Aku melihat jiwaku sedang melepaskan diri dari raga yang ditempatinya sekian lama. Aku belum mengerti tentang yang terjadi. Aku menatap heran pada Ra Gawa yang berpandang mata kosong, sedangkan ia begitu tegas bertanya untuk sesaat waktu yang berlalu. Aku menyaksikan wajah linglung Anindita Rukmi, sedangkan sepasang matanya yang indah seolah terpaku memandang tubuhku yang telanjang. Gita Nervati terlihat lebih buruk dari dua kawannya. Sorot matanya memancarkan penderitaan. Aku tidak mengerti penyebabnya.
Aku melayang ringan. Aku melampaui langit di atas bilik yang membatasi ragaku. Aku berpaling, melihat ke segala penjuru. Luar biasa! Aku melihat padang rumput yang beratap langit yang berwarna biru. Tinggi, semakin tinggi, aku melayang begitu tinggi hingga mencapai titik yang membuatku dapat melihat kotaraja terhampar di bawah kakiku.
Kisah ini merupakan kelanjutan dari buku pertama yang berjudul Ki Cendhala Geni. Namun, judul itu telah berganti menjadi Langit Hitam Majapahit. Sebagian orang mungkin kecewa karena Gajah Mada mendapat peran sebagai tokoh pendamping. Garis batas dalam kisah Bondan begitu nyata. Tokoh sejarah selalu mendapat perhatian dan kotak sempit tetap datang mengancam. Pada buku pertama, Gajah Mada - masih berpangkat sebagai perwira rendahan - tidak mendapatkan kesempatan untuk tampil lebih banyak. Demikian pula di buku atau kisah lanjutan. Bertualang, menantang ruangan besar di dalam alam khayal, melepaskan diri dari bayang-bayang kebesaran nama Gajah Mada. Bara di Borobudur menyeru para petarung agar berani mengembara di dalam persekongkolan jahat di sekitar Prabu Jayanegara yang membakar wilayah di sekitar bangunan tua, Borobudur.
Dari ketinggian yang sama, aku dapat mendengar burung-burung di hutan bersenandung indah. Seindah lagu-lagu kerap aku dengarkan dari bibir lincah para petani ketika musim tanam tiba. Aku ingat yang dikatakan oleh kakekku, Han Rudhapaksa, bahwa sangat sedikit penderitaan yang dirasakan banyak orang setiap kali musim tanam tiba. Namun, kakekku juga mengatakan bahwa penderitaan kerap terjadi menjelang musim panen. Aku tidak tahu alasannya karena kakekku juga tidak menerangkannya.
Mengapa? Dari ketinggian yang sama, aku berusaha mencari jawabannya. Pertanyaan baru menyeruak dari dalam dada, mengapa ada orang yang menderita ketika bahagia sedang bergembira menjemput mereka? Lantas, aku mengingat keadaan diriku ketika hari mencapai hitungan ke tujuh pada purnama ke tujuh pada tahun yang sama. Aku menderita pada waktu-waktu itu. Mungkin sepanjang waktu atau sebagian saja, namun aku selalu menepis keinginan mencari tahu tentang jawabannya.
Masih dari ketinggian yang sama, mataku membentur bangkai beku yang berlindung di bawah naungan daun-daun darI barisan pohon yang melingkari hutan. Oh, aku ingat bahwa itu adalah ujung dari hutan yang di dalamnya terjadi pertempuran yang melibatkan diriku. Namun, sekarang, aku tidak ingin derita muncul dalam kenanganku. Aku tidak ingin menaruh kepedulian pada kejadian itu, kejadian yang telah lewat sekian hari yang lalu. Sejenak aku pejamkan mata untuk mengingat dan mengurutkan kembali jejak-jejak peristiwa beberapa waktu lalu. Bukankah aku memasuki bilik yang disediakan khusus untukku? Bukankah aku bertelanjang bulat di depan tiga pengiringku? Aku mengalihkan tatap mataku pada tempat aku memulai perjalanan ajaib ini. Mereka – Ra Gawa, Anindita Rukmi dan Gita Nervati – masih berada di sana, di dalam bilikku. Mereka setia menunggu atau mereka tidak tahu tentang yang terjadi padaku? Hey, apakah Ra Gawa dapat melihat tubuhku yang telanjang seperti ia melihat bulan bersinar terang?
Masih dari ketinggian yang sama, aku ingin turun kembali ke tempatku. Aku putuskan untuk kembali pada tiga dayangku.
Aku melayang turun sambil berpikir tentang burung-burung yang terbang di sekitarku. Mereka tidak menunjukkan keterkejutan meski tubuhku membelah lingkaran terbang mereka. Apakah mereka tidak melihatku? Apakah mereka tidak merasakan kehadiranku? Bila dua pertanyaan itu mendapatkan jawaban, ‘tidak’, apakah itu berarti aku sedang berada di dalam ruangan hampa? Barangkali memang demikian ; aku berada di tempat lain yang berbeda dengan segala yang tampak olehku. Ya, di tempat yang memberiku kesempatan untuk memberi perhatian, memberiku kesempatan untuk melihat dari tempat yang tidak terlihat oleh binatang dan manusia. Boleh jadi dan bisa jadi, demikian aku membuat kesimpulan.
Aku melayang, menembus atap bangunan, lalu berdiri dengan tubuh yang menjadi pusat pandangan tiga dayang. Wajah mereka masih terlihat sama dengan saat aku tinggalkan. Perasaanku mendorong untuk menyatakan bahwa aku, secara nyata, telah menghilang dari pandangan mereka. Mungkin tidak benar-benar menghilang tetapi pandangan mereka terhalang oleh sesuatu yang mempunyai kekuatan yang sangat hebat. Pasti, ya, aku yakin bahwa kekuatan inilah yang menarik jiwaku keluar dari raga. Aku yakin bahwa kekuatan ini pula yang memegang jiwaku lalu menunjukkan padaku pemandangan yang terjadi di luar bangunan istana yang dibangun ayahku, Rakai Panangkaran.
Aku merunduk dalam pikiranku untuk menyusun pendirian bahwa semua yang terlihat olehku bukanlah mimpi yang diangankan oleh orang-orang bodoh.
Kepada jiwaku, aku berkata, “Itu semua bukan kegilaan dalam angan-angan. Itu bukan mimpi yang menguasai diriku lalu memaksakan diri untuk memberi perwujudan. Tidak, karena Mpu Pali adalah seorang lelaki yang gemar bermain senjata. Bangkai harimau yang membeku pun bukan sesuatu yang pernah aku harapkan agar terjadi.”
Kepada hatiku, aku berkata, “Aku tidak sedang menabur debu pembakaran tubuh di depan tiga dayang. Mereka memang tidak dapat melihat tubuhku yang telanjang. Aku yakin ada kekuatan yang tidak terlihat mata, yang tidak terjangkau rasa dan tidak terkungkung dalam ketidakberdayaan sedang meliputiku dengan segala yang dikehendakinya.”
Kepada perasaanku, aku bertanya, “Apakah seperti itu kekuatan yang dimiliki oleh Dewi Rengganis?”
TIba-tiba segalanya terlihat gelap dalam pandanganku!
Aku melihat Kayu Merang menghunus senjata dengan wajah memancarkan rasa takut yang belum pernah aku saksikan. Aku, mendadak, berada di tengah padang rumput yang basah di atas permukaan. Sepasang kaki yang tak beralas dapat merasakan tanah yang becek. Aku picingkan mata meski tidak akan dapat melihat dalam kegelapan yang, sungguh, benar-benar kelam! Aku picingkan mata dalam keadaan terpejam seolah-olah dapat melihat dalam keadaan terang benderang. Cairan berwarna kemerah-merahan? Kemerahan? Darah?
Muncul di depanku, dari balik tirai kegelapan, seorang lelaki yang mempunyai garis-garis tua pada sebagian wajahnya dan terlihat muda pada setengah bagian yang lain. Lelaki tua atau muda? Sedangkan ia hanya mempunyai satu wajah! Ia memandang tajam padaku, lalu mengusap kening dengan punggung tangan seolah telah berjalan sangat jauh. Ia bercakap kemudian, “Itu bukan pemandangan yang baik untukmu, Dyah Murti. Itu bukan pertanda bahwa engkau adalah anak perempuan yang baik, bukan pula sebagai lambang bahwa engkau adalah perempuan pilihan.”
Aku berkata padanya, “Itu bukan urusanku, bukan pula urusan Bapak.”
Aku terbelalak ketika dia mengulurkan tangan lalu menembus dadaku!
Dari jarak yang sangat dekat, hidungku hampir bersentuhan dengan hidungnya, lelaki setengah muda itu berkata, “Aku dapat membunuhmu dengan jantung teremas hancur.”
Aku terperangah ketika ia mempunyai dua suara yang mengeluarkan kata-kata yang sama!
Aku gemetar! Aku bergetar! Bahkan, aku dapat merasakan kemaluanku bagian dalam sedang menggelepar!
Aku bertanya, “Mengapa tidak Bapak lakukan? Bukankah itu mudah karena tangan Bapak telah berada di dalam tubuhku.”
“Aku ingin menundanya hingga aku dapat bertemu ayahmu.”
“Berapa lama Bapak tidak bertemu dengan ayahku, Rakai Panangkaran?”
“Jangan kau sebut nama itu. Kau dengar aku perintahkan itu.”
“Berapa lama Bapak tidak bertemu dengan ayahku?”
“Sejak ia berusia sepuluh tahun.”
“Itu waktu yang sangat lama.”