SuaraKawan.com
Bab 6 Lembah Merbabu

Lembah Merbabu 23

Pangeran Parikesit bergerak maju dan satu kibasan tangan telah melempar Batara Keling ke tempat yang berdekatan dengan Rambesaji. Lelaki yang berjalan dengan setengah membungkuk itu sama sekali tidak menunjukkan kelemahannya sebagai orang yang nyaris berusia seabad. Seolah-olah ia tidak terpengaruh dengan keadaan wadagnya. Kecepatan dan kekuatan Pangeran Parikesit pun telah berada di puncak yang sulit dijangkau oleh orang-orang berilmu tinggi yang hidup pada masa itu.. Oleh karenanya, Batara Keling dan Rambesaji pun menyimpan pertanyaan besar pada saat terakhir yang mereka miliki, namun begitu mereka juga tidak merasa yakin akan dapat menemukan jawabannya.

Setelah Pangeran Parikesit mengikat erat dua orang yang telah banyak membuat kekacauan di masa lalu, ia duduk di atas sebuah batang pohon yang tumbang karena hempasan kekuatan raksasa yang baru saja terjadi di lingkungan itu. Sejenak ia menarik napas panjang, Pangeran Parikesit berkata dengan suara rendah, ”Apakah pada saat ini kalian mengingat masa-masa saat mengawali pengejaran ramanda Brawijaya di lereng Lawu?”

Suasana hening dan riuh binatang malam membungkus kedua orang penentang itu dalam gelisah. Mereka tidak dapat membayangkan bentuk hukuman dari Pangeran Parikesit, sementara mereka berdua telah mendengar bahwa lelaki tua yang duduk di dekat mereka adalah orang yang kejam di masa mudanya.

Kekejaman Pangeran Parikesit tergambar melalui caranya memberlakukan dua orang yang menjadi tawanannya. Mereka terikat ketat dengan akar-akar pohon yang tumbang, begitu mudah sang pangeran memutus akar-akar itu dan merajutnya menjadi untaian tali yang panjang. Keduanya diikat dalam keadaan melingkar, dengan bagian kepala Batara Keling menghadap punggung kaki Rambesaji dan sebaliknya. Sehingga keduanya seperti saling mencium kaki satu sama lain.

Bagi orang yang menerima perlakuan semacam ini maka tak ubahnya seperti mendapat penghinaan yang teramat besar. Bagian muka seorang tahanan harus menempel pada bagian kaki tahanan yang lain. Dan pada saat itulah sang pangeran seperti melemparkan ingatan dua tahanan itu ke masa puluhan tahun yang berlalu.

“Sebenarnya aku mengetahui rencana yang disusun oleh Rakryan Luru Sumpil. Tetapi aku tidak dapat menghalangi tekad ayahku yang memilih untuk menepi dari keramaian,” kata Pangeran Parikesit menerawang kembali ke dalam ruang dan waktu saat berusia belasan tahun.

Batara Keling yang masih meyakini adanya jalan keluar, lantas ia berteriak lantang, ”Pangeran Buangan, tidak layak kau perlakukan kami seperti ini. Kau bukan lagi bangsawan tinggi Majapahit. Kau hanya bagian dari sekumpulan orang-orang terusir!”

Kerling mata Pangeran Parikesit hanya sekilas melihat wajah Batara Keling. Sang pangeran bangkit berdiri dan melangkah menghampiri mereka, katanya, ” Rakryan Luru Sumpil sudah jelas ingin berbagi tahta dengan Demak, oleh karena itu ia memburu Ramanda Prabu. Dan kau tentu telah mendengar akhir kisah Luru Sumpil.” Sambil meletakkan telapak kakinya pada sisi kepala Rambesji, Pangeran Parikesit berkata, ”Kau orang rendahan, Rambesaji. Begitu murah kau menjual rencana perjalanan Ramanda Prabu pada orang-orang yang menggilai kekuasaan. Sedangkan kau tahu bahwa kami semua akan menahan diri dari pertumpahan darah yang lebih mengerikan. Kau mampu mengambil keuntungan dari keputusan yang telah disepakati.”

“Karena kau begitu bodoh, Pangeran,” dengus Rambesaji. Ia meneruskan,” Kau dapat membawa pasukan yang tersisa dan menahan ayahmu di padang bubrah. Kau dapat memaksanya untuk memberikan tahta itu kepadamu, bukan? Tetapi kau menyerah pada keinginan orang dungu dari pesisir.”

Pangeran Parikesit tersenyum kecil. Katanya, ” Kau berkata dengan benar dan jujur, Rambesaji. Satu hal yang aku suka darimu adalah kejujuranmu. Kau tidak mengingkari keinginan hatimu untuk menjadi seorang tumenggung atau rakryan meskipun itu berarti kau akan membenturkan aku dengan Demak. Kau juga tidak ragu mengorbankan banyak orang untuk kehilangan nyawa, harta benda, terpisah dari sanak keluarga dan kau lakukan itu tanpa keraguan. Berita demi berita kau sebarkan dari waktu demi waktu. Kau mampu menjaga semua yang pernah memenuhi udara di sekitar Lawu, Merapi dan Merbabu. Atas semua kebohongan itu, kau mampu menjadi orang yang tak dapat disentuh oleh Demak.”

Related posts

Membidik 45

Ki Banjar Asman

Gerbang Demak – 9

Redaksi Surabaya

Bulak Banteng 6

Ki Banjar Asman