“Paman berada di perairan Blambangan.”
“Aku ada di dalam kapalku.”
“Kedatangan Paman tidak mendapat izin dari Hyang Menak Gudra.”
“Menak Gudra bukan siapa-siapa.”
“Jatuhkanlah perintah untuk menangkapku, Paman Trenggana.”
“Kau menantangku?”
“Saya tidak mempunyai pilihan, dan Anda adalah paman sekaligus pemimpin Demak.”
Pemimpin Demak itu menarik napas panjang. Dalam keadaan itu, ia merasa kagum dengan keteguhan hati Gagak Panji. Namun itu tidak membuat Raden Trenggana berubah pikiran.
“Gagak Panji,” kata Raden Trenggana kemudian, ”apakah kau memang menentangku sejak kau memasuki keprajuritan Demak?”
Lelaki yang tumbuh dan berkembang dalam pengamatan Pangeran Parikesit itu menghindari tatap mata pemimpin Demak. Terlintas beberapa jawaban dalam benaknya, kemudian katanya, ”Saya memasuki keprajuritan Demak bukan sebagai penentang, Paman.”
“Tetapi kau sekarang berada di dalam ruangan ini dan berbicara denganku sebagai penentang. Bukankah begitu?” Raden Trenggana mengalihkan pandangnya lalu, ”Bila kau bukan seorang penentang, lalu di mana sesungguhnya engkau berada?”
“Saya berada dalam barisan orang yang setia pada janji.”
“Itu sikap seorang prajurit Demak.”
“Saya bukan lagi prajurit Demak.”
“Baiklah.” Raden Trenggana bangkit dari duduknya. Lalu katanya, ”Aku kira kita akan berada dalam kedudukan saling menyalahkan, dan mungkin selamanya begitu. Kau akan membela dirimu sedangkan aku pun seorang pengadil, Gagak Panji.”
“Hamba, Raden.”
“Aku tidak akan lagi berbicara denganmu semenjak malam ini. Selamanya kau adalah salah satu dari banyak keponakan dan kerabatku tetapi aku merasa lelah bila harus berbicara denganmu,” berkata Raden Trenggana.
“Hamba masih menunggu, Raden.”
“Kembalilah!” perintah Raden Trenggana, ”katakan pada Menak Gudra dan Paman Tawang Balun bahwa ketika seseorang telah melangkah memasuki kapal sebenarnya ia telah berpikir jalan untuk pulang.”
“Hamba tidak ingin melebihi kehendak Paman untuk memberi arti dari ucapan itu.”
“Katakan seperti yang aku katakan padamu.”
Gagak Panji pun menghaturkan sembah hormat kemudian melangkah keluar meninggalkan bilik khusus yang ditempati oleh Raden Trenggana. Dalam waktu itu, Gagak Panji tak ingin lagi membayangkan segala hal yang mungkin saja terjadi. Walaupun dadanya masih terasa pepat, namun ia tetap berusaha menyingkirkan bayangan buruk. Gagak Panji masih menyimpan secercah harapan bahwa pamannya dapat melihat Blambangan dari segi yang berbeda. Ia bertekad untuk tetap menebar benih asa hingga masa yang telah ditetapkan untuknya telah tiba.
Beberapa langkah di hadapan Gagak Panji terlihat anak tangga yang diterangi oncor dengan sinar temaram. Pada saat itu pendengaran Gagak Panji menangkap suara yang ditimbulkan oleh sejumlah orang diatas geladak.
“Aku tidak ingin membunuh malam ini,” tekad Gagak Panji dalam hatinya. Ia pun dengan ringan menapak satu demi satu anak tangga hingga melihat sejumlah prajurit bersiaga dengan senjata merunduk. Gagak Panji bergeser dua langkah maju kemudian berhenti dan mengamati sekelilingnya dengan seksama.
“Aku mengenali orang ini,” dari samping kanan seseorang berkata.
Gagak Panji memalingkan wajah dan alisnya tertaut berusaha mengingat orang yang mengaku mengenalnya.
“Ki Rangga Gagak Panji,” orang itu berkata lagi saat ia telah berdiri berhadapan dengan Gagak Panji.
“Bukankah engkau adalah Ki Lurah Sanggamurti?”
“Tidak salah, Ki Rangga,” jawab Ki Lurah sambil memberi hormat. Ia memutar tubuhnya dan berkata pada prajurit yang mengelilingi mereka, ”Ini adalah Ki Rangga Gagak Panji, seorang prajurit dari Jipang Panolan. Dia adalah orang yang membantu kami melumpuhkan kawanan Bajra Saloka.” Para prajurit menganggukkan kepala tetapi senjata mereka masih merunduk. Sorot mata mereka lekat menatap Ki Rangga Gagak Panji.
“Maafkan sikap mereka, Ki Rangga,” berkata Ki Lurah Sanggamurti.
“Tidak mengapa.” Jawaban Gagak Panji menenangkan hati lurah prajurit Lasem itu. Kata Gagak Panji kemudian, ”Apakah ini perintah Raden Trenggana untuk menangkapku?”
“Tidak! Ini adalah kehendak kami untuk memberitahumu bahwa prajurit Demak berada dalam keadaan siaga tinggi,” sahut seorang prajurit. Ki Lurah Sanggamurit melambaikan tangan memintanya untuk diam.
“Saya tidak pernah menghendaki ini terjadi, Ki Rangga,” lirih Ki Lurah berkata.
“Meskipun kita semua tidak menginginkan pertempuran tetapi ini adalah tugas kita sebagai seorang prajurit. Dan Ki Lurah Sanggamurti adalah prajurit Lasem,” kata Gagak Panji.