SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 57

Hentak tenaga cadangan Ki Plaosan tiba-tiba memecahkan udara dingin yang dihanyutkan angin dari puncak Merbabu. Sikap hati Ki Panji Secamerti yang memandang remeh pada kemampuan lawan pun seolah menjadi remah lembut yang dikibaskan begitu mudah oleh angin malam. Hawa tenaga cadangan Ki Plaosan mendadak mendatangkan kengerian baginya. “Ini kemampuan seorang lurah dari pasukan dedemit!” getarnya dalam hati. Benar, Ki Panji Secamerti dapat dianggap benar bila menganggap Ki Plaosan adalah seorang senapati dari pasukan setan. Itu memang benar karena udara yang bergerak dari hasil kibasan sepasang lengan Ki Plaosan sanggup memerihkan kulit Ki Panji Secamerti yang tidak tertutup kain! Padahal mereka belum bertarung begitu dekat. Ini kekuatan yang sama sekali jauh dari perkiraannya!

Meski demikian, Ki Panji Secamerti tidak akan menyerahkan tunggul kemenangan pada Ki Plaosan. Terkejut adalah hal yang wajar karena kemampuan Ki Plaosan benar-benar di atas kebanyakan lurah Mataram. Bila ia tidak segera meningkatkan daya tahan atau menggempur balik Ki Plaosan dengan serangan hebat, tentu kulitnya akan pecah dalam sekejap. Maka Ki Panji Secamerti menyilangkan lengan di depan dada, menyurutkan tapak kaki selangkah, lalu mengerahkan sebagian tenaga cadangan untuk mengimbangi serbuan ganas Ki Plaosan.

Kurang dari sekejap, Semambung telah menukik deras menembus permukaan air laut dan meninggalkan ciprat air setinggi pohon kelapa. Kini Semambung telah menyelam jauh di bawah kapal-kapal Demak. Ia melayang di bawah permukaan laut menuju baris pertahanan kedua dari angkatan laut Demak.

“Apakah kau melihatnya, Jala Sayuta?” tanya Raden Trenggana pada Ki Jala Sayuta ketika ciprat air yang demikian tinggi itu tertangkap oleh penglihatannya.

Pertempuran Laut Jawa 

Mendadak lingkar perkelahian Ki Plaosan meningkat sangat tajam. Senapati Mataram ini tidak lagi memandang Ki Panji Secamerti sebagai prajurit yang bertingkat-tingkat di atasnya. Ki Plaosan sadar  bahwa kekuatannya akan terhalang bila terus menerus menggunakan sudut pandang yang sama bila berhadapan dengan atasan. Saat malam berada di garis permulaan, Ki Plaosan dapat terkapar setiap saat jika tidak segera mengungkap segala kemampuannya. Oleh karena itu, betapa pun kuat Ki Panji Secamerti, Ki Plaosan bertekad untuk menyabung nyawa. Luka di bagian punggung seolah tidak mampu mendatangkan rasa sakit pada Ki Lurah Plaosan. Demikianlah perkelahian dua prajurit Mataram itu berlipat-lipat menjadi sangat sengit. Tata gerak yang berpadu dengan lontaran-lontaran tenaga cadangan terkerahkan dalam satu pergumulan yang dahsyat.

Berpindah ke lingkaran yang lain, Ki Demang Brumbung terlihat kerepotan menghadang gempuran demi gempuran belasan orang yang mengeroyoknya. Kebanyakan dari orang-orang itu seperti telah mengenal kekhususan gerak yang dimiliki oleh Ki Demang. Itu bisa saja terjadi bila Ki Panji Secamerti atau Ki Rangga Ramapati memberitahukan kelemahan Ki Demang Brumbung pada pengikut Raden Atmandaru lainnya. Ki Demang Brumbung – yang menyesap ilmu dari Mangir – dikenal mahir melakukan gerakan-gerakan yang aneh. Banyak tendangan atau pukulan yang dilepaskan melalui sudut yang tidak lazim. Mungkin lebih mirip gerakan orang yang menghindari kerubutan nyamuk atau mengusir lalat, namun demikian, pada awal malam itu, Ki Demang Brumbung seolah terpaku dan tidak berdaya.

