapi itu dari pedukuhan induk. Namun jika belum ada utusan beliau yang datang ke Janti hingga sekarang, maka kita harus berprasangka baik bahwa Ki Rangga tengah menyusun rancangan yang berlawanan dengan musuh kita.”
“Saya mengerti, Ki Gatra,” kata penghubung.
“Berikan laporan yang sesuai dengan keadaan terakhir yang dapat kau simpan dalam ingatanmu. Katakan pada Ki Rangga bahwa KI Gatra menaksirkan ada seratus orang yang berada di barisan lawan. Katakan pula bahwa Ki Gatra mendasarkan itu dari bentangan garis api.”
“Baik, Ki Gatra.”
“Sekarang, pergilah. Jaga dirimu baik-baik. Selamat berjuang.”
“Saya percayakan pedukuhan ini pada Ki Gatra. Saya mohon diri.”
*mangkus = efektif. Kata “Mangkus” adalah kata asli bangsa Indonesia dan resmi tecantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.