SuaraKawan.com
Bab 1 Bulan Telanjang

Bulan Telanjang 13

Suara ibu menyusup relung kalbu untuk membawa kesadaranku kembali. Aku memandang sekitar. Dua pelayanku telah meninggalkanku sendiri. Oh ya, hari menapak siang. Mentari akan berada di puncak, sesaat lagi. Aku beranjak menyambut panggilan ibu.

Dua kereta telah bersiap di halaman. Dua hari perjalanan, semoga akan memberiku pengalaman yang menyenangkan. Sungguh, sangat membosankan bila membayangkan sepanjang siang dan malam hanya meringkuk di dalam kereta kuda.

Udara terasa menyengat. Panas matahari begitu memerihkan kulit. Silau pandangan ketika mata bertumbuk dengan setumpuk jerami kering. Aku berdiri di samping kereta, tanpa aku sadari, seseorang telah berada di dekatku. Aku mengerling padanya, oh, ibuku sedang menengadah. Tanpa takut dan tanpa kerut, ia menentang cahaya matahari dengan dua mata terpejam, meski demikian, apakah ibu telah mematikan rasa dengan hawa yang sangat terik ini? Aku hanya merenung tanpa mampu mencari jawaban.

Sejumlah waktu terlewati, ia mengajakku memasuki kereta. Kami duduk berhadapan. Ketika kereta barang yang berada di depan kereta kami menderap maju, aku membuka tirai dan melihat Han Rudhapaksa melambaikan tangan. Sinar mata dan paras wajahnya tidak akan dapat aku lupakan! Dalam pandanganku, Han Rudhapaksa tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Apakah beliau tidak menghendaki perpisahan ini? Ah, bukankah aku pergi untuk kembali? Ingin aku mengatakan itu pada kakekku, tetapi bibirku terkatup rapat dan aku tak berdaya untuk membukanya.

Ibu duduk sambil menopangkan dagu pada jemari tangannya, Begitu pun yang aku lakukan. Kami tidak mempunyai sesuatu untuk dicakapkan. Mungkin sengat matahari dan udara terik telah menyapu habis gairah kami untuk bicara.

Segera kereta kami pun bergerak maju mengikuti empat kuda yang menarik kereta barang. Tapal batas wanua telah kami lampaui. Jalanan sedikit menanjak dengan tebing rendah di sisi kanan. Di bawah tebing, terhampar sawah dan ladang tetapi itu semua menjadi genangan. Tanggul di sebelah utara sungai runtuh. Tanggul berumur lanjut itu tak sanggup menahan riak gelombang yang kerap melambai semasa hujan. Aku palingkan wajah ketika merasa sepasang mata tengah menatapku. Mungkin tanpa berkedip.

“Ibu lihat kamu begitu tenang, sedangkan udara demikian panas.”

“Panas ini telah tunduk oleh pemandangan dan bayangan masa depan.”

“Begitukah?”

Aku mengangguk. Aku dalam keadaan sehat, maka hampir kesulitan untuk mencari alasan agar dapat bermanja.

“Apakah kamu tidak merasa pening?”

Aku menggeleng. Namun aku harus mengakui bahwa udara begitu panas. Sekilas aku melihat mendung berarak tipis. Mereka tengah menjalin jemari untuk mengumpulkan kekuatan, lalu mengalirkannya dengan segenap gejolak yang dikandungnya. Halilintar atau guruh hanyalah akibat dari gejolak yang terjadi di dalam mendung itu sendiri. Menurutku, begitu. Dan itu pula yang dikatakan oleh perempuan berdada besar padaku.

Terdengar suara sais yang bertanya tentang tempat beristirahat.

“Apakah kita sudah dekat dengan jalur berduri?” ibuku menggetarkan bibir.

“Benar, Sang Hyang.”

Ibu memandangku kemudian bertanya, “Apa kau mau istirahat di sini? Di depan kita adalah hutan berduri. Dikatakan begitu karena samping kanan dan kiri dipenuhi dengan duri-duri sepanjang ibu jari.”

“Lalu tidakkah ada tanah lapang di balik baris berduri?”

“Ibu tidak tahu. Sejauh ini yang ibu lihat hanyalah semak beduri dan pepohonan yang bedaun lancip. Ibu tidak pernah mendengar orang berkata mengenai tanah lapang di dalam hutan.”

“Ya. Baiklah. Kita dapat beristirahat di sini.”

Ibu berkata lantang, “Kita berhenti di sini.”

Aku dan ibu telah berada di luar kereta kuda. Dua sais tengah membantu empat pengawal untuk mendirikan tenda. Aku memandang alis ibu yang berkerut. Ia memikirkan sesuatu yang penting, tebakku.

“Paman,” kata ibu pada sais yang beralis putih, “bukankah lebih baik bila kami tetap berada di dalam kereta? Dan tenda dapat digunakan bergantian oleh Anda berenam.”

Orang yang dipanggil ibu pun berpikir sesaat. Ia adalah orang yang mempunyai kemampuan kanuragan lebih tinggi dibandingkan empat pengawal yang ditugaskan kakekku. Selintas kemudian aku melihat mereka berembug.

Sambil menunggu hasil pembicaraan mereka, aku menepi, duduk di samping batu hitam yang cukup untuk bersandar. Aku mengambil waktu dan memilih ruang yang terpisah karena aku ingin menggambar dalam benakku.

Dalam lukisan di benakku, aku melihat menara dan benteng. Aku menambahkan pegunungan sebagai latar belakang benteng yang dibangun dengan batu hitam. Tiba-tiba muncul sungai yang meliuk-liuk begitu indah.

Related posts

Sabuk Inten 5

Redaksi Surabaya

Gerbang Demak 6

Redaksi Surabaya

Sampai Jumpa, Ken Arok! 6

Ki Banjar Asman