SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 43

Ki Demang bergegas keluar dari bilik Sekar Mirah. Sepintas ia melihat Swandaru berkelebat menuju bagian belakang rumah. Tatap mata heran Ki Demang lekat pada punggung Swandaru yang kemudian menghilang dari pandangannya. “Apa yang dipikirkannya?” tanya Ki Demang dalam hati. Bila sebelumnya Swandaru begitu keras akan menyerahkan Sangkal Putung pada Raden Atmandaru, seharusnya ia menemui dua temannya di pendapa. Lantas, mengapa ia menjauh? Ki Demang kembali berharap pada keajaiban. Ia menggantungkan kehendak pada Yang Maha Sempurna untuk semua pikiran dan perasaan anaknya.

Di pendapa, Raden Atmandaru walau tidak mengenali Ki Gede tetapi dapat menduga bahwa sesuatu sedang terjadi di dalam rumah Swandaru. “Aku tidak mengenali lelaki yang baru saja melintasi kita. Namun dari caranya berjalan dan hawa yang memancar darinya, aku kira ia bukan lelaki biasa. Mungkinkah orang itu adalah petinggi Mataram?” Suara Raden Atmandaru menggema di dalam rongga dadanya. Cukup lama ia merenungi lintasan-lintasan pikiran yang berada di dalam benaknya. Beberapa pertanyaan cukup mengganggunya, sepertinya begitu. Sejenak ia memandang Nyi Gandung Jati, kemudian katanya, “Aku pikir tidak ada yang kita lakukan di tempat ini. Lelaki bodoh itu terlalu lama berada di dalam. Aku pikir lebih baik kita berjalan-jalan di sekitar tempat ini.”

Peristiwa itu dinilai awal tragedi Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singhasari, dan keturunannya. Perebutan kekuasaan antara trah Ken Angrok dan Tunggul Ametung mewarnai jalannya pemerintahan di tanah Jawa,

Sejarah

Nyi Gandung Jati merasakan kegeraman dari nada suara Raden Atmandaru. Ia mempunyai pertimbangan lain. Katanya, “Kita tunggu sesaat lagi, Raden. Sebagai tuan rumah, ia akan menemui kita di sini. Lagipula, apakah mungkin Swandaru mengabaikan dua benda ini?” Nyi Gandung Jati mengembangkan dada disertai senyum yang merendahkan orang yang dimaksudkannya.

“Baiklah, kita tunggu saja,” ucap Raden Atmandaru dengan seringai kecil. Dalam hatinya, ia jujur mengakui bahwa Nyi Gandung Jati adalah senjata yang benar-benar dapat diandalkan untuk menaklukkan Sangkal Putung melalui Swandaru. Mengingat kembali lelaki yang berjalan dengan tongkat di tangan, Raden Atmandaru memunculkan pertanyaan pada hatinya, bukankah pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dikabarkan juga berjalan dengan bantuan tombak pendek yang terlihat seperti tongkat penahan tubuh? Bila itu benar, bila lelaki itu adalah Ki Gede Menoreh, maka keberadaannya di rumah Sangkal Putung adalah perlambang buruk. Kedatangan Ki Gede sudah pasti diikuti oleh orang-orang berkemampuan lebih walau setingkat pengawal. Dengan demikian, ia tidak dapat gegabah merenggut Sekar Mirah dari perlindungan Ki Gede, pikirnya.

“Mudah bagiku untuk meringkusnya. Tetapi apakah perkelahian melawannya akan mengorbankan rencanaku?” Raden Atmandaru menimbang peluang pertukaran. “Terlalu murah,” katanya dalam hati, “terlalu murah untuk ditukar. Perjalanan ini telah melebihi setengah bagian. Semua orang telah membuat persiapan dari dalam. Aku tidak boleh bodoh.”

Matahari tampak bergairah menerangi Sangkal Putung pada hari itu, Segala penat telah lebur dalam semalam. Ki Demang  berjalan mendekati pendapa, setelah duduk berhadapan dengan Raden Atmandaru, kemudian berkata “Seperti inilah kademangan kami ketika hari mulai terang.” Tidak ada lagi yang diucapkan oleh Ki Demang setelah itu. Ia memilih menunggu.

“Apakah Ki Swandaru masih ada keperluan lain di dalam rumah, Ki?” tanya Nyi Gandung Jati.

“Saya harap Nyi dan Ki Sanak dapat memberi waktu baginya untuk berbincang sedikit lama dengan adiknya,” jawab Ki Demang.

“Nyi,” kata Raden Atmandaru, “aku pikir kesempatan itu dapat mereka peroleh. Marilah, kita berjalan mengitari wilayah sambil menunggu dua saudara itu tuntas berbicara.” Usai mengucap terima kasih pada tuan rumah, tanpa menunggu tanggapan Nyi Gandung Jati, Raden Atmandaru beranjak bangkit lalu berkuda meninggalkan rumah Ki Demang. Ia tidak memberitahukan tujuannya di depan Nyi Gandung Jati. “Ia tahu yang harus dikerjakan kemudian,” katanya dalam hati sambil mengarahkan kuda menuju Mataram.

