SuaraKawan.com
Bab 9 Rawa-rawa

Penculikan 16

Ki Cendhala Geni segera merendahkan tubuh lalu berguling, ia menjauh dari ancaman pedang yang menebar bau wangi negeri orang mati. Sejurus kemudian, sekali lagi, kedua orang yang kira-kira berusia sebaya ini kembali terlibat saling serang dengan dahsyat.
Sama sekali tidak ada seorang yang menyangka bahwa bentakan Ki Cendhala Geni sanggup merobohkan satu orang dari Kalayudha, kesatuan prajurit yang dipimpin Laksa Jaya. Ia seketika seperti terpaku dalam berdirinya ketika auman Ki Cendhala Geni memasuki rongga telinganya. Sebagian orang yang melihatnya pun ternganga!
Hal ini tidak dibuang percuma oleh laskar Majapahit yang menjadi lawannya. Tusukan tombak pendeknya menembus dada pengikut Laksa Jaya.

Arum Sari yang mengamati pertarungan yang terbagi dalam beberapa lingkaran kecil mulai merasakan penat di matanya. Kecepatan setiap orang dan dentang senjata yang beradu telah melelahkan jiwanya. Ia memejamkan mata sambil mengingat perihal Patraman dan Laksa Jaya. Benaknya segera melayang mundur beberapa bulan yang telah lewat.
Diingatnya bahwa Patraman adalah orang Tumapel yang dikirim Adipati Singasari untuk membantu ayahnya guna mengamankan kademangan dari penjahat. Setelah berjumpa dan berbincang banyak kali dengan Patraman, ia mendapatkan kesan bahwa pemuda Tumapel ini adalah lelaki muda yang bercita-cita tinggi dan berwatak keras. Kesan itu semakin kuat ketika ia dapatkan laporan dari prajurit yang bertugas di kaputren.

Terlebih, ketika ia mengenang Patraman unjuk ketidakpuasan pada titah raja yang menunjuk ayahnya sebagai orang tertinggi dengan wewenang : memutuskan segalanya di kademangan. Saat itu Patraman berbicara sambil menunjuk wajah ki demang dalam sebuah sidang di pendapa kademangan.
Menurut Arum Sari, sikap Patraman sama sekali tidak mencerminkan nilai-nlai seorang prajurit, baik sebagai senapati maupun perwira. Apalagi jika dibandingkan dengan tata moral dan keluhuran yang selama ini telah mereka junjung tinggi. Saat itu dengan kata-kata kasar dan bernada menghina, Patraman meremehkan kemampuan ayahnya yang merupakan pemimpin tertinggi Wringin Anom. Namun sejauh itu Arum Sari masih belum mengerti alasan penculikan yang dilakukan oleh Ubandhana.

Sementara itu di dekat rawa-rawa, Gumilang yang bertarung melawan Patraman dan Laksa Jaya yang telah terluka, benar-benar menunjukkan kemampuannya dalam batas tertinggi. Gendewa yang tadinya tergenggam di tangan kiri secara cepat tergantung di punggungnya tanpa mengurangi daya serang. Sebagai gantinya kini Gumilang memegang sebuah belati sepanjang lengan orang dewasa. Belati yang ganas mematuk setiap kali pergelangan tangan lawannya yang mencoba mendekat, sedang pedang Gumilang menggedor pertahanan kedua lawannya tiada henti.

Keadaan masih remang dan Gumilang belum mengurangi tekanan, ia deras mencecar Laksa Jaya yang semakin banyak mengalirkan darah. Laksa Jaya merupakan orang terlemah jika dibandingkan dengan Patraman, menurut pengamatan Gumilang. Oleh karenanya Gumilang menjadikan Laksa Jaya sebagai sasaran pertama untuk dilumpuhkan. Ia melepaskan Patraman dan tidak memperdulikan serangan Patraman. Meski begitu, usaha Patraman untuk mengalihkan perhatian Gumilang belum mengendur. Tetapi ayunan pedang Gumilang yang membungkus rapat tubuhnya, ditambah belati yang sering mendadak mematuknya seolah menjadikan usahanya sia-sia.

Tusukan pedang berhulu kepala rajawali berhasil ditepis Laksa Laya, namun Gumilang memutar pedang, membentuk garis lingkaran lalu mem-belah kepala Laksa Jaya. Laksa Jaya tangkas menempatkan pedangnya menyilang di atas kepala. Walau telah menahan hantaman Gumilang dengan kedua tangannya, namun tenaganya tak mampu membendung serangan, hingga akhirnya Laksa Jaya jatuh berlutut karena tekanan dahsyat Gumilang.

Related posts

Sampai Jumpa, Ken Arok! 4

Ki Banjar Asman

Bulan Telanjang 14

Ki Banjar Asman

Membidik 49

Ki Banjar Asman