Ki Demang Brumbung tiba-tiba tidak tahu cara untuk mengembangkan tata geraknya, walau pun sebenarnya setiap gerak dasar sanggup memunculkan kembangan-kembangan yang tidak terduga. Sejauh perkelahian yang berlangsung seru, Ki Demang Brumbung hanya menangkis dan mengelak. Untuk menyerang, sepertinya, ia tidak mempunyai jalan. Dalam waktu itu, seorang pengeroyok meluncur deras dengan tendangan menyamping, seorang lagi bergerak menyabetkan senjata menyilang dari bawah, dan kurang dari sekejap maka tubuh Ki Demang Brumbung akan tersayat dan terjungkal. Roboh!

Sebuah kejutan yang sanggup menghentikan jantung pun terjadi!

Melalui gerakan yang melampaui perkiraan pengamat, yaitu Ki Patih Mandaraka, Ki Demang Brumbung tiba-tiba mengubah tangkisan sebelah lengan menjadi dorongan yang penuh dengan tenaga yang hebat. Memapas tendangan, membenturkan kekuatan dengan segala akibatnya! Nyaris berbarengan, secepat kilat membelah udara, Ki Demang melemparkan tubuh ke samping sambil berusaha menjangkau seorang penyerang dengan tumit kakinya. Dua pengeroyok segera menarik serangan tetapi itu – barangkali – awal kebangkitan Ki Demang Brumbung yang sebenarnya belum pulih sepenuhnya. Ketika ia bangkit dengan loncatan indah, Ki Demang Brumbung menggetarkan serangan seperti kitiran yang diterpa puting beliung. Begitu cepat dan memang sangat cepat, pergerakan Ki Demang Brumbung membuat kabur penglihatan orang-orang awam. Tubuhnya seolah lenyap.

“Asu!” seorang anak buah Ki Panji Secamerti keras memaki ketika tiba-tiba telapak kaki Ki Demang telak menghantam dadanya. Satu orang terjungkal, masih hidup tetapi tidak segera bangkit!

Sekejap kemudian, bayangan Ki Demang Brumbung melesat, menyamai kecepatan anak panah yang lepas dari busur, menghambur ke bagian kiri perkelahian, tetapi jatuhnya seorang kawan dari kelompok Panembahan Bayangan seakan menjadi minyak biji jarak yang membesarkan api. Serangan dan keganasan pengikut Raden Atmandaru pun menjadi lebih gila dan lebih buas. Dalam pandangan mereka, Ki Demang Brumbung adalah orang pertama – dari tiga utusan Ki Patih Mandaraka – yang harus dikirim ke perkampungan orang-orang mati.

Maka udara di sekitar perkelahian keroyokan itu serasa tergetar hebat dan semakin panas. Para penyerang telah mengerahkan kemampuan hingga orang lapisan terendah pun berupaya mengungkap tenaga cadangan pada setiap benturan senjata. Berbagai tingkat tenaga cadangan menabrak kekuatan tunggal Ki Demang Brumbung. Namun demikian, perlawanan dari rangga Mataram itu semakin hebat dan kuat. Sekali waktu, lengan Ki Demang menyambar tengkuk seorang lawan dengan kecepatan yang sulit dihindari. Satu lagi roboh.

Gelar yang diperagakan oleh pengikut Raden Atmandaru tidak berkurang kehebatannya meski dua orang terjungkal. Bahkan mereka mampu mempersempit ruang gerak Ki Demang Brumbung, meski rangga Mataram itu tetap bergerak sangat cepat dan berdaya juang hebat.

