SuaraKawan.com
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 30 – Pedukuhan Janti

“Kita akan bicara lebih banyak, Sukra,” kata Agung Sedayu yang mengenal kepribadian Sukra yang telah tinggal bersamanya belasan tahun.

“Dan pastinya itu lebih penting, Ki Lurah.”

“Oh, benarkah?” tanya Agung Sedayu dengan senyum kecil, “engkau jadi lebih banyak tahu sekarang.”

Sukra membuang wajah, dan dengan isyarat khusus, ia meminta Sayoga segera berangkat ke Pedukuhan Gondang Wates.

Maka Sayoga dan Dharmana segera bangkit, lalu meminta diri pada Agung Sedayu dan pengawal kademangan yang berjaga di regol.

Sambil melepas kepergian dua orang yang dipercayanya dapat membuat perubahan di Gondang Wates, Agung Sedayu membuat perkiraan-perkiraan di lorong-lorong pemikirannya. Ia mendapatkan kejanggalan besar ketika menerima laporan dari anak muda yang menjaga regol. Penjaga itu mengatakan bahwa belum ada penghubung yang datang dari Janti maupun Gondang Wates.

Agung Sedayu memperhatikan keadaan di sekeliling halaman rumah Ki Demang. Juga tak luput gerak gerik setiap orang yang berlalu lalang di jalan utama, ia mengawasi dari beranda yang lebih tinggi dari jalanan. “Apakah pasukan Raden Atmandaru telah menguasai daerah perbatasan dua pedukuhan itu?” hatinya bertanya-tanya.

“Sukra,” kata Agung Sedayu, “berikan padaku gambaran tentang keadaan di Jagaprayan.” Lantas ia mengajak Sukra bergeser lebih dekat dengan bilik Sekar Mirah.

Lugas Sukra memberi keterangan mengenai Jagaprayan. Dari segi kemampuan pengawal pedukuhan dan penyerang gelap. Dari jarak dan letak gardu-gardu serta kesiagaan pengawal di tempat itu. Semuanya dijelaskannya secara singkat dan padat. Dalam waktu itu, gerak gerik Sukra tidak luput dari pengamatan Kiai Bagaswara. Dan di dalam hati lelaki yang berusia senja itu, Sukra telah mendapatkan tempat khusus.

Uraian pada Sukra telah memberi bahan yang cukup bagi Agung Sedayu untuk menilai Jagaprayan. Lalu ia berkata, “Nyi Pandan Wangi tentu akan menata ulang penjagaan dan pertahanan. Ia tahu yang harus disiapkan oleh Pedukuhan Jagaprayan. Tetapi, Sukra, satu hal yang membuatku sedikit cemas adalah bila ada dua atau lebih orang yang berkepandaian sama dengan Nyi Pandan Wangi. Engkau tentu dapat membayangkan yang terburuk, meski demikian, kita tetap berharap yang terbaik pada Yang  Maha Agung.”

“Untuk saya, terserah Ki Lurah,” sahut Sukra penuh hormat dan kesiapan melaksanakan perintah Agung Sedayu yang masih setia disebutnya sebagai Ki Lurah. Sukra sendiri tidak mengerti alasan dengan tetap menyebut Agung Sedayu sebagai Ki Lurah, padahal pangkat senapati itu telah berambah satu tingkat lebih tinggi. Namun Agung Sedayu tidak menunjukkan keberatan, bahkan ia menganggap bahwa sikap Sukra adalah permukaan sebenarnya dari kedalaman wataknya.

“Engkau tetap di dekatku dan menetaplah di situ hingga perkembangan selanjutnya.”

“Saya, Ki Lurah.”

Sementara itu, di dalam bilik Sekar Mirah, perempuan setengah baya terlihat tengah merenung dengan tatap mata yang melekat pada bagian perut Sekar Mirah. Mungkin ia sedang menyusun perkiraan-perkiraan yang dapat terjadi pada diri Sekar Mirah. Sesekali terdengar ia mengambil napas panjang, sementara Sekar Mirah berulang-ulang mengerang menahan nyeri akibat geliat bayi yang dikandungnya. Dukun bayi itu, Nyi Kuswari, tidak dapat melakukan pemaksaan untuk mengeluarkan janin sebelum mendengar pendapat Agung Sedayu. Di antara ayunan waktu yang merambat penuh ketegangan, Nyi Kuswari mendengar banyak langkah-langkah kaki yang mendekati bilik Sekar Mirah. Ia berharap Agung Sedayu ada di antara mereka. Perlahan ia beranjak setelah menyentuh jari Sekar Mirah untuk meyakinkan bahwa ia tidak sendiri. Sekar Mirah mengangguk, maka Nyi Kuswari menggeser kaki menuju daun pintu. Ketika derit perlahan mulai terdengar, Agung Sedayu telah berada di depan bilik.

“Syukurlah,” ucap lega Nyi Kuswari.

Agung Sedayu terlihat begitu tenang meski dadanya berguncang keras ketika mendengar ucapan Nyi Kuswari. Ada apakah ini? Kening kerut Agung Sedayu menampakkan pertanyaan yang tidak terucap.

“Ki Rangga,” lanjut Nyi Kuswari berkata, “mungkin kita tidak dapat menunggu terlalu lama.”

“Bagaimana maksud Nyi Kuswari?”

“Ananda sepertinya tidak sabar untuk menyapa dua orang tuanya.”

“Maka, kita jadikan itu lebih cepat.”

“Tidak seperti itu, Ki Rangga.”

Agung Sedayu belum dapat melihat jelas tentang persoalan yang tersimpan dalam kalimat-kalimat Nyi Kuswari. Maka kembali ia bertanya, “Saya tidak mengerti. Bagaimana maksudnya, Nyi?”

“Ki Rangga, bukankah usia jabang bayi belum mencapai sembilan bulan?” Nyi Kuswari bertanya setengah berbisik. Dalam waktu itu, Kiai Bagaswara telah berada di sisi Sekar Mirah, sementara Sukra tegak berdiri di dekat daun pintu.

“Betul. Mungkin tujuh atau delapan bulan. Apakah ada kesulitan, Nyi?” Agung Sedayu memandang wajah Nyi Kuswari bergantian dengan  Kiai Bagaswara yang tengah memeriksa pergelangan tangan Sekar Mirah.

“Tepatnya bukan kesulitan, Ki Rangga. Namun, saya membutuhkan persetujuan dan sepengetahuan Ki Rangga.”

“Baik, baik. Dalam hal apakah Nyai harus bersikap seperti itu?”

Sambil  mengatur napas, Nyi Kuswari menata kata-kata agar Agung Sedayu dapat bersikap lapang dengan kemungkinan terburuk yang mungkin akan menimpa Sekar Mirah. Dalam waktu pendek itu, Nyi Kuswari pun menaruh harapan pada Kiai Bagaswara yang masih berada di samping Sekar Mirah. Pada lelaki itu, Nyi Kuswari melihat sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai lebih dalam hal pengobatan.

Sementara Sukra terus menerus memandang empat orang di dalam bilik bergantian. Dadanya berdegup kencang dan waswas setiap kali tatapannya membentur Sekar Mirah yang tergolek tanpa daya. “Akankah Nyi Mirah dan bayinya dapat melewati ini semua dengan selamat?” Tangan Sukra mengepal keras. Bila saja ia dapat berbuat sesuatu yang meringankan pekerjaan Nyi Kuswari, tentu ia dengan girang hati melakukannya.

Related posts

Membidik 41

Ki Banjar Asman

Penculikan 25

Ki Banjar Asman

Penculikan 20

Ki Banjar Asman