SuaraKawan.com
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 27 – Pedukuhan Janti

Surata beranjak bangun lalu melompat dan berlari ke arah pedukuhan induk tanpa keraguan sama sekali! Hentakan semangat begitu dahsyat hingga ia berlari sambil menebaskan senjata setiap kali bertemu dengan musuh. Ia menyerang pengikut Raden Atmandaru yang kebetulan berada pada jalur yang dilewatinya. Namun perbuatannya segera menarik perhatian banyak orang yang menjadi musuhnya. Prajurit lawan segera menghalanginya dengan kepungan rapat yang tersusun dalam gelar berbentuk segi lima. Bergantian mereka menyerang Surata yang telah terperangkap dalam kepungan. Geliat Surata yang meronta dahsyat seperti buruan yang terkurung dalam jala. Sinar mata menyalang dan seringai buas Surata menjadi tanda bahwa ia akan menerobos garis kepungan.

Hidup dan mati hanya terpisah bingkai lunak seperti pematang sawah, pikir Surata.

Ia meluapkan marah pada pedang telanjang yang telah berlumur darah. Surata berloncatan menyambar setiap lawan yang mendekat, tetapi gerakannya justru meletuskan kemarahan pada pengeroyoknya.

“Bila saja engkau mau menyerah atau tidak membuat menyerang kami, percayalah, pemimpin kami akan memberi ampun,” kata lelaki yang berikat kepala hitam putih. “Namun kebanyakan orng-orang sepertimu selalu memilih jalan sesat dan menyimpang!” Lantas lelaki itu memberi perintah mundur pada kawan-kawannya.

“Hey, bukankah kalian yang menjadi bodoh dengan merusak ketenangan dan kedamaian tanah ini?” teriak Surata sambil menerkam lelaki yang berkata-kata padanya.

Lelaki berikat kepala itu menyambut terjangan Surata dengan tendangan melingkar. Dalam sekejap, Surata dihujani pukulan-pukulan yang datang bertubi-tubi dari segala arah. Meski ia berusaha mengelak atau menangkis, tetapi lelaki itu bukan lawan Surata. Senjata Surata seolah tiada berguna lagi karena kulit lelaki itu seperti kebal dengan senjata tajam. Berkali-kali Surata menangkis serangan dengan pedangnya tetapi berulang-ulang pula lengan Surata tergetar. Bahkan pedangnya terlepas, terpental jauh setelah belasan kali berbenturan dengan kepal tangan musuhnya.

Surata melangkah mundur. Tatap matanya semakin jalang! Ia bergelap mata ketika mengadu kepalan tangan. Sekejap ia terjengkang lalu mendapati tulang lengannya telah retak. Surata berusaha bangkit tetapi musuhnya bergerak lebih cepat. Dengan satu dorongan kaki, Surata mengeluh, terkulai lalu jatuh telungkup.

“Ia belum mati. Bila mungkin, rawatlah. Mungkin kelak dapat membantu kita memperbaiki bangungan yang rusak,” perintah lelaki berikat kepala pada rekannya.

“Baik, Ki Garu Wesi,” serempak empat orang itu menjawab.

Jatuhnya Surata tak lepas dari pengamatan Ki Gatrasesa. Lelaki setengah baya itu lantas mengedarkan pandangan ke bagian lain. Angkasa Pedukuhan Janti masih membara dan kian bertambah terang ketika lumbung-lumbung mengobarkan api. Hiruk pikuk pertempuran lambat laun berganti dengan perintah-perintah untuk menyerah.

Kemudian dalam sekejap benturan pun berlalu. Bentak makian timbul tenggelam ketika dentang senjata semakin mereda. Wilayah yang dipertahankan dengan semangat tinggi perlahan diliputi kesunyian. Hanya gemeretak kayu terbakar dan sekali-kali terdengar suara keras dari tiang penyanggah bangunan yang roboh. Pengawal kademangan terhalau ke tempat yang terkurung rapat. Meski masih menyisakan keberanian tetapi kekuatan untuk melawan menjadi tumpul. Ketinggian ilmu Ki Garu Wesi dan Mangesthi telah mengubah keadaan.

Seorang penghubung datang menghampiri Ki Gatrasesa dengan dikawal dua pengikut Raden Atmandaru, katanya, “Pedukuhan telah jatuh. Meski sedikit dari kita yang terbunuh, tetapi kebanyakan pengawal luka-luka.”

Sejenak Ki Gatrasesa beradu pandang dengan seorang musuhnya. “Jadi kalian sengaja membiarkan kami hidup,” kata Ki Gatrasesa.

“Bagaimanapun juga, walau kami ingin membakar mayat kalian ketika membujur lintang tetapi pemimpin kami menghargai tenaga kalian,” kata orang itu sambil memandang arah di belakang Ki Gatrasesa. “Kalian tetap berada di pedukuan ini hingga pemimpin kami memutuskan nasib kalian.”

“Pemimpinmu begitu rapuh,” kata Ki Gatrasesa, “hidup kami berada di ujung telunjuknya tetapi ia memilih untuk menjadi peragu.”

“Beliau mengasihi kalian, maka dari itu, kepala kalian tetap berada di tempatnya. Karena beliau juga berpikir bahwa tenaga kalian sangat disayangkan bila tidak dapat digunakan untuk membangun kembali pedukuhan ini.”

Ki Gatrasesa akhirnya mengetahui maksud Raden Atmandaru. Semula ia merasa heran dan mencoba memecahkan alasan pengawal kademangan tidak banyak yang terbunuh. Ini alasannya. Inilah sebab mereka melewatkan kesempatan untuk membunuh. Pengawal akan menjadi budak-budak mereka.

“Engkau tetap berada di sini, Kiai,” kembali orang itu berkata pada Ki Gatrasesa, “Raden Atmandaru tidak akan menambah deritamu dengan perintah berpindah tempat. Kami akan merawatmu hingga sembuh. Dan penting Kiai ketahui bahwa kami akan sungguh-sungguh membangun pedukuhan ini agar kembali wajar, dan pastinya lebih kuat dari sebelumnya. Nah, Kiai, beristirahatlah. Pikiran dan tenaga Kiai akan terkuras bilamana pagi telah menyapa tanah ini.” Dua pengawal itu berlalu sambil mendorong bahu pengawal yang telah terikat kedua tangannya.

Ki Gatrasesa terhempas dalam bayangan jurang yang tak berdasar. Tubuhnya menggetar, menggigil karena sedih bercampur marah. Tetapi keadaan tidak lagi memungkinnya untuk memberi perlawanan terakhir. Yang dapat dilakukannya adalah menjaga nyala asa dalam hatinya sambil mengamati perkembangan waktu demi waktu.

Pedukuhan Janti mulai tenggelam dalam keadaan mencekam. Setiap pengawal telah didatangi hantu perbudakan. Dengan demikian, dalam pikiran mereka, apakah bantuan akan datang lalu menghilangkan ketidakpastian bersamaan dengan lahirnya kembali harapan? Seperlima malam itu adalah siksaan yang memusnahkan harapan mereka, menghancurkan masa depan dan impian. Sebagian pengawal masih mampu menjaga semangat walau sehelai nyala tangkai jarak, tetapi mereka terkepung kelam dan tidak tahu akhir waktunya.

Related posts

Lembah Merbabu 30

Ki Banjar Asman

Perwira 7

Ki Banjar Asman

Wedhus Gembel 4

Ki Banjar Asman