Senapati itu termangu-mangu. Tetapi ia mengerti bahwa yang terpenting baginya adalah menyampaikan keadaan di Jati Anom. Meskipun ia ingin mendesak dengan kuat agar Mataram mengirimkan bantuan ke Jati Anom, tetapi Sabungsari mengerti kedudukannya. Apalagi ia tidak dapat menunjukkan bukti kuat adanya persekutuan orang-orang yang ingin merebut Mataram, maka yang terbaik baginya adalah menunggu Ki Patih Mandaraka.
“Mengingat kedudukanmu yang cukup penting di samping Ki Untara, aku ingin mengetahui satu persoalan darimu,” kata Ki Patih Mandaraka.
“Silahkan, Ki Patih.”
“Banyak laporan mengenai keberadaan orang-orang asing di Sangkal Putung. Apakah berita itu tidak sampai ke Jati Anom?”
“Maafkan saya, Ki Patih,” Sabungsari mengawali kata-kata, “kebakaran yang terjadi di Tanah Perdikan dan Jati Anom berlangsung dalam hitungan kurang dari tiga hari. Sementara kami telah mengetahui orang-orang asing banyak bertebaran di Sangkal Putung, dan itu memang sudah biasa terjadi dala keseharian mereka yang berada di Jati Anom.”
“Tidak ada yang aneh. Menurutmu seperti itu?”
“Benar, Ki Patih. Sangkal Putung banyak didatangi orang dari segala penjuru dengan berbagai kepentingan dan tujuan. Dan menurut petugas sandi yang bertugas di kademangan itu, secara umum memang tidak ada perilaku yang mencurigakan. Tidak ada kerumunan orang di suatu tempat lalu menetap atau berpindah, selain kerumunan para pedagang dan pengelana.”
Ki Patih Mandaraka menundukkan wajah, kemudian katanya, “Kebakaran di Menoreh tidak dapat dianggap sebagai serangan, tetapi pada akhirnya peristiwa itu menjadi awal dari rangkaian serangan.”
“Kabar burung itu, Ki Patih, mungkinkah akan mendapatkan dasar untuk pembenaran?”
“Pembenaran untuk persoalan seperti apa?”
“Bahwa Raden Atmandaru adalah pengganti yang sebenarnya, bukan Panembahan Hanykrawati.”
“Tidak mudah, Ki Lurah. Tidak mudah mendapatkan pengakuan lalu menempati kedudukan sebagai seorang penguasa di Mataram. Penentangan dapat meluas dan jika itu terjadi, keutuhan Mataram berada di ujung duri.”
Sabungsari merasa bahwa penjelasan Ki Patih Mandaraka sudah cukup baginya, kemudian ia menunggu Ki Patih untuk keputusan yang sedang ditunggu oleh Ki Untara.
“Engkau telah semalam berada di Kepatihan.” Seakan tahu isi pikiran Sabungsari lantas Ki Patih melambaikan tangan agar Sabungsari bergeser lebih dekat. Lalu ia berkata, “Tidak mudah untuk memastikan letak perkemahan para penyerang. Mereka dapat saja sedang mengarahkan senjata ke Menoreh. Tetapi tidak menutup kemungkinan mereka justru berada di dalam kademangan Sangkal Putung. Ki Lurah, tidak mudah bagimu untuk membawa prajurit Mataram tanpa menampakkan diri sebagai rombongan.”
Sejenak Ki Patih Mandaraka memandang langit-langit beranda Kepatihan. Setelah menimbang akibat yang dapat menimpa bantuan Mataram, Ki Patih berkata, ”Aku akan mengirim prajurit melalui banyak jalur dan terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Dan, perjalanan mereka akan mempunyai waktu keberangkatan yang berbeda.”
“Sekarang, apakah saya mendapatkan izin untuk meninggalkan Mataram?”
”Sebentar lagi siang akan tiba di Mataram. Bila engkau sudah merasa cukup untuk istirahat, kembalilah dan segera lakukan persiapan di bawah pengawasan Ki Tumenggung Untara.”
“Baiklah, Ki Patih. Saya segera berkemas dan meneruskan penjelasan Ki Patih pada Ki Tumenggung.” Sabungsari bangkit berdiri lalu membungkuk hormat.
Sabungsari kemudian menghilang dari pandangan mata Ki Patih Mandaraka. Dalam waktu itu, Ki Patih mengerutkan kening sambil berkata dalam hatinya, “Semoga keputusanku untuk tidak memberitahumu tentang Kyai Plered menjadi keputusan yang benar.”
Sebenarnyalah ketika Sabungsari masih dalam perjalanan menuju istana Kepatihan, Ki Patih Mandaraka telah mendapatkan laporan terakhir keadaan di bangsal benda-benda pusaka. Seorang senapati menemuinya di beranda depan bangunan Kepatihan.
“Saya mendapati pintu masuk masih terkunci.”
“Lantas bagaimana kalian dapat menarik kesimpulan bahwa ada pusaka yang hilang?”
“Saya melihat seseorang berloncatan di atap bangunan. Ketika saya menghampirinya, ia telah melompat turun lalu seolah melayang, tubuhnya seperti terbang sewaktu melintasi dinding pembatas halaman. Tanda bahaya telah kami bunyikan tetapi orang itu seperti hilang di antara dinding-dinding panjang bangunan.”
Setelah menerima laporan singkat dari senapati yang bertugas menjaga gudang pusaka, Ki Patih Mandaraka mendatangi bangsal itu. Ia segera menuju letak tombak Kyai Plered. Ki Patih Mandaraka mengikuti suara hatinya yang terus menerus memaksanya untuk memeriksa tombak kebanggaan Panembahan Senapati.
Tidak ada kata yang terucap dari Ki Patih Mandaraka ketika melihat kain selongsong tombak telah berada di permukaan lantai. Kyai Plered yang senantiasa berdiri dengan gagah di bawah naungan payung berwarna merah telah hilang!
“Seseorang akan menggunakan Kyai Plered.” Tubuh Ki Patih berguncang. Seketika udara di dalam bangsal menjadi panas!