Tenaga inti yang diungkap oleh Kiai Rontek melalui ilmu Wedhus Gembel telah berada pada lapisan lebih tinggi daripada Lembu Jati. Ketika Wedhus Gembel mulai bersinggungan dengan Jendra Bhirawa, yang terjadi kemudian adalah Jendra Bhirawa mengalirkan getar yang berlebih menuju arah yang berlawanan, lalu menghalau dengan lunak. Sehingga akibatnya Lembu Jati menerima hantaman ilmu Wedhus Gembel tanpa diketahui oleh Kiai Rontek, bahkan tidak juga oleh Adipati Hadiwijaya.
Sekalipun demikian tidak berarti Adipati Hadiwijaya dapat lolos dari dentuman Wedhus Gembel. Adipati Hadiwijaya yang merunduk dalam itu bahkan terbenam dan hanya bagian atas tubuhnya yang terlihat di permukaan tanah. Permukaan tanah sekelilingnya membekas gurat, bergaris-garis, melingkari Adipati Hadiwijaya. Pangeran Parikesit segera mengetahui keponakannya masih hidup dari dua matanya yang berkedip. Dan tahulah Pangeran Parikesit bila tidak ada tulang belulang yang patah dan bagian dalam tubuh Adipati Hadiwijaya yang hancur. Namun ia sadar cairan merah yang meleleh dari dua telinga dan sela bibirnya harus segera dihentikan. Agaknya dua tenaga inti yang menghantam Adipati Hadiwijaya memang membuat jantung dan bagian dalam lainnya tidak dapat bekerja beiringan. Bagian dalam tubuhnya seperti bekerja secara terpisah, oleh karena itu, Pangeran Parikesit harus mampu mengembalikan keseimbangan agar hidup Adipati Hadiwijaya dapat diselamatkan.
Keadaan yang berbeda menimpa Lembu Jati. Tubuhnya yang kekar terseret di atas tanah yang sangat panas dan penuh serpihan kayu yang membara.
“Lembu Jati!” desis Kiai Rontek sewaktu melihat Lembu Jati terpental sangat cepat, seketika Kiai Rontek meluncur dan menyambar Lembu Jati sebelum menghantam pohon yang batangnya telah terbakar. Dalam waktu itu, Kiai Rontek mengetrapkan Wedhus Gembel, menggunakan tenaganya untuk melesat maju sambal membuka jalan dengan memanggul Lembu Jati pada salah satu pundak. Kiai Rontek menembus kobaran api menuju utara.
“Ke mana kita akan pergi, Kiai?” tanya lemah Lembu Jati dari balik punggung Kiai Rontek.
“Kita akan menetap sementara waktu di pesisir,” sahut Kiai Rontek. Sesaat setelah mereka tiba pada bagian luar hutan yang belum terbakar, Kiai Rontek mencoba memberi pertolongan pada Lembu Jati.
” Mas Karebet?”
”Ia masih hidup saat kita tinggalkan.” Tatap mata Kiai Rontek tak berkedip ketika menjawab pertanyaan Lembu Jati. Ia memusatkan perhatian pada racikan dedaunan untuk menutup luka bakar Lembu Jati.
Bergumam pelan Lembu Jati mendengar jawaban Kiai Rontek. Kemudian katanya, ”Sayang sekali..sayang. Kiai, berapa lama kita akan menunggu kesempatan ini terulang?”
”Jangan bersikap bodoh selama Pangeran Parikesit masih ada di tengah-tengah mereka,” sahut Kiai Rontek sambil menutup pengobatannya dengan menyalurkan tenaga inti untuk menambah daya tahan Lembu Jati.
”Terima kasih, Kiai.”
Lembu Jati kemudian mencoba untuk duduk. Ia menyilangkan dua kaki dan mulai memperbaiki tatanan saraf dan urat yang masih bergetar di dalam tubuhnya. Malam hampir menjelang fajar ketika mereka usai memusatkan cipta dan rasa untuk tujuan yang berbeda.
”Marilah! Kita harus secepatnya tiba di pesisir dan melaporkan ini semua pada Ki Tumenggung Adiwangsa!” Kiai Rontek pun bangkit dan bersiap untuk pergi. Lembu Jati lantas mengikutinya dan keduanya melangkah lebar. Sepertinya mereka mempunyai keyakinan bahwa tidak ada orang yang mengamati keduanya. Dalam benak mereka seolah telah menduga bahwa ketiga orang Pajang yang menjadi lawan mereka masih disibukkan untuk merawat Adipati Hadiwijaya.
Dan memang seperti itulah yang terjadi di lingkar bekas pertarungan yang sangat dahsyat itu. Udara hangat menyusup memasuki setiap piranti bagian dalam tubuh Adipati Hadiwijaya. Wajah Pangeran Parikesit terlihat pucat karena telah berada lebih tinggi dari batas kemampuannya. Untuk beberapa lama ia berada dalam keadaan seperti itu hingga tangan Ki Getas Pendawa lembut menyentuhnya.
”Biarkan saya yang melanjutkan, Paman,” suara lirih Ki Getas kemudian dijawab dengan anggukan kepala Pangeran Parikesit.
Demikianlah kemudian Pangeran Parikesit mengambil jarak dari keduanya. Ia duduk tegak bersimpuh kaki. Ia membutuhkan masa yang lebih lama untuk mengembalikan daya tahan tubuhnya. Lantas wajah Pangeran Parikesit kembali terlihat segar dan udara mulai keluar masuk dengan halus dari balik dadanya.
Api mulai berangsur mengecil saat rintik gerimis membasahi permukaan bumi Pajang. Udara pada waktu menjelang fajar itu dipenuhi asap dari bara-bara yang mulai surut. Meski begitu api masih terlihat menyala di sejumlah kecil bagian hutan. Tiba-tiba satu dorongan angin yang sangat kuat menyibak kepul asap yang menutup pandang mata.
”Mungkinkah orang ini adalah Kiai Rontek?” Pangeran Parikesit membuka mata, dan dalam simpuhnya, ia bersiap menyambut serangan yang mungkin datang. Ki Getas Pendawa mengerling padanya lalu mengangguk ketika Pangeran Parikesit memintanya untuk melanjutkan pemulihan pada Adipati Hadiwijaya.
Tak lama kemudian satu bayangan tubuh berkelebat keluar dari lorong yang berdinding asap. Pangeran Parikesit memicingkan mata karena sulit mengenali sosok yang datang dengan kecepatan yang nyaris mendekati kemampuannya.
”Wayah Penangsang!” Pangeran Parikesit berkata lirih dan menjadi lega setelah Arya Penangsang secara mengejutkan telah berada di hadapannya lalu memberi hormat.