Selagi kelompok penentang berada dalam kebingungan, bola-bola cahaya putih meluncur deras dari segala penjuru menembus dinding-dinding udara panas dan dingin yang tak terlihat mata. Bola-bola itu seperti tidak mengalami hambatan untuk mencapai tubuh para pengepung Ki Getas Pendawa. Di tengah gerakannya yang luar biasa cepat, Ki Getas Pendawa mampu melontarkan serangan yang tidak diperkirakan oleh Rambesaji beserta kawan-kawannya.
“Tua bangka gila!” geram Rambesaji ketika melihat puluhan bola api terlontar ke arah mereka dari delapan penjuru angin. Kening Rambesaji mengembun, sementara empat orang kawannya merasakan keberanian mereka menjadi lenyap. Kematian segera membayang di pelupuk mata mereka ketika tidak ada lagi jalan keluar yang terlihat saat bola-bola cahaya putih itu datang membawa berita maut.
Rambesaji dengan suara menggelegar memberi perintah yang hanya dipahami olehnya dan pengikutnya. Maka kemudian yang terjadi adalah empat orang kawannya melingkari Rambesaji dengan bertumpu pada satu lututnya. Sementara Rambesaji yang berada di tengah lingkaran dengan kedua tangan membentang seperti rajawali membuka sayap. Ia berdiri dengan kedua kaki berpijak sekokoh tebing batu Merbabu. Mata Rambesaji tajam menatap lurus ke depan. Ia bersiap menyambut hujan bola cahaya putih yang dalam sekejap akan mencapai garis lingkaran mereka.
Lalu terdengar suara berdentum yang mengguncang isi dada dan beberapa pohon tumbang ketika bola-bola cahaya putih membentur gabungan tenaga inti yang terlontar keluar dari kedua telapak tangan Rambesaji. Sebagian bola putih itu kemudian memudar dan lenyap, namun beberapa bola mampu menembus gabungan tenaga inti dan telak menghantam orang-orang yang melingkari Rambesaji. Bahkan Rambesaji pun harus melentingkan tubuh untuk menghindari terjangan bola-bola putih yang mampu menembus dinding tenaga inti.
Lengking suara kesakitan membahana memenuhi udara malam. Dua orang kawan Rambesaji terpelanting roboh dan tak mampu bangkit lagi. Dua lainnya terdorong mundur, tatap mata kedua orang itu menyiratkan amarah tatkalan mencari-cari sosok Ki Getas Pendawa yang berkelebat dengan kecepatan melebihi batas kewajaran.
“Siluman seperti apa yang sedang kita hadapi?” bertanya seorang di antara mereka.
“Ia benar-benar anak dari siluman Merbabu,” sahut kawannya sambil memperbaiki tata pernapasan untuk melonggarkan dadanya yang terasa seperti ada dua ekor gajah sedang berdiri di atas kedua bahunya. Ia melirik keadaan kawannya yang bertanya dan tampak olehnya bahwa keadaan temannya jauh lebih parah darinya. Sealiran darah terlihat keluar dari telinga dan hidungnya. Sejenak kemudian, ia melihat Rambesaji dengan tubuh sedikit merendah telah berada di tengah lingkaran pertarungan mereka. Meski begitu, pengikut Rambesaji itu masih belum dapat memperkirakan letak Ki Getas Pendawa.
Sementara itu, Rambesaji harus mengakui keunggulan ilmu Ki Getas Pendawa yang benar-benar dirasa olehnya seperti berada di kaki langit. “Aku mendengar orang terakhir yang mampu melakukan serangan dengan cara seperti itu adalah Toh Kuning, dan itu sudah berlalu ratusan tahun yang lalu,” gumam Rambesaji penuh kagum. Ingin rasanya ia mengakhiri perkelahian itu tetapi ia terikat keadaan yang tidak akan memberinya keleluasaan untuk berbuat sekehendak hati.
Ki Getas Pendawa tiba-tiba berada di hadapannya sambil berkata, ”Pergilah, aku tidak akan mengejarmu.”
“Kau selalu bermimpi tentang kejahatan yang akan kalah,” sahut Rambesaji. ”Aku masih penasaran tentang alasan bahwa kalian selalu menganggap kebenaran berada di pihak kalian. Sementara kebenaran dan kejahatan adalah buah dari tanggapan tentang peristiwa.”
“Aku tidak mempunyai waktu bertukar cakap denganmu, Rambesaji,” suara Ki Getas Pendawa terdengar begitu menggetarkan sekalipun tidak berkata dengan keras.
“Lihatlah dirimu,” sahut Rambesaji sambil menunjuk pada Ki Getas Pendawa. ”Tiada henti kau anggap kami adalah orang-orang yang merusak tatanan yang ada. Namun tidak satu pun perbuatan darimu dan keluargamu untuk mempertahankan tatanan itu. Lihat kenyataan, tahta telah beralih ke Demak dan kau terkucil dari pergaulan saudara-saudaramu.”