Kiai Plered 84 – Randulanang

oleh

Mereka masih duduk berdekatan. Bertiga tetapi hanya dua orang yang menggetarkan tenaga cadangan yang terpendam di balik tubuh wadag. Ki Sekar Tawang dan Raden Atmandaru mengambil sikap bersungguh-sungguh dalam keadaannya. Wajah dua orang itu berliput tegang dengan rahang dan otot leher yang sama-sama mengeras.

Tenaga cadangan memancar sangat kuat dari sekujur tubuh mereka. Kulit Ki Tunggul Pitu meremang, bahkan lelaki ini harus mengerahkan segenap lapisan ilmu agar terlindungi dari jilat tenaga yang bergejolak liar.

Ketika benturan tenaga semakin tidak terkendali dan pancaran ilmu kian berhamburan tanpa arah, Ki Tunggul Pitu harus bergeser menjauh dari dua orang yang duduk berdampingan itu. Udara di sekitar berubah-ubah tetapi tidak sekalipun meninggalkan suara berdesir. Udara berpusar dengan hawa panas yang tindih-menindih dengan angin dingin, sayang, perubahan itu sangat sulit dirasakan dengan kemampuan biasa. Rabaan hawa tenaga tidak menyentuh kulit permukaan orang biasa tetapi ia akan meremukkan tulang secara tiba-tiba. Untuk sejenak, Ki Tunggul Pitu menilai bahwa dua kekuatan itu sanggup melumat tubuh lelaki dewasa dengan kekuatan dua puluh ekor ular sanca kembang.

Bagi Ki Sekar Tawang, sebagai orang yang mengikuti perkembangan terakhir Raden Atmandaru, pergulatan yang dilakukan dalam keadaan beku itu benar-benar melebihi pertarungan yang melibatkan anggota tubuh. Segala sesuatu serasa meningkat berlipat-lipat!

“Belum ada yang diuntungkan dari pergumulan ini,” bisik Ki Tunggul Pitu dalam hatinya. “Hanya satu yang dipastikan menjadi pemenang. Aku.” Walau demikian, kekhawatiran tetap menghunjam jantungnya. Kening Ki Tunggul Pitu mengembun karena terkadang benturan tenaga tiba-tiba terasa begitu tajam lalu mencabik-cabik kulitnya, walau ia telah meningkatkan daya tahan, meski ia mencoba  mengikuti pusaran liar, tetapi dua kekuatan yang tersebar di sekelilingnya benar-benar sangat dahsyat! Selangkah ia menjauh, bertambah dua langkah ia mundur ketika jilatan tenaga mendadak berubah menjadi hantaman-hantaman yang sanggup meremukkan tulang dada.

Sekali-kali tampak warna biru berpendar dari batang tombak, sekali-kali juga terlihat merah tua terlontar seperti kilat dari ujung Kiai Plered. Seandainya ada tombak yang setara dengannya, tetap saja tidak akan mudah menebak pemenangnya.

Raden Atmandaru mengamati dari kedudukannya – untuk sementara waktu – bahwa kekuatannya belum cukup untuk mengisi seluruh batang tombak. Perubahan-perubahan yang terjadi pada udara Randulanang belum dapat dijadikan sebagai tanda, termasuk pendar cahaya yang silih berganti menempati bagian atas Kiai Plered. “Walaupun demikian, meski belum sesuai dengan harapan, aku akan mencari jalan percepatan sebelum bertemu dengan Ki Juru Martani,” Raden Atmandaru berkata dalam hati. Perlahan-lahan ia mengendurkan tekanan.

Suasana beralih surut. Mereda sedikit demi sedikit.

Namun Ki Sekar Tawang justru melihat bahaya ketika Raden Atmandaru mengendurkan tekanan.  Menurutnya, menarik mundur tenaga cadangan tidak sesuai dengan arus pertempuran yang sesungguhnya. Bila itu benar-benar dilakukan kawan latihnya, maka Raden Atmandaru akan kalah.

