“Namaku Laksa Jaya. Berasal dari barak prajurit di Wringin Anom,” akhirnya suara Laksa Jaya keluar dengan getar penuh gejolak.
Prajurit itu berjalan memutari Laksa Jaya dengan mata melihat dari kepala hingga ujung kaki. Sekilas ia melihat kuda Laksa Jaya lalu berkata, ”Baiklah, aku akan melapor kepada pemimpinku. Sementara kau dapat menunggu di gardu jaga.” Ia berjalan meninggalkan Laksa Jaya yang masih berdiri tegak dan menahan rasa marah yang nyaris saja meledak. Sesaat kemudian Laksa Jaya mengikuti prajurit itu dan memasuki gardu jaga dengan perasaan yang belum mengendap.
Nyaris seharian Laksa Jaya menunggu di gardu jaga, tetapi sepenuhnya ia dilayani dengan baik oleh prajurit-prajurit yang berada di sekitarnya. Selama waktu tunggu, ia merasakan ada yang perubahan besar yang terjadi di Kahuripan. Bahkan sempat melihat seorang pencuri yang pernah ditangkapnya berjalan beriringan dengan satu dua prajurit yang meronda.
“Perubahan seperti apa yang terjadi di kota ini?” Ia bertanya-tanya dengan pandang mata yang ia lepaskan dari balik jendela. Laksa Jaya benar-benar digelayuti pertanyaan besar karena perubahan yang terjadi di balik dinding kota tidak seperti ketika menemui kerabatnya beberapa pekan silam. Ia melihat seorang prajurit dengan seenaknya berkata-kata tidak sepatutnya ketika serombongan orang melewati gardu jaga. Di tempat lain ia menyaksikan seseorang melakukan perampasan tetapi hanya dilihat saja oleh prajurit peronda.
Kekacauan benar-benar terjadi di Kahuripan sejak ditinggalkan oleh Bhre Kahuripan.
Sejenak kemudian ia mendengar langkah orang mendekatinya. Seorang lelaki bertubuh gemuk segera menyapa lalu berkata, ”Aku melihat tanda di pakaianmu, Ki Sanak. Sebentar lagi aku akan mengantarmu menemui Ki Cendhala Geni.”
Laksa Jaya semakin terkejut mendengar nama Ki Cendhala Geni disebut oleh prajurit yang gemuk itu. Agaknya prajurit itu menyadari bahwa orang yang sedang duduk di depannya tidak mengerti perkembangan yang terjadi di dalam kota.
“Apa yang menjadikanmu terkejut, Ki Sanak?”
“Kau sebut nama Ki Cendhala Geni, bukankah ia orang yang masih dalam pencarian Ki Rangga Ken Banawa? Dan sepertinya ia menempati kedudukan tinggi di kota ini. Maaf, Ki Lurah. Saya berkata seperti itu karena mendengar yang Anda ucapkan. Menemui Ki Cendhala Geni.”
“Tentu saja kau tidak mengerti,” kata orang gemuk itu lalu berjalan mendekati Laksa Jaya, ”telah terjadi perubahan dalam pemerintahan Kahuripan. Ki Cendhala Geni kini adalah seorang patih yang berdampingan dengan Ki Srengganan.”
“Kapan itu terjadi? Aku tidak melihat bekas peperangan di dalam kota,” Laksa Jaya mengerutkan kening.
“Tidak ada peperangan yang terjadi. Semua terjadi dalam waktu yang sangat singkat,” lelaki gemuk itu menarik napas panjang. Lantas ia melanjutkan, ”Sementara Bhre Kahuripan menuju kotaraja, Ki Srengganan dan Ki Cendhala Geni segera mengambil alih kedudukan.”
“Dan kalian tidak melawan?”
“Untuk apa aku melawan mereka berdua? Apalagi kini aku adalah seorang lurah prajurit. Aku naik selapis setelah belasan tahun menjadi prajurit rendahan sepertimu!” kata lelaki gemuk itu dengan membusungkan dada. Ia meneruskan, ”Sudah sepantasnya orang itu diganti dengan mereka yang berwawasan luas. Bhre Kahuripan sama sekali tidak berbuat apapun untuk kota ini.” Lelaki gemuk itu mencibir pemimpin sebelumnya. Lalu ia mengajak Laksa Jaya untuk segera menemui Ki Cendhala Geni.
Laksa Jaya cepat menguasai diri saat berhadapan dengan kenyataan yang tidak ia perkirakan sebelumnya. “Perubahan ini akan menjadi kebaikan bagiku dan Patraman.” Ia tersenyum sendiri dan mempercepat langkahnya mengikuti lelaki gemuk yang berada di depannya.
Setelah melewati beberapa penjagaan dan menjawab satu dua pertanyaan, Laksa Jaya berdiri tegak berhadapan dengan seorang lelaki yang masih terlihat segar meski usianya lebih dari setengah abad.
“Ki Cendhala Geni, kiranya sangat tersanjung dapat bertemu dengan Anda,” Laksa Jaya membungkukkan tubuh dengan tangan tertangkup ke arah Ki Cendhala Geni.
“Siapakah engkau Ki Sanak? Seorang Majapahit datang kemari tentu ia telah memiliki puluhan nyawa. Dan pastinya engkau adalah orang hebat sehingga mampu menemukanku,” Ki Cendhala Geni seolah memuji Laksa Jaya. Dalam hatinya, ia menduga bahwa orang yang berada di depannya ini tak ubahnya seorang pecundang sebagaimana pejabat lainnya di Kahuripan.