Pada tengah malam sebelum Pedukuhan Janti membara, Sekar Mirah berbisik lirih pada Nyi Kuswari, “Aku merasa basah di bagian bawah. Nyi, apakah itu ketuban?’
Nyi Kuswari mendesah panjang. Sungguh, meski ia telah menduga namun keadaan yang dialami Sekar Mirah berada di luar kewajaran. Betapa dalam usia belum matang, janin telah bergeliat sangat kuat. Melalui sentuhan dan pemijatan yang dilakukannya, Nyi Kuswari mencapai kesimpulan akhir. Ingin ia ungkapkan itu pada Sekar Mirah, tetapi kehadiran Kiai Bagaswara menjadi sebab baginya untuk mengurungkan niat.
Walau belum pernah bertemu atau saling mengenal sebelumnya, Nyi Kuswari dapat menilai Kiai Bagaswara dari gerak gerik dan sorot matanya. “Kiai ini bukan orang sembarangan. Seucap yang dikatakannya membuatku cukup untuk berasa segan,” batin Nyi Kuswari.
Ketika Kiai Bagaswara memasuki bilik Sekar Mirah, maka yang dilakukannya adalah meraba pergelangan tangan lalu mengusap bagian perut Sekar Mirah. Kerut wajahnya seolah makin bertambah. Sinar matanya seperti mencari jawaban-jawaban atas segala kegiatan janin yang berada di dalam rahim Sekar Mirah. Sewaktu tatap mata Kiai Bagaswara membentur Nyi Kuswari, ia bertanya, “Nyi Sanak. Berapa lama cairan itu meleleh?”
“Belum seukuran waktu air mendidih, Kiai.”
Baca Berita : Pelanggaran PPKM Darurat di Bojonegoro
Kiai Bagaswara bergumam. Tidak jelas yang ia katakan namun Nyi Kuswari dapat menduga bahwa semakin lama cairan itu meleleh, Sekar Mirah semakin dekat dengan bahaya.
Dan ketika Kiai Bagaswara berunding bertiga, ia mengatakan, “Kedudukan bayi justru menutup jalan lahir.”
Seruan tertahan keluar dari Agung Sedayu. Pasi wajah senapati itu sepucat rembulan yang terlambat menghindari pagi. “Lalu, apa yang harus kita perbuat?” Agung Sedayu menggerakkan bola mata, memandang wajah Kiai Bagaswara dan Nyi Kuswari secara bergantian.
“Ngger,” lembut Kiai Bagaswara menggetarkan bibir, “walau jabang bayi itu belum genap memenuhi kewajaran, tetapi kelengkapannya cukup baik. Angger Sedayu tidak perlu merasa khawatir dengan kekurangan bila itu ada. Lagipula, bila memang ada bagian yang tidak wajar, bukankah itu kehendak Yang Maha Agung semata?”
Perasaan yang bergolak itu menjadi luluh. Agung Sedayu dapat menyadari dan menerima bahwa segala kelemahan adalah bagian utama seseorang, termasuk dirinya. Maka kejernihan ucapan Kiai Bagaswara pun menghalau noda-noda yang membingkai lubuk hatinya. Lalu , kata Agung Sedayu, “Saya tidak lagi mengkhawatirkan kelengkapan, Kiai. Walau pun mungkin akan berat bagi Sekar Mirah untuk menerima, tefapi saya yakin, kami akan terbiasa dan memang seharusnya membiasakan diri dengan keadaan yang tidak lumrah.”
“Bagian tersulit yang akan kita lalui adalah menggeser kedudukan bayi. Anak ini begitu banyak bergerak. Angger Sedayu, apakah kitab Kiai Gringsing juga berisi tentang bagian-bagian dalam perut?”
“Walau saya telah membaca berulang, saya tidak menemukan bab-bab yang berkaitan dengan persalinan, Kiai.”
Kiai Bagaswara sekilas memandang Nyi Kuswari, kemudian katanya, “Nyi, apakah Nyi Kuswari telah mendapat dugaan akhir tentang kedudukan bayi?”
Dengan anggukkan kepala, Nyi Kuswari memberikan jawaban.
“Angger Sedayu,” kata Kiai Bagaswara kemudian, “langkah pertama yang kita tempuh adalah menata letak bayi agar dapat menghadap jalan lahir dengan tepat. Nyi Kuswari akan memijat atau mengusap seluruh bagian perut angger Sekar Mirah. Apakah saya berkata benar, Nyi?” Wajah Kiai Bagaswara beralih ke Nyi Kuswari.
Setelah mendesahkan napas panjang dengan lembut, Nyi Kuswari menjawab, “Memang benar seperti itu, Kiai.” Lantas Nyi Kuswari menatap lekat Agung Sedayu sambil berkata, “Ki Rangga dapat mengawasi pergerakan tangan saya. Itu untuk pencegahan apabila saya tidak mampu menjaga perhatian sepenuhnya.”
Agung Sedayu menggerakkan bibirnya, namun sebelum bersuara, Nyi Kuswari memberi tanda padanya agar tidak mengeluarkan pendapat. Kemudian, kata Nyi Kuswari, “Bayi Sekar Mirah dalam kedudukan melintang. Ia justru merintangi jalan lahirnya sendiri. Mungkin kita tidak membutuhkan waktu lama, tetapi segalanya berada dalam kehendak Yang Maha Agung.”