Ki Demang Brumbung menyadari bahwa lambat laun akan tersudut atau terjepit dalam himpitan para penyerangnya. Gelar, yang bersifat kepungan, pada mulanya ditujukan padanya dan Ki Plaosan, tetapi laga perkelahian Ki Plaosan ternyata sangat sulit diikuti oleh anak buah Ki Panji Secamerti. Maka, dengan serta merta mereka menumpahkan serangan dan kekesalan pada Ki Demang Brumbung. Sebagian kecil meluapkan kebuasan pada Sukra yang ternyata sanggup memberi mereka kejutan hebat.

Parang Barong, demikian nama gelar itu, merupakan susunan atau cara pengepungan yang bersifat cair. Gelar ini mampu mengikuti pergerakan orang yang dikepung dengan sangat luwes. Kadang-kadnag gelar dapat berbentuk seperti mulut buaya yang menganga, lalu mendadak berubah seolah tombak memancang lurus. Ini sangat menyulitkan Ki Demang Brumbung yang berangsur-angsur didera kelelahan. Sejenak ia melompat jauh lalu memasang tata gerak dasar yang tangguh, namun begitu, gelar Parang Barong pun mengikutinya melalui aba-aba Ki Abang Pandakan, orang yang dipercaya menjadi wakil Ki Panji Secamerti dalam barisan Raden Atmandaru. Dalam waktu itu, gelar berubah susunan sangat cepat dan tetap menghimpit Ki Demang Brumbung dengan cara yang hebat.

Bertubi-tubi senjata bergantian datang seperti batu api yang terlepas dari cengkeram jemari langit. Ki Demang Brumbung terus meliuk, menggeliat, menangkis namun kelebat senjata tetap datang dengan angin tajam yang menyambar-nyambar.

Ki Patih Mandaraka tidak melepas perhatian pada Ki Demang Brumbung, tetapi tentu saja tidak muda baginya untuk mencampuri perkelahian. Dengan alasan tidak seimbang jumlah, itu sudah pasti dipertimbangkan olehnya. Namun Ki Patih sedang menakar hal lain yang tidak lebih penting : kedudukannya sebagai orang kedua di Mataram. Bagaimana bila orang-orang berteriak bahwasanya Ki Patih adalah seorang pengecut? Bukankah gema itu akan menyuramkan Mataram yang sedang bergulir? Berapa banyak orang yang akan berebut memasuki celah timbul sebagai akibat tempik sorak semacam itu?

“Memutar balik kenyataan adalah pekerjaan termudah yang dapat dilakukan oleh pecundang,” demikian kata hati Ki Patih Mandaraka. Ia mengenang masa lalu ketika Kiai Gringsing melarangnya menghadapi Kakang Panji.  “Pertimbangan Kiai Gringsing bisa saja bukan karena kelebihan ilmu Kakang Panji, tetapi harga diri. Entah mengenai Agung Sedayu atau aku sebagai seseorang yang dipandang terhormat oleh beliau. Waktu sudah begitu lama berlalu,” bisik Ki Patih Mandaraka pada hatinya.

Kehilangan Ki Demang Brumbung di depan mata pun bukan kenyataan yang mudah dilewati. Itu pasti menyakitkan dan akan membayanginya sepanjang sisa usia. Gelisah merundung perasaan Ki Patih Mandaraka yang juga menyadari bahwa sudah tiba baginya untuk mundur dari segala bentuk kekerasan. Namun menyelamatkan Ki Demang Brumbung hanya dapat ditempuh dengan jalan keras.

Perlahan-lahan Ki Patih mengambil jalan memutar, mendekati lingkar perkelahian Sukra dari tempatnya semula. Rencana tersusun secepat lesatan kilat di dalam benak Ki Patih Mandaraka.

 

=====

Anda dapat mendukung perkembangan kisah dapat melalui cara :

  1. pembelian karya kami di sini 
  2. pembelian bumbu pecel/sambal kacang Sumber Makmur (silahkan hubungi WA yg tertera di sini)
  3. transfer donasi ke BCA 822 0522 297

Memayu hayuning bawana

Matur nuwun

 

Related posts

Sampai Jumpa, Ken Arok! 2

Ki Banjar Asman

Sabuk Inten 20

Ki Banjar Asman

Sabuk Inten 18

Ki Banjar Asman