SuaraKawan.com
Bab 3 Membidik

Membidik 58

Yang pertama kali melintas pada jalan pikiran Ki Patih Mandaraka adalah pembangkangan. Kemampuannya membaca perkembangan dan membuat perkiraan telah berada di luar jangkauan pikiran orang lain. Api yang melanda Menoreh dan Jati Anom, serta laporan Sabungsari yang menyinggung perkelahian di sungai dekat barak pasukan Ki Untara telah menuntunnya untuk meraba gelagat buruk. Bahaya besar akan menerjang Mataram, pikir Ki Patih Mandaraka.

Senapati penjaga bangsal pusaka merasakan angin panas terasa meniup tengkuknya. Ia meraba kulit lengannya dan nyatalah bahwa pori-porinya mulai mengembun. Dua langkah surut sedikit meredakan panas yang menerjangnya.

Ki Patih Mandaraka berpaling padanya ketika mendengar gemeresik kaki bergeser pelan. Seketika orang kedua di Mataram itu sadar bahwa udara telah meningkat tajam di dalam bangsal pusaka. Lalu bertanyalah Ki Patih, “Selain aku, adakah orang lain yang tahu hal ini?”

Senapati itu menggeleng sambil berujar, “Saya belum memberitahu siapa pun. Penyusupan ini akan mengguncangkan Mataram. Ki Patih, adakah pusaka yang hilang?”

“Tidak ada.” Jawaban itu telah disiapkan oleh Ki Patih Mandaraka setelah menghitung bentangan jarak senapati penjaga dengan pangkon Kiai Plered. Sebuah peti kayu yang ditempatkan setinggi pinggang menjadi penghalang bagi pandangan senapati jaga. Selain dua kendala itu, Panembahan Hanykrawati masih teguh meneruskan aturan lama, bahwa tidak ada yang diizinkan masuk selain raja dan patih atau petinggi yang ditunjuk. Maka satu-satunya cara agar keberadaan Kiai Plered tetap dianggap masih di dalam bangsal pusaka adalah mengalihkan perhatian senapati jaga.

Ketika senapati jaga mengisahkan pengejarannya saat melihat bayang yang seolah terbang melintasi atap bangsal, Ki pati Mandaraka segera berkata, “Penyusup itu tentu bukan lawanmu, Ki Lurah.,” Ki Patih kemudian sambil mengajak senapati jaga itu keluar dari bangsal. “Ia memasuki bangsal pusaka pada waktu yang tidak dapat diperkirakan. Engkau tidak bertugas jaga sejak malam sebelumnya, bukan?”

“Saya baru bertugas pada pagi ini, Ki Patih.”

“Maka dapat kau perkirakan keyakinan diri si penyusup itu. Bagaimana seseorang mampu menyelinap di antara penjagaan yang ketat di seputar tempat penting seperti ini?”

Senapati jaga dapat menerima pendapat Ki Patih Mandaraka. Ia tahu bahwa setiap peronda atau prajurit jaga dapat mengetahui kejanggalan walau sangat kecil. Ia mengerti bahwa para prajurit tidak pernah mengendurkan kesiagaan. “Tentu orang itu mempunyai gerakan yang sangat cepat dan sama sekali tidak menimbulkan suara,” ia mengakui dalam hatinya.

Namun berbeda dengan Ki Patih Mandaraka yang melihat lebih jelas, bahwa orang yang memasuki bangsal pusaka telah mengetahui letak Kiai Plered.

“Lanjutkan penjagaanmu, Ki Lurah,” Ki Patih Mandaraka meninggalkan pesan, “tetapi aku ingin kau tetap merahasiakan kejadian ini. Tidak boleh ada orang yang tahu selain aku dan Panembahan Hanykrawati.”

Ketika mereka tiba di depan gerbang, Ki Patih mengambil jurusan ke kediamannya. Tatap mata heran sejumlah prajurit yeng tengah berjaga mengikuti kepergian orang kedua Mataram hingga menjadi semakin kecil. Namun mereka tidak mendapat jawaban dari senapati jaga yang berjalan menyertai Ki Patih Mandaraka.

Sepertiga siang telah berlalu semenjak kepergian Sabungsari, dalam waktu itu, KI Patih Mandaraka telah bertemu dengan Panembahan Hanykrawati.

“Tak mungkin Kiai Plered masih di dalam kota pada malam hari nanti,” kata Ki Patih.

Panembahan Hanykrawati masih merenungkan keberadaan Kiai Plered, lalu katanya, “Sudah tentu pusaka itu akan digunakan untuk tujuan yang sangat besar.”

Ki Patih Mandaraka bersikap menunggu kelanjutan ucapan Panembahan Hanykrawati.

“Eyang Patih. Bukankah tidak mungkin seseorang yang berilmu tinggi mencuri tombak pusaka untuk keperluan yang tidak sepantasnya?”

“Apakah maksud Wayah Panembahan adalah pencurian ini terkait dengan kekuasaan di Mataram?”

“Saya tidak mengatakan dengan jelas seperti itu, Eyang. Karena bisa saja ia menggunakan untuk tujuan lain. Pajang, misalnya. Dengan Kiai Plered dalam genggaman, seseorang akan mampu memisahkan Pajang dari Mataram. Ia dapat menggunakan banyak alasan agar memperoleh dukungan dari para tumenggung di Pajang.”

“Mengenai persoalan itu, Wayah Panembahan telah dapat memastikan tujuan akhir Kiai Plered,”

“Sangkal Putung,” lirih Panembahan Hanykrawati tetapi tegas mengucapkan itu. “Laporan petugas sandi telah sampai padaku, begitu pula rencana Eyang Patih. Dengan demikian, tidak lagi dapat diragukan bahwa Raden Atmandaru benar-benar membidik Sangkal Putung.”

Related posts

Kiai Plered 17 -Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 53

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 19

Ki Banjar Asman