SuaraKawan.com
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 88 – Randulanang

“Akan terjadi benturan yang sangat keras, sangat keras bila Setan Kober benar-benar berada di tangan Ki Juru. Walau demikian, saya meragukan itu. Saya tidak berpikir bahwa Ki Juru memegang keris Setan Kober saat ini. Bahkan, saya membuang dugaan Mas Jolang mengetahui hilangnya Kiai Plered. Saya yakin Ki Juru tidak akan melaporkan lenyapnya Kiai Plered dari bangsal senjata. Pertaruhan sangat besar jika ia memberitahukan itu pada Mas Jolang,” kata Raden Atmandaru.

Ki Tunggul Pitu menambahkan, “Seorang patih dengan perbendaharaan ilmu yang sangat tinggi dapat dikelabui oleh seorang pencuri? Bagaimana orang-orang Mataram akan melihat wajah Ki Juru?” Sejenak Ki Tunggul Pitu menghela napas. Lanjutnya lagi, “Ki Juru adalah orang yang memegang teguh pada martabat dan harga diri. Mungkin ada saran agar ia melaporkan peristiwa itu pada Raden Mas Jolang, tetapi saya yakin Ki Juru akan menolak. Bahkan saya pastikan bahwa ia menolak sangat keras.”

Atau mungkin sebenarnya aku yang bodoh karena tidak sanggup membedakan antara nafsu dan kata hati? Mungkinkah keris itu sanggup menuntunku menuju jalan cahaya?

Senggani – Bab 2

“Baiklah, saya dapat menerima pendapat Kiai berdua. Kita kembali lagi, apakah saya akan sekuat Raden Sutawijaya?”

Sambil mengingat lalu menimbang pergulatan sebelumnya, Ki Tunggul Pitu membuang pandangan ke permukaan tanah. Sebenarnya kemampuan Raden Atmandaru telah memadai untuk menghadapi Ki Juru Martani, hanya saja, Ki Tunggul Pitu benar-benar tidak mengerti penyebab hatinya ragu. “Tak kalah, tetapi mengapa aku merasa gentar?” pikirnya.

Begitu pula Ki Sekar Tawang yang menerawang deret tak teratur pepohonan yang  tumbuh di lereng perbukitan memanjang. Menurutnya, ilmu Raden Atmandaru kian pesat meningkat. Dan seharusnya Kiai Plered dapat tunduk dalam genggamnya. Ia hanya merasa heran, mengapa Kiai Plered tidak dapat mereka kendalikan? Mengenai keberhasilan mereka membunuh Ki Patih Mandaraka, dalam pikiran Ki Sekar Tawang, itu hanya perkara waktu. Setiap bagian yang akan dijalani dapat memberikan gambaran yang mendekati kepastian tentang hasil terakhir.

Raen Atmandaru meminta mereka lebih mendekat. Mereka berkeliling dalam lingkaran yang sangat sempit. Raut wajah sungguh-sungguh jelas memancar dari Raden Atmandaru sewaktu memaparkan rincian dari rencananya. Jalan-jalan pelarian dan jumlah pengikut yang akan dibawa serta menuju pedukuhan induk.

Sebelum usai mereka berembug, desir langkah terdengar mendekati tempat mereka bertiga. Seorang lelaki muda melenggang menyeberangi jalan setapak, memintas jalan menuju pakiwan. Sejenak ia menoleh ketika sudut matanya menangkap tiga bayangan yang berdiri di dekatnya. Sepandang kemudian ia berusaha mengingat wajah tiga orang itu. Hanya satu yang ditakutkannya, meski demikian, lelaki muda itu ragu-ragu. Ia memberanikan diri bertanya, “Raden Atmandaru?”

Orang yang disebut namanya lantas sedikit membungkukkan badan sebagai jawaban.

“Oh, ampun, Raden. Maafkan saya yang tidak melihat Raden sekalian berada di sini,” kata lelaki muda itu dengan suara gentar.

“Simbara, ini rumahmu. Kami bertiga adalah tamu ayahmu,” kata Ki Tunggul Pitu tanpa meminta Simbara mendekat.

