Kethoprak umumnya mengangkat cerita yang bersumber dari Babad Tanah Djawi atau sejarah tanah Jawa sebagai landasan. Namun, kethoprak Pati yang seringkali disebut juga kethoprak pesisiran agak berbeda dengan kethoprak Mataraman. Kethoprak Pati banyak menampilkan lakon-lakon yang mengisahkan cerita tutur pesisir utara Jawa. Beberapa lakon yang seringkali dimainkan di antaranya: Syekh Jangkung, Ontran-ontran Cirebon, Geger Palembang, Bedhahing Ngerum, Sultan Agung Tani, Lulang Kebo Landoh, Ondho Rante, dan Maling Kapa, Maling Kentiri.
Sementara itu, ada beberapa lakon yang karena dianggap sensitif oleh masyarakat dan biasanya dihindari dalam pementasan grup kethoprak Pati, misalnya Pakuwaja, Syekh Siti Jenar, dan Arya Penangsang Gugur. Ketiga lakon tersebut amat sensitif bagi masyarakat wilayah Pati dan sekitarnya meskipun bagi wilayah tertentu sensitivitasnya bisa saja menjadi longgar. Hal ini biasanya ditentukan oleh letak geografis atau keberpihakan wilayah tersebut dengan kehidupan mitos dan lakon kethoprak tersebut.
Penulis melihat bahwa persepsi seniman kethoprak Pati dalam melihat tokoh Arya Penangsang agak yang berbeda dengan penggambaran di Solo-Jogja membuat diskursus lebih menarik. Demikian halnya dengan penggambaran Sunan Kudus yang memang satu paket dengan Arya Penangsang. Alasan Raden Kikin (ayah Arya Penangsang yang dikenal juga dengan Surawiyata) dan Arya Penangsang memberontak memiliki alasan logis berkaitan dengan hak atas Kesultanan Demak. Berkaitan dengan keberanian seniman Pati berseberangan dengan Babad Tanah Djawi atau Jogja-Solo, salah satu alasannya, wilayah Pati lebih dekat dengan keberadaan kisah atau sejarah tersebut pernah berlangsung.
Dalam kethoprak Pati, Raden Kikin yang didukung Sunan Kudus meminta tahta Kesultanan Demak setelah wafatnya Pati Unus (Sultan Demak II) dalam serangan mengusir Portugis di Malaka karena melihat Raden Trenggana masih sangat muda dan tidak memiliki pengalaman memimpin sebuah wilayah. Demikian halnya dengan Arya Penangsang, ia meragukan Sultan Prawata (pengganti Sultan Trenggana) yang sebelum menjadi sultan lebih berkecimpung sebagai ulama di Prawata dengan gelar Sunan Prawata.
Alhasil, ketidakberhasilan suksesi juga dipengaruhi oleh keterlibatan para botoh (pendukung) untuk bersaing memuluskan perjalanan para calon pemimpin yang didukungnya. Pementasan lakon Arya Penangsang di Pati menjadi lebih unik jika dibandingkan dengan di Solo-Jogja yang hanya memihak Hadiwijaya atau cerita tutur di Cepu yang hanya memihak Arya Penangsang. Arya Penangsang di Pati ditampilkan sebagai tokoh yang berkarakter bulat (round character) yang melihat seorang tokoh secara dinamis dan tidak hitam-putih.
Dari judul pementasannya yaitu Surawiyata Berontak/Arya Penangsang Lahir, pementasan tersebut sudah menunujuk pada seorang tokoh dengan persepsi negatif. Surawiyata (disebut juga dengan Raden Kikin, Pangeran Sekar, atau Pangeran Sekar Seda Lepen) adalah ayah Arya Penangsang yang saat terjadi suksesi Kesultanan Demak setelah meninggalnya sang kakak (Pati Unus/Sultan Demak II yang tidak memiliki anak) menjabat sebagai Adipati Jipang.
Penyebutan putra Raden Patah dengan “Surawiyata”, tidak memilih “Raden Kikin” atau “Pangeran Sekar”, tentunya bukanlah hal yang kebetulan. Ada upaya untuk mendelegitimasi sosok ini dengan menghilangkan gelar “Raden” atau “Pangeran” di depan namanya yang dalam budaya Jawa adalah penyebutan untuk anak-anak raja (ksatria utama). Sementara itu, istilah “berontak” berarti melawan pemerintah (kekuasaan dan sebagainya) secara serentak. Istilah ini menegaskan tokoh Surawiyata dipersepsikan sebagai seseorang yang melawan pemerintahan Kesultanan Demak.
“Arya Penangsang Lahir” yang diletakkan di belakang judul pementasan lakon Surawiyata Berontak/Arya Penangsang Lahir adalah hal yang jarang terjadi dalam lakon kethoprak di Jawa. Hal ini menunjukkan beberapa kemungkinan alasan.
1) Pertimbangan seni karena kethoprak adalah salah satu bentuk kesenian Jawa. Judul pementasan tentu mempertimbangkan aspek seni dan keindahan pula. Surawiyata Berontak/Arya Penangsang Lahir akan terasa lebih indah dan gayut dengan tokoh terkenal lainnya yang sangat dikenal oleh masyarakat Jawa, yaitu Arya Penangsang (anaknya).
2) Pertimbangan amelioratif karena Surawiyata adalah seorang pangeran Kesultanan Demak. Meskipun sejarah telah menuliskan perpecahan keluarga, perebutan tahta, dan pembunuhan dalam Kesultanan Demak, ada semacam keengganan bagi seniman kethoprak Pati untuk menghina dan merendahkannya. Mereka tetap menaruh hormat pada Raden Patah dan keturunannya yang secara geografis sangat dekat dengan wilayah mereka. Penambahan Arya Penangsang Lahir di belakang Surawiyata Berontak dengan demikian untuk menghaluskan makna (amelioratif) karena seorang anak yang baru lahir identik dengan kasih sayang dan bebas dari kepentingan.
3) Menyiasati mitos yang melarang masyarakat Demak, Jepara, Pati, Kudus, Blora, dan Rembang untuk mementaskan gugurnya Arya Penangsang dalam kethoprak. Kerinduan ini diwujudkan dengan menceritakan gugurnya Surawiyata (ayahnya) yang dalam cerita masyarakat Pati bersamaan dengan lahirnya Arya Penangsang. Sunan Kudus menemukan bayi merah temangsang (tersangkut) di akar pohon di tepi Sungai Lusi, dan diberilah nama Arya Penangsang. Saat ditemukan, Arya Penangsang berada di samping jasad ayahnya yang terbunuh dan ibunya yang meninggal setelah melahirkan. [penulis]