“Oh,” seru perlahan Agung Sedayu sambil mengusap keningnya. Sejauh pengenalan dan pengetahuannya terhadap Sekar Mirah, Agung Sedayu selalu berpikir baik bahwa Sekar Mirah dapat membimbing anaknya melalui gerak tubuh yang dilakukannya dengan telaten. Tetapi, mungkin saja anak itu mempunyai keinginan yang berbeda. Dan tentu saja keinginannya adalah kehendak Yang Maha Kuasa, batin Agung Sedayu.
“Angger Sedayu,” lanjut kata Nyi Kuswari, “sejauh yang kita miliki pada saat ini, semuanya bermuara pada Yang Maha Kuasa. Termasuk di situ adalah kemungkinan buruk yang tidak mungkin dapat dihindari. Saya tidak dalam kedudukan sebagai pengganti guru Ki Rangga, walau demikian, saya yakin Angger Sedayu dapat mengerti keadaan ini dan selanjutnya.”
“Kemungkinan buruk akan ada, selamanya. Baik sebagai penyeimbang maupun sebagai satu-satunya akibat. Nyi Kuswari, bila dapat diperkirakan, seperti apakah hal buruk yang dapat terjadi?” tanya Agung Sedayu sambil berusaha membesarkan hati.
Nyi Kuswari tidak segera menjawab. Dukun bayi itu berpaling pada Kiai Bagaswara, dan ia yakin lelaki sepuh itu mempunyai pengetahuan lebih luas darinya.
“Ngger,” kata Kiai Bagaswara, “membuka bagian-bagian penting agar bayi dapat lebih leluasa dilahirkan. Itu dapat terjadi apabila kesulitan telah mencapai puncaknya. Apabila jarak kita dengan bayi terhalang jalan yang sangat sempit, pembelahan harus dilakukan.”
Jawaban Kiai Bagaswara itulah yang menghentak jantung Agung Sedayu hingga terlontar suara sedikit keras. Sembilu. Bagaimana ia tega melihat Sekar Mirah tersayat dan dibelah di depan matanya? Agung Sedayu benar-benar sulit membayangkan.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Bab 4 Kiai Plered” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”cat” orderby=”rand”]
Berkat ketenangan dan keluasan wawasan Kiai Bagaswara serta Nyi Kuswari, Agung Sedayu sedikit demi sedikit dapat mengerti bahaya yang menghadang istri dan bakal anaknya. Bahkan ia mengajukan diri untuk melakukan pembedahan dengan tuntunan dua sesepuh yang ahli dalam persalinan. Ditambah pengetahuannya tentang bagian-bagian penting pada tubuh, Agung Sedayu yakin kekuasaan Yang Maha Agung akan menjadi penuntun.
Sewaktu tiga orang itu berembug, Sekar Mirah tengah berada dalam keadaan timbul tenggelam. Kadang kesadaran menguasai dirinya secara penuh, kadang pula kesadaran berlalu darinya. Tak jarang Sekar Mirah terayun di antara sadar dan tanpa sadar. Berulang-ulang ia terdampar di dunia pertengahan. Otot perut yang kuat mengejang dan hebat ketika mengendur kian membuat Sekar Mirah terbenam dalam sakit yang tak dapat terucap kata. Napas Sekar Mirah masuk dan keluar satu demi satu. Peluh semakin deras membanjiri seluruh permukaan kulitnya, padahal udara Merapi semakin berani menyusup tulang. Namun semua tidak dirasakan olehnya. Sekar Mirah sedang berada di tengah pulau yang terkurung samudera tanpa tepi.
Sebagai pemegang tongkat Peguruan Kedung Jati, Sekar Mirah bukan perempuan biasa. Segenap ilmu Ki Sumangkar telah menyatu dalam urat daging dan darahnya. Maka setiap suara pelan pun dapat dijangkau oleh pendengarannya. Pada saat rasa sakit begitu hebat menderanya, Sekar Mirah berulang-ulang berusaha membangkitkan kesadarannya yang timbul tenggelam. Namun ketika ia berada di dunia pertengahan, pendengaran Sekar Mirah menjadi lebih tajam, meningkat berlipat-lipat! Maka ketika tiga orang di dekatnya menyebutkan pembelahan, hati Sekar Mirah menggigil!
Seketika ia meringkuk jauh di bawah kedalaman hatinya!
“Aku masih berusaha membuka hati agar dapat menerima kelengkapan anakku yang mungkin tidak wajar, suamiku hendak menyayat tubuhku? Oh, apakah sedemikian buruk keadaan bayiku ini? Ataukah aku tidak mempunyai kepantasan atau kesempatan untuk menimang dan membuai permata hatiku ini? Yang Maha Agung, saya tidak sedang mengalunkan senandung sedih. Saya pun tidak pernah merasa sendiri. Saya tidak ingin bersuara dengan ratapan tunggal yang mengundang belas kasih. Sederhana yang saya inginkan. Sangat sederhana, Gusti.”
Sekar Mirah sedikit membungakan hati.
“Aku tidak ingin tergoda dengan bayangan buruk bahwa perlengkapan anakku tidak sempurna. Bahkan aku akan siapkan diri bila kehidupanku yang harus bertukar tempat. Yang Maha Agung, longgarkan jalan melalui tangan suamiku. Bila hidupku berakhir, sebenarnya keindahan itu ada di jemari tangan suamiku. Yang Sempurna, bukalah jalan-jalan pikirannya yang masih tersimpul erat dengan ketidaktahuan.”
Dalam waktu itu, lekat Agung Sedayu menatap wajah Sekar Mirah ketika dua tangan Nyi Kuswari mulai bekerja.