SuaraKawan.com
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 6 – Pedukuhan Janti

Sekali-kali ayam jantan berkokok dan membuat gaduh Pedukuhan Gondang Wates ketika penghubung Ki Gatrasesa melintasi gerbang pedukuhan. Tidak tampak kesibukan sebagaimana yang terjadi di Pedukuhan Janti. Terlihat punggung perbukitan Menoreh yang menghitam. Sepintas ia mengerling ke arah Tanah Perdikan Menoreh. Dalam hatinya, ia berharap kedatangan pasukan khusus Mataram ataupun bantuan yang dikirim oleh Ki Gede Menoreh. Sejenak ia memandang  lalu menarik napas sambil bergumam dalam hati, “Tidak mungkin mengharapkan bantuan datang. Sangkal Putung seolah menjadi negeri terasing.”

Sejumlah pengawal yang terlihat akan menghadang di tengah perjalanan segera menepi ketika ia melambaikan tanda khusus sebagai seorang penghubung. Namun, pada akhirnya, ia berhenti di depan kepala pengawal Pedukuhan Gondang Wates.

“Ki Sanak terlihat buru-buru,” kata kepala pengawal.

Penghubung Pedukuhan Janti mengangguk, lalu ucapnya, “Musuh semakin dekat dengan wilayah kami. Sementara, Ki Sanak dapat melihat langit Pedukuhan Janti masih membara.”

“Cepat atau lambat,” kata kepala pengawal, “mereka akan mendekati tempat ini. Aku berharap kalian dapat memperlambat laju mereka, sementara aku akan mengirim bantuan atau apa saja yang dapat kami bawa ke sana.”

“Ya, mereka pasti datang. Dan mungkin itulah waktu bagi kita untuk memberikan yang terbaik bagi kademangan ini,” sahut pengawal. Kemudian ia menambahkan, “Kakang, apakah tidak lebih baik menunggu perintah Ki Rangga? Agar kita tidak salah mengambil langkah. Menurut Ki Gatrasesa, bisa jadi kebakaran di Janti adalah usaha mereka untuk memancing Kakang keluar.”

“Tidak terpikir olehku jika itu adalah pengalih perhatian.”

“Tapi itu masih mungkin, Kakang. Kita tidak tahu apa sebenarnya rencana mereka pada malam ini.”

Setelah merenung sejenak, kepala pengawal manggut-manggut lalu berkata, “Benar. Ada kemungkinan itu hanya alat saja bagi mereka, sedangkan Pedukuhan Gondang Wates justru lebih dekat dengan pedukuhan induk. Bila pedukuhan ini jatuh, bahaya lebih besar akan mengancam Sangkal Putung. Baiklah, kami akan menunggu utusan Ki Rangga membawa perintah.”

Kepala pengawal mengangkat wajahnya. Bintang-bintang belum memudar. Langit terlihat begitu bersih dari awan. Sebenarnya ia berharap langit membuka celah sehingga gerimis atau hujan dapat memadamkan api di Pedukuhan Janti. Namun harapan tetaplah harapan dan sepertinya langit tidak melihat keadaan Pedukuhan Janti. Ia berkata, “Baiklah, Ki Sanak. Aku tidak akan menahan waktumu lebih lama.” Ia mundur selangkah memberi jalan pada penghubung Ki Gatrasesa.

“Jaga diri kalian baik-baik,” kata penghubung dengan kepala mengangguk Sekejap ia menyentak lambung kuda dan kepul tipis kaki kuda menghilang dalam gelap.

Pada sisi luar Pedukuhan Gondang Water ada hutan kecil dengan bukit yang rendah. Penghubung Ki Gatrasesa nyaris melewati bukit sebelum mendengar suara lantang seseorang.

“Apakah aku memang mendengar orang sedang memacu kuda? Ki Gatrasesa sudah memperkirakan bahwa Ki Rangga pasti mengirim seseorang untuk menyampaikan perintahnya. Bagaimana bila tidak? Mungkin saja ia adalah musuh,” penghubung itu berkata sendiri dalam hatinya. Ketika ia melihat bentangan jalan sempit yang berbelok-belok, ia memutuskan untuk berhenti dan bersembunyi.

Utusan Pedukuhan Janti berusaha mengenali sosok penunggang kuda yang berlawanan arah dengannya. Jarak mereka masih cukup jauh namun titik hitam itu terlihat semakin dekat. Pada dasarnya ia ingin menghentikan laju penunggang kuda tetapi pertimbangan lain, bahwa pesan Ki Gatrasesa harus diterima Agung Sedayu, mencegahnya bertindak bodoh. Sesaat kemudian penunggang kuda dari arah pedukuhan induk melintas di depannya. “Itu pengawal Sangkal Putung!” serunya dalam hati. Ia mengenali panji pengawal pedukuhan induk. Membuncahlah harapan di dalam hatinya. Semangat yang sempat luruh pun kembali menggelora.

Penghubung itu keluar dari persembunyian setelah empat puluh langkah telah membentang dari pengawal Sangkal Putung. Sekuat tenaga ia menyentak lambung kuda, menyusur jalan sempit yang mempunyai banyak belokan sebelum tiba di pedukuhan induk.

Sebenarnyalah Agung Sedayu telah mengirim seorang pengawal kademangan untuk menyampaikan pesannya pada Ki Gatrasesa. Dari gardu penjagaan yang berada di luar pedukuhan induk, senapati pasukan khusus itu dapat melihat langit Janti yang terbakar dari gardu yang cukup tinggi dibangun di atas tanah. Serangkaian pemikiran dan siasat segera tersusun dalam benaknya.

Related posts

Lembah Merbabu 11

Ki Banjar Asman

Sabuk Inten 20

Ki Banjar Asman

Sabuk Inten 5

Redaksi Surabaya