Sayoga mengucapkan itu dengan suara bergetar. Sesungguhnya ia ingin menghamburkan tenaga dengan menyerang orang yang terlihat olehnya. Dharmana menangkap perubahan itu kemudian bertanya, “Ada apa denganmu?”
“Orang itu,” kata Sayoga lalu menunjuk letak orang yang dimaksudnya. “Ia adalah orang yang berkelahi denganku di tepi luar hutan di Tanah Perdikan. Saya tertolong kedatangan Empu WIsanata dan Ki Gede Menoreh. Saya nyaris terbunuh pada waktu itu.”
Dharmana ternganga. Ia merasa khawatir apabila Sayoga berniat untuk membalas lalu menyerbu Pedukuhan Janti seorang diri. “Lalu apa rencanamu sekarang?”
“Ki Sarjuma,” desis Sayoga dengan mata berkilat. Dengan tatap mata menghunjam, Sayoga meraba pedang kayu yang bergantung pada pinggangnya. Seluruh tubuhnya bergetar. “Ki Sarjuma,” kembali Sayoga mendesis geram ketika melihat Ki Sarjuma memukuli satu demi satu pengawal pedukuhan yang tertawan.
Dharmana mencengkeram tangan Sayoga. “Terlalu bodoh bila kita menyerang mereka sekarang.”
Sayoga menarik napas panjang lalu mengangguk kecil. “Benar,” katanya singkat.
Mendadak wajah Dharmana memerah. Ki Sarjuma terlihat jelas menginjak kepala seorang pengawal sambil berkata-kata tidak jelas. Suara Ki Sarjuma tidak sampai melewati lekuk tanah rendah yang memisahkan mereka. Sayoga berusaha memusatkan kemampuannya untuk menajamkan pendengaran. Sayup-sayup ia mendengar Ki Sarjuma berkata, “Bukankah sebenarnya lebih mudah bila kalian membantu perjuangan Raden Atmandaru? Lihat keadaan kalian sekarang ini! Mungkin kalian bukan orang yang takut mati, tetapi ketahuilah, bahwa tidak takut mati adalah harapan terakhir para pecundang yang takut melihat kenyataan hidup!”
Namun setelah itu, suara Ki Sarjuma timbul dan tenggelam oleh hempas angin malam.
Sayoga memejamkan mata, kali ini ia akan mencoba lebih keras. Sekian lama tetap tidak dapat mendengarkan kata-kata Ki Sarjuma lebih terang dari yang pertama.
“Bagaimana ini, Kakang?” Sayoga tidak memberitahukan yang didengarnya pada Dharmana.
“Kita mundur lalu memberitahu para pengawal agar menarik garis pertahanan lebih ke dalam.”
“Apa artinya itu?”
“Ki Rangga menghendaki pedukuhan ini dibagi menjadi dua. Pada bagian yang lebih dekat dengan pedukuhan induk, kita akan menumpuk banyak pengawal kademangan. Dan setengahnya, yang lebih dekat dengan Janti, kita akan melepaskannya.”
“Oh, bagaimana mungkin Ki Rangga bersiasat seperti itu?”
“Ki Rangga mempunyai kelanjutan rencana. Kita percayakansaja pada beliau.”
Sayo menggeleng-geleng belum memahami siasat pemimpin pasukan khusus itu. Sejauh yang ia ketahui adalah bertempur dan bertempur tanpa melepaskan sejengkal tanah. Namun ketika ia mengingat perkelahiannya di Jagaprayan, Sayoga akhirnya dapat menerima ajakan Dharmana untuk menyudahi pengintaian.
“Sebenarnya saya tidak senang dengan rencana Ki Rangga. Tetapi harus saya akui memang ada kelebihan pada siasat itu.”
Dharmana tersenyum padanya, lalu berkata, “Sambil melepaskan setengah wilayah, kita masih dapat mengulur waktu dan membiarkan mereka merasa menang. Bukankah Mataram dan Jati Anom belum tiba di Sangkal Putung?”
“Sungguh, peperangan ternyata bukan saja siasat satu bagian, baru kali saya terbuka wawasan. Sebuah sisi yang berbeda bahwa perang adalah keseluruhan. Baik, mari kita selesaikan pekerjaan ini.”
Dengan berat hati, Dharmana dan Sayoga harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak dapat sesuatu yang dapat menolong tawanan. Begitu pedih Dharmana yang dipenuhi penglihatan yang melekat dalam benaknya. Penyiksaan, pemukulan dan umpatan-umpatan yang diterima oleh kawan-kawannya yang terbelenggu di seberang pelupuk dua matanya.
Berdua segera beranjak meninggalkan tempat, walau menyaksikan siksaan dan mendengar jerit menyedihkan, tetapi mereka harus menahan diri meski darah meledak-ledak. Hingga belasan langkah, suara-suara kawan mereka masih dapat didengar. Sesudah itu, mereka menjemput Bunaji lalu menuju tempat kuda ditambatkan.
Sekejap kemudian bertiga menunggang kuda seolah sedang berpacu dengan siluman. Mereka berderap dengan napas memburu. Namun setelah melewati tikungan yang mengarah gardu jaga terakhir, belasan orang terlibat dalam perkelahian sengit!
“Hah?” seru Bunija terkejut. “Mereka lolos dariku!”
Sebagian orang yang tengah berkelahi tiba-tiba menjauhi lawannya lalu berpaling pada arah suara kuda yang berderap.
“Sekalian kita bereskan mereka,” teriak seseorang lalu memberi aba-aba pada anak buahnya agar cepat menyusun gelar.
“Hanya tiga orang. Aku akan ambil nyawa mereka semua!” lantang pemimpin tadi dengan sikap tubuh yang bersiap menyambut kedatangan tiga penunggang kuda dari arah Janti.
Rahang Sayoga mengatup erat. Ia telah meloloskan pedang kayu dan bersiap menerjang orang yang menghadang laju kuda mereka.
“Semoga kita tidak terlambat membendung mereka,” kata Dharmana dengan suara geram. Mungkin ia mendapatkan angin untuk membalas sakit hati pada perlakuan musuh terhadap kawan-kawannya. Kemudian perintahnya pada Bunija, “Bunija! Ambillah jalan lain dan jangan libatkan diri pada pertempuran ini. Ki Rangga lebih membutuhkan laporan darimu daripada kami berdua.”
“Apa yang harus saya katakan?”
“Kosong, tawanan dan perkelahian di gardu itu.” Dharmana menghentak lambung kuda agar meloncat lebih tinggi dengan dua kaki depan menghantam bagian atas pemimpin kelompok dari musuhnya.