Bondan makin jauh terpental, ia terjengkang lalu terbanting keras. Setelah bangkit dengan cepat dan muka memerah serta mulut berdarah, ia meraba bagian kanan perutnya dan sekilas melihat cairan merah telah membasahi pakaiannya. Ketika ia memandang dua lawannya, sinar mata Bondan seakan melontarkan api yang membakar keduanya.
Selangkah maju dengan tubuh terhuyung, Bondan kembali menerima ancaman : tendangan beruntun Ki Cendhala Geni. Orang tua ini tanpa malu memanfaatkan keadaan Bondan untuk menyerang.
Bondan menghindar, membalas dengan keris yang menyabet setengah putaran. Gerakan itu memberinya kesempatan untuk mengembalikan keseimbangan, namun tidak disangka olehnya jika sebatang tombak meluncur deras padanya, bersamaan dengan itu, Ki Cendhala Geni datang menyerang dengan sabetan kapak yang berputar-putar seperti roda bergigi tajam.
Bondan masih sanggup menghindari maut dari kapak yang berusaha membelah tubuhnya, tetapi senjata Ubandaha telah menggores bahunya dan kibasan kapak merobek perutnya.
Ki Cendhala Geni melakukan gerakan memutar sambil melepaskan tendangan yang tepat mengenai dagu Bondan. Ia terpental dan roboh namun masih berusaha menegakkan kepalanya.
Ubandhana melihat kesempatan emas.
Ia menerjang dengan satu pukulan dahsyat. Ulu hati Bondan tepat terhantam tinju Ubandhana. Bondan kembali terpental cukup jauh akan tetapi Ubandhana yang bernafsu membunuhnya masih menggempur bertubi-tubi.
“Ubandhana, awas!” Satu peringatan keras yang ditujukan pada Ubandhana bersamaan dengan munculnya sebatang panah di antara jilat lidah api. Anak panah ini datang dari kegelapan, meluncur deras dan mengarah punggung Ubandhana. Seruan Ki Cendhala Geni menghindarkan Ubandahana dari ancaman bahaya. Ia membuang diri dengan menjatuhkan tubuh ke samping.
Tiba-tiba kobaran api berkibar-kibar tertiup angin kencang dengan lidah api yang berusaha melilit Ubandhana seperti seekor ular yang akan membelitnya. Dari balik nyala api yang cukup besar, terlihat seorang lelaki muda dashyat memutar pedang hingga angin terdorong dan sanggup menghempaskan jilatan api membidik Ubandhana.
Gumilang meluncur cepat dari balik kobaran api lalu menghujani Ubandhana dengan tusukan pedang yang bertubi-tubi. Dilanjutkan dengan gerakan memutar pedang, Gumilang menghujani Ubandhana dengan tendangan demi tendangan yang bersusulan secara beruntun. Serangan yang sangat berbahaya ini mampu melenyapkan nyawa Ubandhana dalam sekejap jika ia tidak memutar tombak menutup tubuhnya.
Di bagian sayap yang lain telah terdengar gemuruh suara orang-orang yang menggebrak anak buah Ki Cendhala Geni. Mereka adalah bala bantuan dari kotaraja yang bersamaan dengan masuknya Gumilang ke medan yang telah dibasahi darah.
Prajurit yang baru memasuki arena pertempuran itu seperti rajawali yang menyambar mangsanya. Kuda-kuda mereka berkelebat seperti bayangan hantu yang menebar kematian. Tidak butuh waktu lama untuk mengubah keadaan. Kelonggaran pertempuran mulai dirasakan oleh prajurit Ki Guritna. Robohnya Ranggawesi dan Ki Lurah Guritna sangat mengganggu semangat mereka dalam bertempur. Namun kehadiran seorang anak muda yang tidak mereka kenal telah membakar harapan mereka untuk bangkit melawan tekanan para penyamun.
Sekalipun mereka belum mengenal tetapi mereka tahu bahwa anak muda itu bertempur di sisi mereka. Ditambah bantuan pasukan berkuda maka itu semua mengangkat kembali ketenangan dan semangat tempur mereka. Sehingga, para pengawal yang nyaris saja kalah kini justru mampu meredam perlawanan dari orang-orang kalap. Putus asa mendatangi para penyamun. Perlahan namun pasti para prajurit ini mulai mendesak pengikut Ki Cendhala Geni.
Malam semakin larut tetapi tak juga kunjung menuntaskan setiap tetesan darah yang terus menerus mengalir membasahi tanah. Suasana yang mengerikan ketika amis darah merebak, memenuhi udara malam lalu bercampur dengan bau yang berasal dari mayat yang terbakar, asap mengepul dari kayu terbakar semakin menyesakkan dada.
Pemandangan kian menakutkan dan mengerikan ketika beberapa orang dari kawanan penjahat memilih bunuh diri. Mereka merasa lebih terhormat dan tetap merasakan sebuah kebangaan jika dibandingkan mati dibunuh oleh prajurit Majapahit. Mereka yang diselimuti rasa malu, jika tertangkap hidup-hidup, telah meletakkan nyawa di ujung senjata mereka. Keinginan itu, rasa malu itu semakin menjadikan hawa maut berkuasa mencengkeram malam.