SuaraKawan.com
Bab 14 Pertempuran Hari Pertama

Pertempuran Hari Pertama 6

Bondan bergeser ke samping selangkah dengan tubuh sedikit merunduk. Ikat kepalanya telah terurai dan siap mematuk dada Ki Cendhala Geni. Ketika itu Ki Cendhala Geni bergeser setapak maju dan mempersiapkan diri untuk menyambut terjangan Bondan.

Bondan melesat cepat sambil menyentakkan udeng mengarah kening Ki Cendhala Geni dengan kecepatan yang luar biasa. Seiring dengan sentakan itu terdengar bunyi ledakan keluar dari ujung ikat kepala Bondan. Ki Cendhala Geni berlekas menghindar sambil mengayunkan kapaknya pada pangkal lengan Bondan. Serangan itu dielakkan Bondan dengan ayunan kaki yang bergeser dalam susunan yang teratur. Ki Cendhala Geni terus datang dengan gebrakan demi gebrakan yang disertai pengerahan tenaga inti, sehingga putaran kapak semakin cepat dan yang terlihat kemudian adalah tubuhnya terbungkus gulungan cahaya berkilat-kilat! Desir angin yang ditimbulkan putaran kapak membuat kulit terasa pedih merupakan tanda bahwa musuh Bondan tsemakin mendekati lapisan puncak ilmu yang dikuasainya.

Para pemimpin kelompok telah berhadapan dengan lawan yang seimbang.

Dua pasukan sehamparan tebasan parang itu saling menekan dan saling mendesak. Dua kelompok besar itu sama-sama merasakan bahwa lawan mereka adalah kekuatan yang seimbang.

Demikianlah pertempuran itupun meningkat makin sengit.

Perlahan, di bagian sayap yang dipimpin Ra Caksana, yang membayangi Warastika, sedikit banyak dapat menekan pasukan Ubandhana. Ubandhana yang sedang terkepung itu melenting tinggi melampaui kepala para pengepungnya dan mendarat di tengah-tengah pasukannya.

“Gila! Kita menghadapi dua pasukan yang gila. Pecah barisan dan beberapa orang ikuti aku membelah dari tengah ke dalam gelar mereka,” bisik Ubandhana pada Pragola yang bertempur di sisinya. Pragola lantas meneriakkan sejumlah aba-aba yang kemudian diikuti perubahan gelar dalam kelompok kecil mereka.

Sedikit demi sedikit perubahan gelar yang dilakukan Pragola dapat membebaskan pasukannya dari tekanan Warastika dan Ra Caksana.  Meskipun begitu, baik Pragola maupun Ubandhana masih belum sepenuhnya lepas dari tekanan orang-orang Majapahit.

“Ubandhana, bukalah jalan untukku. Aku akan melawan pemimpin kelompok yang datang belakangan,” kata Pragola sambil menunjuk ke arah Ra Caksana.

Sambil menggeleparkan tombak pendeknya, Ubandhana menyahut, ”Baiklah.”

Dalam sekejap, tombak Ubandhana menerjang ke berbagai arah. Ujung tombaknya telah melempar dan melukai prajurit Majapahit yang berada dalam jangkauannya. Ia banyak membunuh orang-orang Sumur Welut. Pragola yang mengikutinya dari belakang kemudian melayang mendekati pemimpin lawannya dengan tubuh berputar cepat sambil  menusuk dada Ra Caksana.

Segera Ubandhana menerjang Warastika setelah memastikan Pragola menguasai keadaan Ra Caksana.

Matahari perlahan-lahan mengambil tempat di punggung perbukitan.

Dalam keadaan seperti itu, pergerakan pasukan yang saling menggeser berdesakan ataupun saling mengisi kekosongan celah kosong gelar perang terlihat seperti gelombang besar di samudera. Prajurit yang agak segar mulai menggantikan kawannya yang beringsut ke garis belakang untuk sekedar istirahat. Aliran prajurit dari kedua pasukan ini mulai merembes ke segala arah. Mereka masih terus menerus bergerak dan berpindah, mengikuti aba-aba pemimpin kelompok atau senapati sayap.

Di barisan depan kedua pasukan tampak pergeseran susunan barisan yang menjadi bagian gelar perang. Di antara mereka juga terdapat beberapa prajurit yang secara khusus bertugas merawat kawannya yang terluka. Sebagian orang tampak hilir mudik mempersiapkan makanan dan minuman bagi para prajurit.

Pada kedua ujung sayap kedua gelar perang itu pun terjadi benturan-benturan yang tak kalah dahsyatnya. Namun seiring dengan pergeseran waktu maka semakin banyak pula prajurit yang tidak tuntas melaksanakan tugasnya.

Tubuh para prajurit banyak tergeletak membujur melintang di medan perang. Sebagian prajurit yang merupakan kawannya berusaha membawa mereka ke garis belakang agar tidak terinjak namun tak jarang kesemepatan itu telah tertutup. Prajurit dari kedua pasukan ini sudah berusaha untuk bertahan hidup. Gelar kedua pasukan mulai menyusut. Rasa lelah mulai menghampiri para prajurit dan segenap orang yang terlibat dalam pertempuran besar itu. Keringat dan darah kedua pasukan sehamparan tebasan parang ini mulai membasahi bumi. Tanah yang mereka pijak semakin membara seiring dengan mulai redupnya sinar matahari .

Sementara itu di bagian tengah lapangan yang luas itu, para pengiring Mpu Drana masih berusaha membatasi pasukan Ki Sentot yang giat membuka jalan gajah. Sewaktu kebisingan dentang senjata dan suara orang-orang yang saling menimpali, Mpu Drana segera membawa para pengiringnya ke seekor gajah yang terdekat dari tempatnya. Mpu Drana dengan tangkas mengurai sebatang cambuk yang panjangnya lebih dari dua tombak. Seraya memutar-mutar cambuk di atas kepalanya, Mpu Drana yang semakin dekat dengan gajah itu tiba-tiba melecutkan cambuk pada prajurit yang berada di atas punggung gajah.

Related posts

Membidik 54

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 21

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 18 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman