SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 52

“Perempuan jalang!” maki KI Manikmaya dengan wajah garang. Meski diucapkan dengan nada datar, tetapi kalimat itu terdengar begitu dalam menghunjam perasaannya. Perkataan guru Kinasih seolah menghempaskan Ki Manikmaya pada masa ketika usia mereka terhitung muda. Dengan lengan mengembang serta sepasang kaki memanjang depan dan belakang, Ki Manikmaya tidak ragu untuk langsung mengerahkan bagian ilmunya yang tertinggi.

Guru Kinasih menggeser langkah surut, lalu melakukan tata gerak yang sama dengan lawannya, kemudian berkata, “Apakah Kiai tidak lagi mempunyai rasa malu dengan pengetrapan ilmu yang tidak diajarkan oleh guru?”

“Tua bangka itu begitu bodoh hingga tak melihat betapa besar bakat yang berada dalam diriku. Sesaat lagi, engkau akan mengerti, Rara Centhing,” sahut Ki Manikmaya.

Guru Kinasih tertawa kecil, lalu meningkatkan suaranya hingga melengking sangat tinggi, sangat tinggi hingga orang-orang yang ada di sekitarnya harus menghentikan pertarungan lalu menutup telinga rapat-rapat! Saat itu, terlihat sejumlah orang dari pasukan Raden Atmandaru terjungkal, lalu mengguling-gulingkan tubuh. Meski jari-jari telah menyumbat lubang pendengaran, tetapi tawa guru Kinasih seolah mengetahui cara untuk menjatuhkan orang tanpa menghantam tubuh wadag. Tenaga cadangan yang dimilikinya seakan mampu mengubah suara menjadi benda lancip dan tajam. Maka, orang terlemah di kalangan pengikut Raden Atmandaru pun tampak memegang bagian dada yang mulai dijalari cairan merah.

Peristiwa itu tidak luput dari pandangan Ki Demang Brumbung yang mempunyai ilmu lebih mumpuni dibandingkan Ki Plaosan, maka dalam pikirannya pun muncul pertanyaan : siapakah sebenarnya perempuan berusia lanjut itu? Sedemikian tinggi ia mempunyai kemampuan hingga suara pun menjadi sangat tajam? Dan, ajaib! Mengapa hanya menimpa mereka? Sepasang matanya mencari Sukra, lalu terlihat Sukra menggelungkan tubuh sambil menutup dua telinga. Demikian pula ketika ia membenturkan pandangan pada Ki Plaosan. Lurah prajurit itu duduk bersila dengan wajah terkungkung dalam rasa pedih yang luar biasa, Ki Demang Brumbung bernapas lega karena tidak melihat darah pada tubuh dua temannya.

Kebanyakan orang melolong. Menjerit sekuat tenaga, tetapi ratapan mereka tertelan oleh  angin yang berputar-putar di permukaan. Sebagian besar dari mereka berteriak meminta agar guru Kinasih menghentikan serangan, termasuk Ki Panji Secamerti. Namun, sejenak kemudian, mereka sadar bahwa seharusnya Ki Manikmaya yang harus memberikan perlawanan. Mereka lantas memandang orang linuwih dengan sorot mata tidak percaya. Mulut mereka ternganga! Sejengkal demi sejengkal Ki Manikmaya terdorong surut!

Apakah sedang terjadi pertarungan dua iblis penunggu Alas Mentaok? Apakah para penunggu Alas Mentaok sedang menumpahkan murka setelah sekian waktu terpenjara rasa takut pada Raden Ngabehi Loring Pasar? Barangkali wajar bila ada yang berpikir semacam itu. Betapa hebat, dan sangat hebat ketika terbentuk belasan lingkaran angin yang berputar-putar memenuhi jalanan, bagaimana itu dapat terjadi bila bukan berasal dari tenaga siluman? Ki Manikmaya dan guru Kinasih sama sekali tidak bergerak dan tidak bergeser sangat mendadak, maka rasa jerih memenuhi pengikut Raden Atmandaru yang menyaksikan pertarungan yang sangat menggiriskan dan benar-benar nggrigisi!

Sebagian orang terseret arus angin lalu terpental, sebagian justru terhempas sebelum putaran angin menyentuh kulit mereka!

Sedangkan Ki Demang Brumbung, Ki Plaosan dan Sukra tetap bergeming seperti kedudukan mereka semula.

Jalanan dan lingkungan, yang menjadi ajang pagelaran ilmu maha dashyat itu, kembali menjadi saksi. Pada masa lalu, mereka menyaksikan Kiai Gringsing beserta dua muridnya berhasil menumpas gerombolan pengganggu orang-orang yang membuka hutan. Waktu berputar, dan kini mereka menyaksikan orang-orang yang berbeda yang berlainan tujuan sedang memperjuangkan sesuatu yang tidak dipahami oleh makhluk seperti mereka. Kawanan anjing hutan menggaungkan lolong panjang bernada sedih. Sementara itu, agak jauh dari perkelahian, sepasang kokok beluk menatap lingkar pertempuran dengan pandangan tajam, apakah burung malam itu sedang menjadi pengadil?

Tiba-tiba, suara menggelegar dan auman panjang berturut-turut keluar dari mulut Ki Manikmaya, membuat porak poranda belasan lingkaran angin, mendorong mundur kereta kuda, menghantam pokok pohon dan batang hingga berderit seakan-akan hendak tumbang!

Bumbu Pecel Nikmat? Beli di sini

Guru Kinasih mendadak menghentikan serangan, melejit tinggi lalu mendarat lebih dekat di hadapan Ki Manikmaya. Raut wajahnya masih begitu segar seperti tidak pernah mengeluarkan gelombang tenaga yang sangat dahsyat. Pernapasannya terdengar wajar. Lalu katanya, “Kiai benar-benar tidak mempunyai rasa malu. Dan sepertinya tidak ada lagi yang tersisa. Karena Guru tiada lagi ada di sekitar kita, maka aku akan menghukum Kiai karena penyadapan ilmu yang Kiai lakukan. Guru tidak pernah mengajarkan ilmu itu, selain pada dua orang dekat Ki Kebo Amiluhur. Namun, dugaan Guru benar. Beliau memberi perintah padaku agar mengikuti Kiai dengan harapan tunggal : dugaan beliau itu salah. Kehidupan mempunyai jalan yang berbeda dengan guru kita. Aku kabarkan yang aku saksikan, aku berikan bukti yang terhimpun dari dahan-dahan yang patah. Guru menerima semua, lalu terusirlah orang yang sepantasnya memang untuk dibuang.”

Napas Ki Manikmaya bergolak. Ia tidak dapat memperlihatkan perubahan yang terjadi di dalam dirinya di hadapan guru Kinasih. “Dan ternyata engkaulah yang berkhianat pada saudara seperguruan. Rara Centhing, sejatinya engkau pun tak ingin melihatku mencapai lapisan lebih tinggi dari semua orang. Bila bukan dengki, pengkhianat adalah sematan yang wajar untukmu.”

“Aku bebaskan Kiai untuk membela diri dengan kata-kata yang Kiai kehendaki,” kata guru Kinasih dingin.

Dari ujung jalan yang berpangkal dekat Kepatihan, sepasang mata mengawasi dengan tatap mata takjub. “Seandainya Angger Panembahan Senapati menyaksikan peristiwa ini, tentu kebanggaan tiada tara segera memenuhi perasaannya,” desis Ki Patih Mandaraka dalam hati. Dengan jujur, kemudian ia menyatakan pengakuan pada bagian dalam jiwanya, “Seandainya mereka sempat berlatih pada usia yang matang, aku tidak akan dapat menentukan siapa pemenangnya. Nyi Ageng Banyak Potro, sungguh, sangat pantas dibanggakan Ki Gede Pemanahan sebagai saudara perempuan Angger Panembahan.”

Besar rasa terima kasih atas limpahan karunia Yang Maha Agung pada Mataram seolah muncul untuk mendorongnya membuat keputusan. “Aku akan menampakkan diri. Bila orang yang menamakan dirinya sebagai Ki Manikmaya termasuk orang yang paham keadaan, sepantasnya ia mundur.”

Cabang-cabang pohon tak lagi bergoyang hebat, angin berhembus kembali dengan wajar, lolongan anjing hutan pun mereda, tetapi perubahan itu belum membawa dampak di sekitar gelanggang. Bahwa udara yang berisi napas keinginan besar untuk membunuh masih menggumpal tebal. Itu dapat dirasakan oleh Ki Patih Mandaraka meski berdiri jauh dari lingkaran pertarungan.

Suasana di tempat itu masih melemparkan dentang bahaya, demikian yang dipahami oleh Ki Demang Brumbung. Ia beringsut perlahan, mendekati Sukra lalu memeriksa keadaan pengawal Tanah Perdikan. Bersamaan dengan tindakan Ki Demang, Ki Plaosan pun membuka mata lalu mengamati lingkungan secara keseluruhan.

Pergerakan orang-orang di sekitar gelanggang menarik Ki Patih agar melihat keadaan diri. “Apakah sudah tiba waktuku untuk mengundurkan diri dari pergolakan-pergolakan kehidupan?” Ketika menyadari  perkembangan Nyi Ageng Banyak Potro, Ki Patih bernapas lebih longgar. “Bila seperti yang Nyi Ageng katakan bahwa ia akan menghukum Ki Manikmaya, sepertinya aku tidak perlu memasuki ruang pribadi mereka.  Ya, mungkin lebih baik seperti itu sambil menjaga hidup Ki Demang dan dua kawannya.”

 

Related posts

Kiai Plered 30 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Bulan Telanjang 19

Redaksi Surabaya

Kiai Plered 39 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman