Sejenak ia menengadahkan wajah lalu berkata, “Sekarang!” Tangannya teracu memberi tanda pada pengawalnya. Sekejap kemudian panah sendaren dengan ujung berapi bercuit nyaring membelah udara bagian barat Sangkal Putung. Ki Garu Wesi yang mendapat tugas sebagai pemimpin sayap melihat isyarat yang telah ditunggunya selama dua hari dua malam.
“Waktu untuk mengalahkah Agung Sedayu telah tiba.” Melalui isyarat tangan, Ki Garu Wesi memberi tanda bagi kelompoknya untuk merangsek maju. Demikianlah laskar dengan panji bertuliskan Sayap Garu Wesi mulai merayap maju. Mereka tidak membentuk barisan panjang ke belakang, tetapi Ki Garu Wesi menggunakan gelar Wulan Tumanggal. Orang demi orang berjajar sambung menyambung dengan lengkung seperti bulan sabit. Masing-masing merentangkan jarak sepuluh langkah, maka Pedukuhan Janti telah terkepung sepenuhnya dari arah barat. Tidak ada senjata yang terhunus dalam barisan mereka, tetapi ketika barisan Ki Garu Wesi telah menyusup sedikit jauh, mereka membakar kubangan yang berbentuk segi empat. Sepertinya pasukan itu telah menggali tanah dengan kedalaman selutut orang dewasa lalu menimbunnya dengan jerami dan dedaunan kering, ranting dan kayu yang telah basah oleh minyak buah jarak.
Tak lama kemudian api menyala di belakang barisan Ki Garu Wesi. Sepanjang rentang barisan Ki Garu Wesi, sepanjang itu pula parit api memanasi punggung mereka.
Pengawal pedukuhan Janti yang juga melihat api dari panah sendaren sudah menduga bahwa itu adalah tanda dari musuh mereka untuk menyerang. Namun pergerakan Ki Garu Wesi benar-benar di luar dugaan mereka.
“Bagaimana mereka dapat melakukan itu? Di depan ada kita yang bertombak, tetapi mereka justru membakar satu-satunya jalan untuk melarikan diri,” tanya Ki Gatrasesa yang ditempatkan Agung Sedayu sebagai pemimpin pertempuran di Pedukuhan Janti.
“Mungkinkah ini yang disebut-sebut orang sebagai kesungguhan?” bertanya seorang pemimpin pengawal.
“Mungkin juga mereka memang telah menempatkan Sangkal Putung sebagai tujuan akhir. Direbut atau tidak sama sekali! Mungkin hanya itu piihan bagi mereka,” jawab Ki Gatrasesa, kemudian, “sudahlah. Mari kita bersiap menghadapi mereka.”
Pasukan Sayap Garu Wesi memang sengaja menutup jalan untuk mundur. Kebulatan tekad dapat dilihat dari kesediaan mereka dengan menutup jalur timur dengan lautan api. Ki Garu Wesi dan pngikutnya cepat berjalan menembus hutan dan jalan setapak. Melintasi bulak dan pategalan serta persawahan yang belum lama ditanami padi. Hampir sepanjang lima puluh tombak mereka merangsek maju ke pusat pedukuhan Janti meski pertemuan dengan pengawal pedukuhan belum terjadi, tetapi pasukan berkekuatan sekitar seratus orang itu siaga penuh atas kemungkinan serangan kilat dari orang-orang Sangkal Putung.
Malam masih begitu jauh dari fajar ketika laskar Ki Garu Wesi mendekati pedukuhan Janti semakind dekat. Mereka tidak lagi berjalan, tetapi mulai berlari kecil lalu mendadak berhenti. Aba-aba berantai dari Ki Garu Wesi telah sampai pada setiap orang. Mereka merunduk, dalam keadaan gelap, lalu melepaskan anak panah ke arah pedukuhan. Dalam waktu sekejap, mereka kembali berlari kecil mengikuti arah anak panah.
Pedukuhan Janti bener-benar dirundung malam yang kelam. Sebuah kejutan meledak dan itu berupa nyala api yang memanjang. Hilir mudik para pengawal pedukuhan yang gelisah menanti perintah Ki Gatrasesa.
“Apakah tidak ada perintah untuk memadamkan? Ataukah kita memang hanya menunggu mereka memasuki wilayah permukiman?” tanya seorang pengawal dengan nada cemas.
“Seorang petugas penghbung telah dikirim untuk melaporkan kejadian ini pada Ki Rangga,” jawab pemimpin kelompok mereka.
“Lalu kita menunggu mati? Lihatlah, Jumena. Bukankah mereka semakin dekat?” sergah pengawal itu. Sebelum ucapannya berakhir, puluhan batang panah datang menerpa mereka. Meski sebagian lontaran hanya membentur semak-semak dan batang pohon, tetapi tidak sedikit yang berhasil mengenai pengawal pedukuhan.
Pedukuhan Janti dicekam kecemasan. Malapetaka segera menghampiri mereka dalam waktu yang sangat singkat tetapi belum ada perintah untuk melawan.
“KI Gatrasesa!” seru seorang pengawal dari gardu pengamat. “Perintahkan kami untuk berbuat sesuatu!”
Pengikut Ki Garu Wesi telah berjarak selemparan anak panah atau bahkan kurang dari itu! Mereka bertebaran dalam gelar Wulang Tumanggal dan mengepung rapat setiap jalur yang dianggap dapat dijadikan jalan melarikan diri ke barat.