SuaraKawan.com
Bab 11 Bulak Banteng

Bulak Banteng 4

“Lalu bagaimana dengan rencana Kiai bila kita mengalami kekalahan dan harus mundur dari Sumur Welut?” tanya Ki Jayanti yang menggeser duduknya lebih ke depan.

“Melawan Jayanegara, tidak ada kata mundur, Kiai. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Aku menetapkan menang atau hancur sama sekali,” suara Ki Sentot terdengar penuh tekanan dan menggetarkan isi dada setiap orang yang hadir malam itu.

Tak lama kemudian seorang penjaga regol padukuhan induk datang berderap dengan seekor kuda, lantas melompat turun dari kuda setibanya di halaman pendapa. Dengan terburu ia mengatakan maksudnya sebelum kakinya menginjak tangga terakhir.

“Ampun, Ki Sentot. Ada dua orang yang datang dan mengancam membunuh kami jika tidak diizinkan memasuki padukuhan. Mereka akan membakar sejumlah rumah jika Ki Sentot tidak menemuinya.”

“Apakah ia menyebut nama?” tanya Ki Sentot selanjutnya.

“Tidak. Ia hanya mengatakan bahwa ia datang dari selatan. Ia juga menyampaikan pesan kokok ayam hutan belum nyaring terdengar,” penjaga berkata dengan wajah pucat karena membayangkan bahwa ia akan menerima murka Ki Sentot Tohjaya. Dan itu berarti akan ada kebakaran besar di padukuhan yang sudah lama ia tempati.

Namun derai tawa Ki Sentot justru mengejutkan setiap orang yang mendengarnya.

“Kenapa Ki Sentot tertawa?” tanya penjaga itu.

“Suruh mereka masuk segera. Kedatangan dua orang ini bukan termasuk yang aku perhitungkan tetapi keduanya dapat menjadi penyanggah harapan.”

Tidak menunggu lama bagi Ki Sentot ketika penjaga regol kembali berada di halaman pendapa beserta kedua orang yang mengancamnya. “Benarkah yang berada di hadapanku sekarang ini adalah Ki Cendhala Geni? Orang kuat yang bergelar Banaspati Gunung Kidul?” senyum lebar Ki Sentot Tohjaya mengembang lebar ketika menanyakan perihal itu kepada kedua tamunya.

“Sudah terlalu lama kita tak berjumpa, Kiai,” kata seorang tamunya yang ternyata adalah Ki Cendhala Geni.

Dan segeralah terjadi percakapan di antara kedua orang yang lama tak berjumpa, dan Ki Sentot juga mengenalkan jati diri Ki Cendhala Geni kepada setiap orang yang hadir dalam pendapa itu. Perbincangan kemudian berlarut dengan masalah-masalah ringan yang tak membikin pening.

Ki Sentot Tohjaya dan Ki Cendhala Geni bersepakat untuk melakukan pembicaraan secara mendalam tentang siasat-siasat yang akan digunakan. Dalam hati Ki Sentot Tohjaya, ia merasa kekuatannya akan meningkat dengan Ki Cendhala Geni yang berdiri di sampingnya. Kebencian Ki Cendhala Geni pada  Majapahit sudah cukup menjadi alasan baginya untuk mengerahkan seluruh kemampuan orang-orangnya.

Di tempat lain.

Seperti yang direncanakan Bondan, Ra Caksana pun segera menyusul kelompok Bondan. Dari kejauhan terlihat rumah-rumah berjajar dalam jarak yang tidak begitu rapat, di sekitar halaman beberapa orang terlihat melakukan kegiatan. Ra Caksana memberi isyarat untuk berhenti. Ra Caksana pun memerintahkan kelompoknya sedikit mundur agar tidak terlihat oleh orang-orang yang berada di pategalan. “Kita berhenti disini. Tampaknya orang-orang yang berada di pategalan itu tidak sedang mengolah tanah. Aku minta Bondan untuk lebih mendekati dan kita bicarakan lagi setelah Bondan membawa hasil pengamatan,” kata Ra Caksana setelah mereka menghentikan kuda. Perhitungan Ra Caksana adalah Bondan tidak memakai baju prajurit sehingga ia lebih bebas mengawasi dibandingkan dirinya serta anak buahnya.

Meskipun Bondan bukan prajurit, namun naluri dan kebiasaan yang pernah dijalaninya telah menuntun dirinya untuk menempatkan diri secara tepat dalam kelompok yang dipimpin Ra Caksana. Bondan turun dari kuda dan berjalan kaki menuju rerimbun semak memutari pategalan yang berada di tepi luar padukuhan. Dari jarak beberapa puluh tombak, Bondan melihat berbagai latihan keprajuritan dan olah kanuragan.

“Apa sebenarnya yang terjadi pada padukuhan ini?” kata Bondan dalam hatinya. Ia tak habis pikir jika ada latihan keprajuritan di padukuhan – yang sebenarnya telah ada prajurit Majapahit yang mengawal padukuhan- itu. Ia memutuskan untuk merayap mendekat agar pengamatannya dapat mendekati kenyataan sehingga laporannya akan membantu Ra Caksana mengambil keputusan.

Setelah dirasakan cukup melakukan pengamatan dan berbekal keterangan dari dua lelaki yang berpapasan dengannya saat melintasi pategalan, Bondan memutuskan untuk kembali ke tempat semula. Dengan berlari kecil setengah merunduk, Bondan memintas jalan melalui tanaman jagung. Lalu ia melihat isyarat Ra Caksana yang berada di bawah rimbun beberapa pohon yang menyerupai hutan kecil.

“Ra Caksana, ini mengejutkan,” kata Bondan sambil menatap wajah pemimpin prajurit itu, “aku melihat sekelompok orang tengah melangsungkan latihan keprajuritan dan olah kanuragan.”

Related posts

Matahari Majapahit 1

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 6 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Nir Wuk Tanpa Jalu 9

kibanjarasman