Kurang dari sedepa. Tanda bahaya bangkit dari dalam perasaan Dharmana. Menyadap olah kanuragan di Perguruan Orang Bercambuk menjadikan tubuhnya lebih peka. Meski perhatiannya tersedot oleh tombaknya yang berpindah tangan, tetapi urat syaraf Dharmana masih siaga.
Kurang dari sedepa. Dharmana sigap menyingkir, melempar tubuh ke samping lalu bergulingan menghindari cecar tombak musuhnya.Ia beroleh kesempatan untuk meloncat bangkit, dan tiba-tiba cambuknya telah terurai.
Kurang dari sedepa. Itu adalah jarak yang memisahkannya dari kejaran Ki Dirgasana. Melihat pengawal kademangan itu dapat berdiri, terlebih dengan tata gerak yang menantang, Ki Dirgasana memilin tombak sambil berusaha mengurung Dharmana dalam gelombang serangannya.
Ledakan yang begitu keras segera menusuk pendengaran orang-orang di sekitar Dharmana. Ia menyentak sandal pancing ketika menggerakkan cambuk. Berupaya membelit kaki musuhnya yang tengah melontarkan tendangan, namun yang dihadapinya adalah orang yang banyak pengalaman dalam adu kanuragan. Maka Ki Dirgasana menekuk lutut sebelah kakinya, merendah, kemudian menyabetkan tombak mengarah lambung Dharmana. Kembali Dharmana meloncat mundur, meski begitu, ia terlambat menutup celah di bagian bawah tubuhnya. Kain pembungkus kakinya robek, namun kulitnya sempat tergores tajam ujung tombak.
Darahnya mengalir pelan. Dharmana seakan melupakan keadaan sekelilingnya. Tanpa peduli dengan rasa perih, ia melompat pendek dan berusaha menyerang lagi.
Perkelahian yang terjadi pada lingkaran itu tak kalah sengit dan menggetarkan bila dibandingkan dua lingkaran yang lain. Dharmana menyimpan kecepatan dan itu telah diungkapkannya untuk mengimbangi getar kekuatan yang memancar dari tenaga inti musuhnya. Nyatalah bahwa gemblengan keras Swandaru telah membawa dirinya menjadi orang yang layak mendapat kepercayaan tinggi. Dan, di tengah kecamuk yang melanda Sangkal Putung, ketangguhan Dharmana mampu mengobarkan kembali semangat teman-temannya yang sempat ciut nyali.
Di tangan Dharmana, cambuknya berputaran menjadi perisai yang dapat berubah menjadi sengatan tajam. Ki Dirgasana meningkatkan tekanan dan tombak yang dipegangnya pun lincah menusuk begitu deras sehingga seolah menjadi ratusan tombak.
Pada perjalanan malam yang demikian gelap itu angin menderu keluar dari liuk cambuk yang melingkar dan menggelung seperti seekor ular besar. Berulang kali cambuknya meledak-ledak, menggetarkan lengan Ki Dirgasana setiap kali mereka membenturkan senjata.
Dengan tiba-tiba, Ki Dirgasana memekik tajam. Ia bermaksud mengguncang pertahanan Dharmana melalui serangan yang ditujukan pada pendengaran musuhnya. Suara itu menghunjam gendang telinga Dharmana, nyaris bersamaan, tubuh Ki Dirgasana meloncat panjang disertai putaran tombak yang juga mengeluarkan gaung tak kalah dahsyat.
Perihnya bagian dalam telinga yang seperti tertikam benda bermata tajam mengguncang ketahanan Dharmana. Ia menarik serangan, mundur dengan cambuk berayun sendal pancing lalu meledak di depan dada Ki Dirgasana. Meski demikian, usahanya untuk melepaskan serangan balik saat terdesak tidak dapat menghindarkan telapak kaki musuhnya menggedor ulu hatinya. Dharmana terpelanting, terbanting, lalu bergulingan. Secepat burung sikatan, Dharmana meloncat bangun.
Dharmana bernapas putus-putus. Serasa dadanya terhimpit oleh batu gunung sebesar kerbau dewasa. Pikirnya, akan semakin berbahaya bila melanjutkan perkelahian. Ia sadar bahwa Ki Dirgasana bukanlah lawan yang mudah ditaklukkan. Dharmana menjangkau lebih panjang. Ia teguh pada pesan Agung Sedayu. Ke samping, ia mengerling Sayoga yang tegar bertarung meski dikeroyok dua orang. “Ternyata Sayoga mempunyai keadaan yang lebih baik dariku,” katanya dalam hati dengan perasaan lebih longgar. Sebelumnya ia cemas apabila Sayoga juga terhimpit seperti dirinya. Kemudian, lebih jauh ia menyaksikan gelar pengawal pedukuhan belum porak poranda. Dharmana menjadi besar hati.
“Apa yang engkau pikirkan?” seru Ki Dirgasana sambil menerjang Dharmana. Ia ingin menangkapnya terlebih dulu, merayunya agar berubah haluan. Bila gagal, ia tak segan untuk membunuhnya.
Namun Dharmana cukup cepat membuat perhitungan. Sekilas ia telah mengukur jarak dari tempatnya ke lingkar perkelahian pengawal. Dan itu ternyata lebih dekat dibandingkan jarak menuju Sayoga. Ia berloncatan sambil sesekali melepaskan serangan balik. Cambuk disabetkannya melintang, mematuk leher Ki Dirgasana, mengincar dua kaki dan gerakan-gerakan yang mengecoh KI Dirgasana. Begitu kuat dan cepat serangan Dharmana mengalir seolah tak peduli dengan luka nyeri pada kakinya.
Sedangkan Sayoga, walau berada di atas angin, sekali-kali melemparkan pandangan ke jurusan tempat Dharmana berkelahi. Sayoga menunggu perintah orang yang dipercaya Agung Sedayu untuk memegang kendali sementara di Gondang Wates. Ia cenderung untuk menggabungkan kekuatan dengan para pengawal pedukuhan. Dengan begitu, pikirnya, kelemahan dapat disembunyikan. Nalar tajam Sayoga bekerja cepat. Keseimbangan telah bertumpu padanya dan dengan begitu Sayoga dapat leluasa mengendalikan pertarungannya.
Sedikit demi sedikit lingkar perkelahian Sayoga bergeser mendekati kerumunan seru pengawal pedukuhan. Perkembangan itu tidak disadari oleh lawannya yang bertarung berpasangan.
Marmaya melihat perubahan itu. Maka perlahan ia memberi tanda yang hanya dimengerti para pengawal. Gelar pun bergeser setapak demi setapak lebih dekat pada Sayoga.
Tiba-tiba dengan gerakan aneh dan mengejutkan, Sayoga melejit tinggi, lalu menukik dengan pedang lurus mengarah ubun-ubun Ki Sudira. Terkejut dengan serangan mendadak itu, Ki Sudira melempar tubuh ke samping. Dan itu yang diharapkan Sayoga! Ketika ujung pedangnya menyentuh tanah, Sayoga memutar tubuh, dengan hentak kaki yang sangat kuat, Sayoga melesat deras menghantam barisan pengikut Raden Atmandaru! Sayoga meninggalkan dua musuhnya yang terpana melihat gerakannya yang mengejutkan.