Bunija kembali berhenti sejenak untuk mengatur napas. Ketika debar jantungnya tak lagi bergolak, ia merambat pelan. Semakin dekat dengan akhir tanjakan, tubuhnya semakin rendah, lalu benar-benar menempel tanah. Sedangkan tali kuda dibiarkannya terurai lepas. Bila terjadi sesuatu yang buruk, maka kudanya akan berlari ke Gondang Wates. Dan teman-temannya akan mengerti bila ada sesuatu yang mengkhawatirkan menimpa dirinya.
Meski setengah ragu, Bunija mencoba membuat dugaan bahwa yang berada di depannya adalah kelompok lawan. “Lebih baik salah menduga daripada kecolongan,” bisik Bunija dalam hati.
Dari balik pohon ketapang besar yang tumbuh beberapa langkah sedikit menjorok sebelah kiri, Bunija dapat melihat lapangan yang ditumbuhi rumput liar. Namun ia tidak melihat bayangan apapun. Hamparan tanah kosong itu begitu tenang. Mungkin hanya serangga malam yang tegar menyanyikan lagu-lagu rindu pada musim penghujan. Bunija merayap, bermaksud berlindung di balik gunduk tanah yang bersebelahan dengan rimbun semak.
Mendadak muncul bayangan yang keluar dari parit sedikit lebar tetapi tak berair. Seseorang berdiri tegak di tengah jalan seakan sengaja menghadang perjalanan Bunija. Menyusul kemudian satu orang lagi, seorang lagi dan terakhir seseorang yang sebaya usia dengan Ki Untara muncul dari balik pohon kelapa.
Orang pertama bersuara lantang, “Apa yang engkau tunggu?”
“Apakah ia bertanya padaku?” hati Bunija bertanya.
Sejenak suasana begitu hening. Lalu orang itu mengulang ucapannya, “Hey, engkau yang bersembunyi di balik gunduk tanah, apa yang sedang engkau tunggu?”
Bunija tidak segera menjawab. Orang itu bertanya padanya, apakah Bunija harus menanggapinya? Bunija tampak menegang pada urat wajah, ia tengah berpikir. Kemudian perlahan ia menunjukkan diri , bangkit lalu keluar dari balik gunduk tanah. “Siapakah kalian?” seru Bunija setelah berada di tengah jalan.
Dari belakang, dari tepi tikungan, orang yang terakhir muncul itu kemudian berjalan. Melenggang begitu tenang, mendatangi Bunija lebih dekat. Dari kedudukannya, Bunija tidak dapat melihat dengan jelas wajah orang itu. Ia juga tidak mengenal caranya berjalan atau bentuk tubuhnya, maka Bunija memaku diri, menunggu.
“Bila kita saling bertanya, tentu saja itu tidak akan membuat keadaan di antara menjadi terang,” orang itu berkata ketika berhadapan wajah dengan Bunija, “Ki Sanak. Melewati jalur sulit ini, tentu Ki Sanak mempunyai tujuan tertentu. Ada apakah sebenarnya?”
Sejenak waktu dibutuhkan Bunija untuk berpikir. “Apa yang dapat menjadi jawabanku? Bila mereka adalah anak buah Raden Atmandaru, aku sedang dalam bahaya. Kalau mereka adalah teman, bagaimana aku dapat mengetahuinya?”
Pria asing itu tersenyum. “Mungkin engkau mempunyai keraguan pada kami. Itu sesuatu yang wajar dan dapat dimengerti. Lebih-lebih Sangkal Putung dalam suasana gawat, maka curiga dapat menjadi keniscayaan.” Ia maju selangkah, lalu katanya, “Kami berempat datang dari Jati Anom. Namun…sebelumnya kami ingin mengungkapkan yang kami ketahui tentang diri Ki Sanak. Tidak banyak, sekilas saja bila Ki Sanak memberi izin pada kami tentunya.”
“Oh, dari Jati Anom,” lirih Bunija mengulang keterangan lelaki itu. “Silahkan, Ki Sanak.”
