Keadaan itu berlangsung dalam ukuran waktu sedang. Ketertarikan Agung Sedayu makin bertambah pada saat lolongan panjang membuncah di tengah riuh suitan berlengking tinggi. “Ini tidak bisa dianggap sekadar rintihan malam,” gumam Agung Sedayu dengan hati penuh tanya. Ia bergerak dengan ayunan kaki yang mampu menyerap bunyi. Mendekati pohon berdahan rendah namun cukup baginya untuk menilik suasana sekitar. “Perintah dan aba-aba perang yang dilakukan seperti ini, pasti akan membuat kekacauan baru di bawah ayunan senjata. Lawan mereka tentu dilanda kebingungan. Sungguh, aku sangat beruntung dalam keadaan ini.”
Lingkungan permukiman masih sunyi. Tidak terlihat peronda yang berkeliling walau seorang. Tidak terlihat bangunan-bangunan kecil yang berfungsi sebagai gardu pengamat. Tidak ada gardu jaga. Bukan tidak ada tetapi semua bangunan nyaris berbentuk sama kecuali tiga atau empat bangunan yang terlihat lebih besar. Itu saja : lebih besar.
Riuh yang memenuhi langit di atas Sangkal Putung tidak sepadan dengan keadaan di permukaan tanah. Permukiman itu masih sunyi. Mungkin sebanding dengan kesunyian di kuburan-kuburan tua yang ada di lereng Merbabu.
Tiba-tiba banyak orang keluar dari setiap rumah yang ada di depan Agung Sedayu. Mereka membawa senjata. Tombak dan pedang telah teracung tinggi, tetapi tidak ada suara yang keluar dari sekumpulan orang yang berlarian menuju ke tengah-tengah permukiman. Agung Sedayu melihat semua dengan takjub. “Apakah ini sebuah latihan perang? Adakah mereka akan menyusun suatu gelar?” desah hati Agung Sedayu.
Bulan berjalan pelan menuruni tangga langit. Ia telah berada di ujung barat namun belum tenggelam. Suram sinar rembulan sedikit banyak memantul dari batang-batang pedang yang teracung tinggi. Semua pengikut Raden Atmandaru seolah bersiap memasuki kancah peperangan. Mereka seperti telah bersiap untuk membela kehormatan Panembahan Tanpa Bayangan yang menyatakan telah disisihkan dari Mataram. Wajah-wajah pengikut Raden Atmandaru terlihat jelas di mata Agung Sedayu seperti menggemakan semangat untuk memulihkan kehormatan panembahan mereka.
“Raut wajah dan semangat yang jarang dijumpai akhir-akhir ini,” Agung Sedayu berkata pada hatinya.
Pengikut Raden Atmandaru membentuk garis setengah lingkaran dengan cepat. Kemudian mereka berloncatan, bergerak ke utara dan selatan, ke timur dan barat, pergeseran yang terlihat seperti serombongan burung yang berpindah haluan dengan cepat. Mereka membagi diri dalam banyak kelompok dan berpindah tempat, saling mengisi kekosongan ruang-ruang yang ditinggalkan kelompok lain yang terus menerus bergerak. Dan itu semua dilakukan tanpa aba-aba pemimpin kelompok mereka. Yang terdengar oleh Agung Sedayu hanya derap kaki dan suara senjata berayun.
Dari tempat pengamatannya, Agung Sedayu menilai bahwa gelar yang membentang di hadapannya adalah latihan perang. Meski begitu, ia terpukau dengan kesungguhan pengikut Raden Atmandaru. Mereka tidak melampau batas luar permukiman. Mereka mengenal sangat baik dan itu, sungguh, sesuatu yang luar biasa, pikiran Agung Sedayu terus menerus menilai sangat baik semua yang terlihat pada akhir malam itu.
Tiba-tiba gerak cepat penentang Mataram berubah menjadi lambat. Pelan dan lebih pelan, langkah demi langkah, mereka berjalan dengan tubuh sedikit membungkuk. Seperti harimau yang siap menerkam mangsa. Mereka bergerak menuju batas luar lingkaran permukiman, melewati rumah-rumah kecil yang bertebaran.
Untuk sesaat Agung Sedayu dihinggapi perasaan waswas. Apakah mereka sedang menuju ke tempatnya atau pola itu memang bagian dari latihan? Berkecamuk banyak dugaan yang memenuhi jalan pikirannya. Namun sorot mata Agung Sedayu segera beralih ke sosok yang mempunyai bentuk tubuh mirip dengannya. Berperawakan tinggi dan tidak kekar. Seorang lelaki yang berada di baris kedua pada lapisan pertama yang mendekati tempatnya. Lelaki itu turut berjalan setengah membungkuk tetapi wibawa yang memancar dapat dirasakan oleh Agung Sedayu.
“Sebaiknya aku tidak berprasangka,” hati Agung Sedayu berkata, walau begitu, dadanya mulai berdebar sedikit kencang. Urat wajah Agung Sedayu perlahan-lahan menjadi tegang. Pikirnya, apabila lelaki itu adalah Raden Atmandaru maka tidak dapat dibayangkan lagi kejadian yang menimpanya. Buruk, buruk dan buruk! Hanya itu yang ada dalam pikiran Agung Sedayu. Jumlah besar penentang Mataram mungkin tak sebesar keyakinan Agung Sedayu dengan kemampuan dirinya, tetapi senapati tangguh ini tidak dapat mengabaikan keadaan yang tengah berkembang di depannya.