Keadaan itu tidak begitu terlihat dari setiap gerak gerik senapati pasukan khusus Mataram itu, tetapi, sungguh sangat sukar bagi Agung Sedayu untuk meninggalkan satu persolan. Entah Sangkal Putung atau kelahiran anaknya. Keduanya sama-sama penting dan menyangkut hidup atau mati orang lain. Agung Sedayu menolak pandangan bahwa lebih baik mengorbankan keluarganya daripada kehilangan tanah yang dicintanya. Meski demikian, ia juga tak sanggup menerima pemikiran lebih baik kehilangan kemerdekaan daripada hidup sebatang kara. Walau pun di samping Sekar Mirah dan Ki Untara, Agung Sedayu masih memiliki Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun pemberian Yang Maha Sempurna adalah persoalan yang berbeda. Betapa ia mendambakan dan selalu mengharap keajaiban menghampiri kehidupan keluarganya, maka sekeras itu pula Agung Sedayu berusaha memecah kebuntuan yang membelit Sangkal Putung.
Ketika senapati tangguh itu masih menerobos gelisah yang mendera perasaannya, ia memanggil seorang pengawal.
“Dharmana!”
“Saya, Ki Rangga.” Dharmana menjawab panggilan itu dengan langkah lebar.
Kata Agung Sedayu kemudian, “Temani aku pulang ke rumah. Bawa kuda sekalian. Mungkin aku dapat mencari jalan keluar dari keadaan ini. Apakah engkau telah mendengar perkataan Ki Jagabaya?”
“Saya, Ki Rangga.” Dharmana berbalik arah. Sekejap kemudian mereka berdua beriringan mengayun langkah menuju rumah Ki Demang.
Belum jauh mereka meninggalkan gerbang banjar pedukuhan, tiba-tiba suara lantang menyusup pendengaran Agung Sedayu dan Dharmana.
“Ki Rangga!” teriak penunggang kuda dengan debu tebal mengepul ketika kaki kuda berderap kuat menghantam jalan utama di depan banjar.
Seketika Agung Sedayu menghentikan langkah, lalu memandang penunggang kuda dari arah Jagapraan dengan berbagai dugaan dalam pikirannya.
Tanpa bertele-tele, penunggang kuda yang dikenal sebagai salah satu ketua kelompok pengawal menyampaikan bahwa pertempuran telah terjadi di Pedukuhan Jagaprayan.
“Di mana kalian menghadang mereka?”
“Mereka menyeberangi sungai kecil yang menjadi batas wilayah pedukuhan kami. Sejumlah pengawal telah melontarkan anak panah tetapi mereka tetap maju. Dan sepertinya…dan sepertinya mereka mempunyai ilmu kebal.”
Kening Agung Sedayu berkerut, katanya, “Bagaimana engkau dapat menyimpulkan itu?”
“Ki Rangga,” kata ketua kelompok, “sungai itu tidak terlalu dalam. Mungkin hanya sebatas pinggang atau sedalam-dalamnya mungkin setinggi dada orang dewasa. Mereka menyeberang dengan menyisakan kepala di permukaan, tetapi perisai menutup rapat bagian atas mereka. Begitu rapat dan sulit ditembus oleh anak panah. Sementara anak panah yang menerobos permukaan sungai, ternyata, tidak ada yang menembus kulit orang-orang itu. Saya melihatnya sendiri.”
“Hmmm..Mungkinkah arus sungai begitu kuat sehingga lontaran anak panah pun meleset dari sasaran?”
Sejenak ketua kelompok pengawal itu memandang Agung Sedayu dengan raut wajah kebingungan. Pikirnya, mungkin saja karena memang air sungai tidak terlihat berubah warna dan keadaan cukup gelap.
“Saya tidak berpikir sejauh itu, Ki Rangga. Tetapi pasukan mereka ternyata mampu merayap hingga menaiki tebing sungai.”
“Lalu keadaan lapisan pertama?”
“Sebenarnya kami mampu menahan mereka, tetapi sejumlah orang berhasil menembus perintang yang terpasang sesuai rencana. Bahkan mereka telah mencapai lapisan ketiga!”
Tetapi, laporan tetaplah laporan. Kekacauan datang bertubi-tubi. Pedukuhan Janti yang terbakar dan penyerbuan di Pedukuhan Jagaprayan menjadi perhatian utama orang kepercayaan Panembahan Senapati itu. Agung Sedayu tidak dapat mengabaikan atau menilai ketua kelompok itu mengada-ada. Lalu kata Agung Sedayu, “Apapun itu, yang pasti adalah mereka berusaha menembus Jagaprayan agar dapat mencapai pedukuhan induk.” Pandang mata Agung Sedayu menerawang angkasa yang menaungi Pedukuhan Jagaprayan. Tidak tampak sesuatu yang menggelisahkannya seperti yag terjadi di Pedukuhan Janti, kebakaran.
Agung Sedayu membeku di persimpangan. Pandan Wangi, yang ketika itu telah berada di samping senapati Mataram, juga diam. Jalan pikiran Agung Sedayu tangkas membuka kemungkinan-kemungkinan. Pikirnya, bila Pandan Wangi ditugaskannya untuk membantu pertahanan Jagaprayan, boleh jadi pasukan musuh akan mendapat hambatan. Lalu Ki Jagabaya berdiri sebagai pelapis di Gondang Wates agar pedukuhan induk dapat memperpanjang napas. Lantas, bila yang menjadi senapati Raden Atmandaru adalah Ki Garu Wesi, apakah Ki Gatrasasesa dan Ki Jagabaya mampu mempertahankan dua pedukuhan yang segaris dengan pedukuhan induk? Demikian pula apabila Pandan Wangi memegang kendali penuh di Jagaprayan, apakah ia sanggup menaklukkan salah seorang dari tiga musuh yang pernah berkelahi dengannya di Jati Anom?
Perlahan Agung Sedayu berkata, “Bahaya yang mengintai telah menampakkan diri. Tidak ada jalan lagi selain bertempur walau kita dicekam ketakutan.”
Pandan Wangi mendengarkan ucapan Agung Sedayu sambil menarik napas panjang. Ia membayangkan seandainya saja Swandaru ada bersama mereka. Tentu penerobosan itu tidak akan terjadi, pikir Pandan wangi.
“Anakku…Sekar Mirah…,” desah Agung Sedayu dalam hatinya dengan perasaan yang menyayat jantung apabila ia tidak dapat menunggu pemberian Yang Maha Sempurna di bilik Sekar Mirah.
Satu!
Dua!
Tiga!
Dari arah Jagaprayan, tiga dentuman menggelegar dan mengguncang isi dada orang-orang di banjar pedukuhan. Ledakan yang sangat dahsyat itu, bahkan, menyebabkan tanah di pedukuhan induk menjadi bergetar!