“Ketika Jati Anom terbakar sekitar kurang dari sepekan yang lalu, Ki Rangga Agung Sedayu menyampaikan sebuah siasat pada kami. Bahwa kami harus mengamati keadaan pada keliling luar Sangkal Putung… Sepeninggal… ”
Bunija memotong, “Kami? Siapakah yang Ki Sanak maksudkan dengan ‘kami’?”
“Ah, ya, maaf, Ki Sanak. Maaf,” jawab lelaki itu bertangkup tangan di depan dada. Lantas ia mengenalkan diri, “Kami berempat adalah gabungan prajurit Mataram dan cantrik Perguruan Orang Bercambuk. Nama saya, Ki Panuju, prajurit Mataram. Dua anak muda di belakang saya adalah Santosa dan Marsudi, mereka adalah cantrik Perguruan Orang Bercambuk. Lalu seorang lagi yang berdiri di sisi kanan dan paling belakang adalah Sutiyasa, seorang prajurit juga seperti saya.” Tanda keprajuritan pun ditunjukkan oleh Ki Panuju. Sebagai seorang pengawal pedukuhan, Bunija mengetahui bahwa tanda itu memang benar dari Jati Anom.
Tanpa menyembunyikan wajah yang sumringah, Bunija maju mendekat, katanya, “Saya adalah Bunija. Hanya seorang pengawal pedukuhan kecil seperti Gondang Wates.” Bunija merendah karena tahu bahwa ia tengah berhadapan dengan orang-orang Agung Sedayu serta Ki Untara, dan itu berarti mereka adalah teman dan bantuan!
Ki Panuju mengangguk. “Boleh saya lanjutkan?”
“Silahkan, Ki Lurah.”
“Sepeninggal Ki Rangga, kami bergegas menyisir sisi selatan Jati Anom. Penjagaan ketat dan sejumlah perubahan yang dilakukan kademangan menjadi catatan kami. Sebelum kita bertemu di sini, kami sempat menyaksikan benturan di Pedukuhan Jagaprayan. Bahkan kami sempat duduk dan bicara dengan Nyi Pandan Wangi. Karena Ki Rangga tidak mengizinkan kami memasuki pedukuhan induk sebelum merambah Pedukuhan Janti, maka kami sepakat untuk mengawasi daerah sekitar sini barang sehari atau semalam saja. Lalu inilah pertemuan kita pertama, Bunija.”
“Ki Rangga begitu jauh berjalan dalam pikirannya,” kata Bunija dalam hati. Lalu ia berpamit untuk mengambil kuda. Tak lama kemudian, kata Bunija, “Ki Lurah. Sebelum saya berada di sini dan bertemu dengan Ki Sanak semua, para pengikut Raden Atmandaru sedang menyerang gardu jaga kami yang terletak di sisi barat.” Bunija lantas memberi petunjuk arah pada Ki Panuju. “Bila memungkinkan Ki Panuju bergerak cepat, mungkin pertempuran itu belum selesai. Menoreh membantu kami melalui seorang anak muda, Sayoga, terlibat dalam pertarungan itu. Atau mungkin Ki Panuju hendak menyertai saya menuju pedukuhan induk?”
Ki Panuju mengerutkan kening. Sayoga, ulang Ki Panuju dalam pikiran, ia belum mengenal atau mendengar namanya.
Lantas Ki Panuju memberi tanda agar Bunija sabar menunggu. Serentak empat orang Jati Anom itu berdiri saling berhadapan. Berembug lalu memutuskan. Tidak lama. Kemudian kata Ki Panuju, “Seorang dari kami, Sutiyasa, pernah mendengar nama anak itu. Sayoga pernah terlibat dalam pertempuran di Lemah Cengkar ketika Perguruan Kedung Jati mencoba membuat masalah dengan Nyi Sekar Mirah. Dan, Bunija, dua dari kami akan mendatangi gardu jaga. Sementara dua orang turut berjalan menuju pedukuhan induk. Apakah engkau keberatan dengan keputusan ini?
Bunija merenung sejenak, jawabnya, “Baiklah, Ki Lurah. Lalu apa yang akan saya katakan pada Ki Rangga?”
“Ki Rangga tentunya mengharapkan keterangan yang sebenarnya darimu. Maka, katakan saja,” Ki Panuju menjawab.
“Baiklah. Mari kita berangkat,” sambut Bunija.