Sejumlah pandang mata tertuju pada Ki Panuju. Mereka berharap ada satu siasat yang dapat menjadi pencerah bagi Marmaya. Bukankah mereka sepakat menunjuk Marmaya sebagai panglima sementara waktu? Pikiran para kepala pengawal berpendapat semacam itu. Dalam waktu itu, Ki Panuju sejenak merenung, lalu bibirnya bergetar, “Api dapat disiapkan tetapi kita tidak dapat segera menggunakannya. Bunija, apakah Ki Rangga tidak mengatakan sesuatu tentang senjata atau alat yang mungkin menjadi pendobrak utama?”
“Tidak, Ki Lurah.” Bunija lalu memandang ke arah Sukra berada lalu berkata, “Apakah Ki Rangga berkata sesuatu padamu?”
Sukra mendekat lalu jawabnya, “Ki Lurah hanya berpesan bahwa kita harus menggunakan segala yang ada sebagai alat bertahan. Namun, bagaimana kita bertahan? Itu tergantung keadaan lawan ketika menyerang.”
“Mereka belum pernah mengalami kegagalan sejak menciptakan keributan-keributan di Menoreh. Mereka tidak bakal mau gagal dalam tiap usaha. Aku hanya dapat katakan bahwa sedapat mungkin kita harus mampu mengacaukan serangan mereka,” kata Ki Panuju.
“Dengan persiapan atau tanpa persiapan,” ucap Dharmana namun dengan sinar mata dan raut wajah bertanya.
“Dengan keduanya,” tegas Ki Panuju.
“Kita harus bersiap sekarang!” perintah Marmaya meski keraguan menyelinap dalam hatinya.
Ki Panuju dan yang lainnya menjawab perintah itu dengan anggukan kepala.
Kemudian Sukra bertanya pada Marmaya, “Berapa lama jarak waktu orang yang engkau perintahkan untuk mengintai dengan kedatangan kami berdua?”
Marmaya mengerutkan kening, kemudian jawabnya, “Seukuran nyala api dari ranting kering.”
“Baiklah,” kata Sukra, “aku akan menyusul di belakangnya namun melalui jalan yang berbeda dengannya. Bila aku kembali ke tempat ini lebih dulu daripada pengawalmu, maka lawan telah berada begitu dekat. Aku tidak menggunakan panah sendaren sebagai tanda. Kalian akan dapat melihat sendiri dariku. Nah, sekarang arahkan aku pada jalur yang berbeda dengan pengintaimu.”
Marmaya segera membuat gambaran mengenai jalur yang akan dilewati Sukra. Kemudian katanya, “Ini jalur yang tidak mudah. Bila mereka menyebar atau membentuk semacam garis yang memanjang, engkau dapat tertangkap atau mungkin terbunuh tanpa orang tahu.”
“Kita belum mencoba. Aku harap banyak rerimbun yang dapat menyembunyikan tubuhku.”
Marmaya mengangguk dan diam-diam menaruh harapan yang sama dengan Sukra.
Di samping mereka berdua, wajah Sayoga kuat memancarkan ketegangan. Gejolak begitu kuat memukul rongga dadanya. Ia menyentuh pundak Sukra, lalu katanya, “Sukra, ini adalah awal kita bekerja sama dengan orang-orang Gondang Wates. Mungkin mereka mempunyai kesamaan dengan pengawal Jagaprayan tetapi yang satu-satu persamaan yang tidak terbantahkan adalah kita terlibat dalam ketegangan di sini lebih awal. Kau dapat ingat itu.”
Sukra mengangguk.
Lanjut Sayoga, “Tidaklah cukup bagi kita mengayunkan pedang maupun tombak di Gondang Wates. Lebih dari itu. Sukra, aku tidak sedang mengajarimu sedangkan usia kita mungkin sepantaran dengan pengalaman yang tidak lebih banyak darimu. Hanya saja aku ingin mengingatkan, keseimbangan dan keluwesan dalam bergerak akan menjadi penentu. Dan, mungkin juga Ki Rangga menempatkanmu sebagai penghubung karena engkau mempunyai kerangka yang lebih kuat. Sungguh, melihatmu berkelahi di Jagaprayan, aku yakin bahwa tidak mudah mengoyak kulitmu dengan pedang. Malam ini, sekali lagi, aku minta padamu untuk mengutamakan keluwesan bergerak.”
Sukra mengangguk.
“Kami yang berada di sini sepenuhnya akan bertempur berdasarkan isyarat darimu.” Sayoga mengedarkan tatap mata dengan memandang Ki Panuju, Marmaya dan Dharmana lalu tanyanya, “Benar begitu?”
Mereka bertiga mengangguk.
“Aku tidak ingin bertingkah atau terkesan pongah, tapi aku tengah memacu kewaspadaan di antara kita semua. Sukra, aku tidak sedang merendahkan atau menganggapmu tengah bermain-main,” kata Sayoga.
“Aku mengerti.” Tepat ketika ucapannya selesai, Sukra beranjak bangkit. Melompat lalu berlari dengan cepat mengikuti gambar daerah yang dibuat Marmaya di dalam benaknya. Ia menyusuri jalan setapak, lorong dan jalan sempit di sela-sela pepohonan yang tumbuh di pategalan. Derap kaki Sukra begitu ringan sehingga tidak banyak bunyi yang timbul darinya.
Sejenak ia berhenti lalu tengadahkan wajah, maka tampaklah lembar tebal kabut masih belum pudar dari langit Gondang Wates. Kerjap bintang yang melayang di bawah gaun malam terlihat samar dan sekitarnya masih berbalut tinta hitam nan pekat. Ayun kaki Sukra berlanjut hingga ia tiba di tepi parit kecil yang memasuki sebuah pategalan. Ia melompati parit dengan sekali jejak, lalu merayap, menaiki punggung gundukan yang telah diterangkan oleh Marmaya. Ketajaman mata Sukra memang sangat baik. Ia dapat mengenali pergerakan lambat dari sejumlah orang yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil. “Sungguh hebat dan mengerikan!” desisnya. Tidak terlihat oleh Sukra kilau senjata yang bebas bergerak. Semua begitu tertutup dan sangat rapat. Bila mereka dapat menjaga keheningan seperti ini, parit-parit di Gondang Wates akan penuh dengan darah para pengawal, pikirnya.
Mendadak muncul dua orang yang bergerak cepat menuju tempatnya. “Aku tidak dapat menghindar bila harus terjadi bentrokan,” kata Sukra tanpa suara walaupun ia tahu sangat baik cara untuk bertahan atau menghindari benturan.