SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 25

Pertarungan berlangsung semakin dahsyat!

Ki Patih Mandaraka — yang telah dibatasi oleh usia —  bergerak lebih lambat dengan segenap kemampuannya. Meski lebih lambat, tetapi tidak mudah bagi Ki Tunggul Pitu untuk mendesak. Sebenarnya mereka berdua sama-sama tidak dapat saling menekan lalu menguasai keadaan. Benarkah kekebalan ilmunya telah mencapai sedemikian tinggi? Mungkinkah telah setara dengan kekebalan Sultan Hadiwijaya? Seharusnya ia dapat menembus pertahanan lawan dengan sayatan Kiai Kutharaga. Namun ternyata tidak mudah! Meski demikian, jalan pikiran Ki Patih Mandaraka mempunyai pemahaman bahwa tidak ada kekebalan yang tidak dapat ditembus. Patih Mataram menghentak tenaga cadangannya lebih tinggi hingga mencapai lapisan puncak, tetapi keadaan itu membuat pergerakannya menjadi lebih lambat!

Ki Tunggul Pitu bukan tidak menyadari pergeseran itu. Ia dapat merasakan bagian dalam tubuhnya yang mulai terpengaruh oleh tenaga cadangan lawannya. Dan ia bergeming! Ki Tunggul Pitu tetap bertarung dengan cara yang sama seperti awalnya, namun kali ini, ia semakin meningkatkan  kecepatannya, pergerakannya semakin sulit diikuti oleh pandangan mata maupun penglihatan Ki Patih  Mandaraka. Dalam waktu itu pula, Ki Patih Mandaraka juga menemui kenyataan bahwa kulitnya mulai dapat disentuh oleh sengatan tajam yang timbul dari angin beku dari pukulan Ki Tunggul Pitu. Akibatnya, tulang-tulang sepanjang lengan dirasakan nyeri olehnya.

Kekuatan cadangan Ki Patih Mandaraka telah memenuhi segenap bagian Kiai Kutharaga. Sering terlihat cahaya yang menyelubungi senjata mustika itu. Cahaya itu tidak keluar darinya, cahaya itu muncul sebagai perpaduan kekuatan Ki Patih dan kemampuan yang tersimpan dalam Kiai Kutharaga sendiri. Di antara dera kesakitan yang timbul karena benturan, Ki Tunggul Pitu melambarkan pula kekuatannya pada suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya. Kadang ia mencicit seperti kelelawar, kadang-kadang ia melengking tinggi dan setiap suara adalah tusukan setajam sembilu yang memasuki rongga pendengaran.

Keduanya sama-sama merasa saling tersakiti dan mereka sama-sama orang yang keras pendirian! Tidak mungkin bagi Ki Patih Mandaraka menyerahkan kemenangan pada lawan yang ingin mengubah Mataram. Begitu pula, Ki Tunggul Pitu yang menginginkan kepala Ki Patih Mandaraka agar dapat ditukar dengan kitab Kiai Gringsing dan hadiah lain dari Raden Atmandaru.

Sejak perkelahian mereka meningkat sengit, Ki Patih Mandaraka tidak lagi membagi perhatian pada lingkaran di sampingnya. Apakah Agung Sedayu telah terkapar atau meraih keunggulan? Sepenuhnya Ki Patih Mandaraka tidak mengetahui perkembangan yang sedang berlangsung ketat pada perkelahian Agung Sedayu.. Namun ia telah membuat pertimbangan untuk menghadapi segala perubahan. Walau tidak dapat mengetahui secara pasti isi pikiran Agung Sedayu, Ki Patih sepenuhnya yakin bahwa senapati Mataram itu sejalan dengan rancangan yang berada di dalam pikirannya.

Sepanjang waktu mereka berkelahi, Agung Sedayu belum mendapatkan ruang dan waktu untuk menyerang lawannya melalu sorot matanya yang menggiriskan. Percobaan pertama yang dilakukannya belum mampu meremukkan tulang kaki Ki Sekar Tawang. Orang itu terlihat begitu sigap membebaskan diri dari serangan pemimpin pasukan khusus yang dilontarkan melalu sepasang bola matanya.