Ki Sekar Tawang segera berpikir cepat, bahwa anak ini tidak boleh mengetahui keberadaan ibunya saat ini. Baginya, kematian Ki Gandung Jati akan menjadi pukulan sangat berat. Bila ia mengetahui hubungan panas ibunya dengan Swandaru, maka senjata yang akan diluncurkan ke keraton Mataram akan hilang. Ki Sekar Tawang lantas maju beberapa langkah, katanya kemudian, “Ngger, ada tugas besar yang akan disematkan pada pundakmu. Maka dari itu, Angger dapat mempercayakan pada kami tentang ibu dan ayahmu.” Sejenak kemudian ia mengulurkan sebuah medali atau lempeng besi berbentuk bundar sambil mengatakan, “Angger Simbara dapat mencari Ki Ranubaya di Mataram. Setelah bertemu, berikan benda ini pada beliau. Selanjutnya semua yang berkenaan dengan tugas-tugas Angger di Mataram akan disampaikan oleh Ki Ranubaya.”

Simbara mengangguk dengan diikuti sinar mata bertanya-tanya. “Bukankah Ki Ranubaya adalah seorang prajurit Mataram?”

“Dulu,” jawab Ki Sekar Tawang sambil menggelengkan kepala, “Dulu Ki Ranubaya adalah prajurit handal sebelum bertemu dengan Raden Atmandaru. Jadi, Ngger, saya dan kami semua yang berada di sini berharap agar Angger dapat bekerja sama dengan beliau di Mataram. Ini bukan hubungan yang sangat singkat. Angger dan Ki Ranubaya akan bahu membahu selamanya ketika Mataram telah berada dalam genggaman kita.”

Raden Atmandaru hanya berdiam diri mendengar Ki Sekar Tawang mengungkapkan siasat yang muncul sangat mendadak. Ia tidak mempunyai keberatan, bahkan kepergian Simbara akan memberinya waktu untuk menyusun alasan kematian ayahnya. “Bagus, Kiai. Selagi aku tidak dapat berpikir banyak, jalan keluar tiba-tiba ada begitu saja. Terima kasih, Kiai,” kata Ki Sekar Tawang dalam hati.

Kelincahan Ki Sekar Tawang memainkan kata-kata membuahkan hasil. Simbara segera berlalu tanpa berpikir dua kali. Kedudukan sebagai rangga, setidaknya sesuai yang dijanjikan Raden Atmandaru padanya memenuhi angan-angannya. “Tak mengapa bila tidak duduk sebagai tumenggung. Usiaku masih muda maka menjadi rangga adalah raihan luar biasa. Luar biasa. Aku akan abadi dalam kelangsungan hidup Mataram. Berjayalah aku selamanya,” hati Simbara berbunga-bunga indah saat membayangkan pencapaian di kemudian hari.

Ketegangan kembali menyergap mereka ketika penilaian mengenai Raden Atmandaru datang menghunjam batang pikiran mereka.

“Sedikit pun saya tidak mempunyai keraguan, Raden,” ucap Ki Tunggul Pitu tiba-tiba. “Sepintas memang Kiai Plered tidak dapat dikendalikan. Seperti itulah yang terlihat oleh mata kita bertiga. Namun ada satu sebab yang memungkinkan kendali itu terlepas. Saya yakin, Raden dan Ki Sekar Tawang sama-sama saling menjaga keselamatan kawan tanding. Dan itu, dan itu sebenarnya mempunyai pengaruh sangat besar. Kiai Plered membutuhkan perhatian khusus. Sehingga saya dapat membayangkan bila yang menjadi lawan Raden Atmandaru beberapa waktu yang berlalu adalah Ki Juru atau Agung Sedayu, maka yang terbunuh bukanlah Ki Gandung Jati. Bukan orang lain yang tidak terlibat dalam perang tanding. Lawan Raden Atmandaru akan tersayat angin tenaga yang memancar dari Kiai Plered.”

Usia mendengar penuturan Ki Tunggul Pitu, Raden Atmandaru menoleh pada Ki Sekar Tawang. “Apakah seperti itu, Kiai?”

“Saya tidak dapat menolak anggapan itu. Bahkan bisa jadi pendapat Ki Tunggul Pitu memang benar. Raden, saya sedang tidak berada dalam kedudukan sebagai pengamat ketika kita berlatih.”

Raden Atmandaru bergumam sambil memandang Kiai Plered. Sedikit ia mengeraskan suara, “Panggil Gendhis dan Mangesthi. Aku akan jelaskan rencana di depan mereka berdua.”

 

Selanjutnya :

BAB 5 – MEREBUT MATARAM

Related posts

Merebut Mataram 42

Redaksi Surabaya

Menuju Kotaraja 7

Ki Banjar Asman

Membidik 35

Ki Banjar Asman