Secara mengejutkan, Kiai Plered mendadak melayang dengan ujung lancip tepat mengarah pada bagian kosong di antara Ki Sekar Tawang dan Raden Atmandaru. Perkiraan Ki Sekar Tawang benar-benar tepat! Gelombang tenaga Raden Atmandaru telah menjadi pemantik perubahan pada Kiai Plered. Tombak pusaka itu seolah-olah terisi jiwa yang berbeda dengan kebanyakan jasad hidup lainnya.

Dua mata Raden Atmandaru terbelalak lebar. Ia tidak menduga bahwa Kiai Plered tiba-tiba melayang dengan bagian tajam mengacu ke tempat kosong di sisi batang lehernya.

Ketegangan merayap cepat memenuhi pembuluh darah tiga orang berkepandaian tinggi itu!

Benak Ki Tunggul Pitu segera bekerja. “Bila aku dapat mendorong tombak itu dari jauh, apakah ia akan tepat menusuk leher lelaki tengik itu? Meleset? Aku harus mengenali terlebih dulu tekanan pada banyak sisi yang menyelubungi tombak dahsyat itu!”

Keadaan yang sangat mengguncang jantung Ki Sekar Tawang. Apabila ia mengurangi pancaran tenaga, besar kemungkinan Kiai Plered akan bergerak liar dan itu dapat mengarah tepat di tengah-tengah lehernya. Atau sebaliknya, Kiai Plered akan melesat secepat kilat lalu membunuh Raden Atmandaru seketika itu pula.

Peluh berbutir-butir menuruni kening Raden Atmandaru. Kiai Plered berulang-ulang bergeser dengan ujung lancip mengarah padanya. Benturan tenaga yang belum terkendali sepenuhnya membuat Kiai Plered terus-menerus menggelepar liar. Untuk mengembalikan keseimbangan, Raden Atmandaru meningkatkan semburan tenaga cadangannya. Sesaat kemudian, Kiai Plered terlihat tenang mengapung. Ki Sekar Tawang sadar bahwa ada perubahan yang terjadi. Raden Atmandaru telah melontarkan kekuatannya seperti keadaan semula.

“Tetapi, bagaimana mengembalikan tombak ini agar kembali wajar?” Pikiran Ki Sekar Tawang bertalu-talu meneriakkan pertanyaan itu, sementara Kiai Plered seolah-olah berusaha melepaskan diri dari himpitan kekuatan yang menjepitnya dari dua arah.

Dalam waktu itu, Kiai Plered tidak lagi berada dalam keadaan tenang. Tombak itu tidak lagi terlihat seperti sebatang kayu yang hanyut di permukaan sungai yang tenang. Ia kembali menggelepar, seakan memberi perlawanan, dan kali ini, begitu kuat dan sangat hebat! Masih dalam keadaan mengarah bagian kosong di antara dua orang yang tengah melatih ilmu, Kiai Plered menghamburkan pancaran tenaga yang berubah-ubah.

Ki Sekar Tawang beradu pandang dengan Ki Tunggul Pitu. Ayah Mangesthi itu menduga bahwa Ki Tunggul Pitu tengah berusaha memasuki wilayah benturan tenaga. Meski sebenarnya Ki Tunggul Pitu tidak melakukan dorongan atau mengeluarkan ilmu. Justru orang yang mengikat perjanjian dengan Agung Sedayu itu diliputi keheranan dengan peristiwa ajaib dialaminya! Ki Tunggul Pitu merasakan bahwa segenap tenaganya dan ilmunya berlompatan keluar tanpa dapat ia kendalikan. Sekejap kemudian, ia mengerti bahwa kekuatannya terhisap lalu melambari segenap bagian Kiai Plered. “Bagaimana itu dapat terjadi?” Ia bertanya berulang-ulang dengan pandang mata terpana menatap Kiai Plered yang terus menerus meronta dengan semburan tenaga yang kian meningkat hebat.

Letusan-letusan, walau tak keras, mendadak terdengar tanpa terlihat benda-benda atau sesuatu yang terlihat mata bertabrakan di sekitar badan tombak Kiai Plered.

Kekhawatiran Raden Atmandaru bahwa senjata itu akan mengalami kerusakan membuat perhatiannya terbelah.

No More Posts Available.

No more pages to load.