Keputusan dan rencana harus tetap berjalan. Pada tahap ini, siasatnya — dengan melepaskan Swandaru agar menggelandang di Sangkal Putung dengan perasaan serta pikiran tak menentu – telah bergulir dengan baik. Nyi Gandung Jati akan mengendalikan Swandaru hingga mereka berdua tiba di Mataram. “Perempuan itu akan berhasil. Ia mempunyai segalanya untuk melemahkan Swandaru,” desis Raden Atmandaru dengan senyum kemenangan.

Sedangkan di pendapa, Nyi Gandung Jati berusaha bermanis muka ketika melihat raut masam Ki Demang. Pikirnya, ia harus tetap membuat kesan baik pada orang yang kelak diharapkannya dapat dimanfaatkan apabila gagal menggunakan tangan Swandaru. Ia bergerak pelan sambil berkata, “Sebaiknya memang kami meninggalkan keluarga Ki Demang untuk sementara waktu. Tentunya banyak keadaan yang sedang menjadi bahan permbicaraan Ki Swandaru dengan adiknya. Ki Demang, saya mohon maaf atas sikap pemimpin kami. Selanjutnya saya mohon diri. Semoga kita dapat bertemu dalam keadaan yang berbeda.”

Meski terbersit heran dalam hatinya, Ki Demang berusaha bersikap ramah. “Semoga sikap anak saya tidak membuat Nyi Sanak berdua terusik perasaan,” kata Ki Demang sambil mengiringkan ayunan kaki Nyi Gandung Jati menghampiri tambatan kuda.

Kepergian Nyi Gandung Jati meninggalkan perasaan aneh pada Ki Demang. Betapa mereka bertiga sama sekali tidak bertemu untuk sekedar mengucap kata? Begitu tiba-tiba? Di mana Swandaru sekarang? “Sulit rasanya bila membayangkan Swandaru mengajak ibunya berbicara,” hati Ki Demang berkata ketika membayangkan kemungkinan yang ada. Ia mengerutkan kening sambil menduga, apakah Swandaru menuju Gondang Wates?

Di dalam bilik Sekar Mirah.

“Jadi,” gumam Ki Gede, “Swandaru hanyut dalam arus kekuasaan Mataram.”

“Tidak seorang pun dari kami yang mengetahui sebab musababnya, Ki Gede.”

“Sudah tentu ia tidak akan mengutarakannya dari semula. Berkaitan dengan yang aku dengarkan tentang penyerahan, apakah Swandaru menyebutkan pokok persoalan dari permulaan?”

“Itu juga tidak kami ketahui. Kakang Swandaru tidak banyak berkata mengenai perubahan sikapnya. Ketika kami bertanya, jawaban yang diberikannya tidak begitu berarti. Yang berada di dalam pikirannya hanyalah kejayaan dan keagungan. Dua hal itu yang kami dengar darinya.”

Ki Gede sedikit terguncang. “Apakah kademangan dan Tanah Perdikan masih dirasakan kurang olehnya? Atau seseorang berhasil mengusik sesuatu yang sebenarnya telah mengendap di dalam hatinya?”

“Saya pikir Kakang Swandaru tidak dalam kedudukan yang dapat disalahkan, Ki Gede. Saya lebih setuju dengan kemungkinan yang terakhir. Karena semua yang terjadi seolah pengulangan yang pernah ada.”

Ki Gede berusaha bersandar pada pokok-pokok yang diyakini sebagai hal baik. Sejenak ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengurai benang kusut yang membekap jalan-jalan pikirannya. Di dalam ruang yang tidak begitu besar, Ki Gede Menoreh dan Sekar Mirah berdiam diri dengan segala gejolak rasa dan pikiran masing-masing. Mereka seolah sepakat bahwa Swandaru adalah kunci persoalan Sangkal Putung. Meski Sekar Mirah tidak mengatakan sedikit pun tentang perempuan yang berada di pendapa, namun Ki Gede dapat menduga pengaruh wanita itu. Perlahan ia mendesah, pikirnya, api yang masih bergolak di Sangkal Putung – mungkin dan – dapat saja diselesaikan bila Swandaru sedang tidak terbelit oleh benda-benda yang mendatangkan kenikmatan.

“Apakah engkau dapat menduga tentang yang dikerjakannya sekarang atau di mana ia berada, Ngger?” Ki Gede melontarkan pertanyaan untuk memperkirakan keadaan Pandan Wangi.

“Saya tidak mempunyai bayangan untuk itu, Ki Gede. Maafkan saya.” Sekar Mirah menundukkan wajah. Dalam hatinya, ia berharap bahwa Swandaru membatalkan niatnya untuk menemui dua orang asing di pendapa. Sekar Mirah mendengar langkah kaki yang menjauhi arah pendapa ketika Ki Demang melewati pintu biliknya.

Related posts

Lembah Merbabu 12

Ki Banjar Asman

Pertempuran Hari Kedua – 10

Ki Banjar Asman

Membidik 59

Ki Banjar Asman