Agung Sedayu semakin menggencarkan serangan, lalu berkata tanpa tedeng aling-aling, “Ki Kebo Lungit, bila benar engkau telah meletakkan kepalamu di bawah kaki junjunganmu, sebaiknya kau benar-benar menguasai jalan melarikan diri. Bukankah itu adalah keahlianmu tertinggi?” Agung Sedayu melontarkan kata-kata pedas. Pertarungan berlangsung sangat ketat dan Agung Sedayu menapak ilmu cambuk selapis lebih tinggi. Sentakan sendal pancing tak lagi menimbulkan suara meledak-ledak tapi gelombang tenaganya benar-benar menggetarkan dada Ki Sekar Tawang.

Ucapan itu membuat Ki Sekar Tawang meradang. Makin tangkas dan cepat ia menggerakkan Kiai Plered. Seiring dengan kelebat dua senjata yang semakin hebat, bayangan dua orang itu kian sulit diikuti pandangan mata orang-orang terlatih. Seolah sepasang kaki mereka tidak lagi menginjak tanah. Tubuh mereka saling memutari dengan serangan-serangan yang sanggup membelit dan membanting seekor gajah. Gelombang tenaga mereka menggelepar memenuhi udara, berayun seperti ombak di atas samudera.

Lontaran kata-kata yang diucapkan Agung Sedayu seperti minyak yang dituangkan pada api yang sedang menyala. Rasa geram mendorong Ki Sekar Tawang untuk mencoba mengais kenangan-kenangan yang dipercayainya akan mampu menggoyahkan kemapanan jiwani Agung Sedayu.

“Orang yang tidak mempunyai belas kasih dan menyimpan cinta dalam hatinya, sebenarnya ia tengah menempuh perjalanan panjang. Sebuah lorong kelam yang harus ia lewati tanpa kaki untuk berjalan, tiada tangan untuk memegang dan sayap yang enggan bertumbuh.”

Baca : Ia Bernama Sanumerta

“Engkau cukup beruntung dan bernasib baik pada hari itu, Sedayu,” tanggap Ki Kebo Lungit alias Ki Sekar Tawang. “Kehadiran Danang Sutawijaya cukup mengkhawatirkan karena ia dapat mengerahkan ribuan orang untuk mengepung lalu membunuhku. Dan perintahnya adalah keuntungan bagimu, Agung Sedayu. Namun engkau tidak menyadari keadaan itu. Engkau merasa jumawa dan yakin akan mengalahkanku seorang diri. Di mana gurumu pada saat Sutawijaya menyerang Madiun? Kau tahu keberadaannya?”

Agung Sedayu yang belum mengenal baik wajah dan kemasyhuran lawannya menjadi tercenung. Bukan pada sosok Ki Sekar Tawang tetapi pertanyaan tentang Kiai Gringsing? Agung Sedayu membuang keraguan dari dalam kepalanya. “Mengapa ia bertanya tentang Kiai Gringsing? Sudah pasti ia sedang mencoba mengusikku dengan kesedihan. Ia berusaha memancingku keluar dari lingkaran,” pikir senapati Mataram itu tanpa mengurangi tekanan dan ia terus-menerus bergerak.

“Apakah gurumu seorang pengecut besar, Agung Sedayu? Seharusnya ia tidak meninggalkan Madiun. Ya, aku melihat gurumu memasuki Madiun sebelum perang dimulai,” sergah Ki Sekar Tawang.

Agung Sedayu tidak peduli. Ia menerjang dengan lengking suara yang sangat tajam. Tiba-tiba Agung Sedayu menyerang dengan kecepatan yang tidak terduga dan di luar perkiraan Ki Sekar Tawang.

Related posts

Merebut Mataram 57

Redaksi Surabaya

Lembah Merbabu 31

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 44

Redaksi Surabaya