SuaraKawan.com
Bab 8 Gerbang Demak

Gerbang Demak 6

“Ambillah itu untukmu dan temanmu,” kata Adipati Arya Penangsang menanggapi prajurit dengan sikap lain, ”kami berdua akan mengambilnya apabila matahari telah berada di balik pohon.” Kemudian ia berpaling pada Adipati Hadiwijaya lalu ucapnya, ”Kakang masih membutuhkan penyesuaian untuk beberapa saat. Peralihan yang terjadi di dalam tubuh Kakang tidak dapat dilakukan secara mendadak.”

Setelah Adipati Hadiwijaya membuka mata lalu berdiam untuk memusatkan nalar dan rasa, Arya Penangsang bergeser agak menjauh. Sedikit percakapan ia lakukan dengan dua pengawal Demak selagi menunggu Adipati Hadiwijaya menata susunan saraf yang belum sepenuhnya pulih. Dalam masa itu, Adipati Hadiwijaya duduk bersilang kaki dengan bagian bawah tubuh lekat di atas permukaan tanah. Dadanya bergerak halus, turun dan naik, aliran udara melalui lubang pernapasan masih tersendat-sendat. Namun itu tidak lama. Wajah Adipati Hadiwijaya berangsur-angsur menjadi segar. Kemudian berakhirlah kegiatan yang dilakukan oleh pemimpin Pajang. Ia merasakan tubuhnya menjadi lebih bugar dan ringan. Sejak itu maka bertambahlah kekagumannya pada Adipati Arya Penangsang. Lantas mereka berbincang ringan sebentar sambil mengambil bagian dari hasil buruan dua pengawal. Sembari menikmati matahari menuju senja, mereka berempat mempersiapkan diri menuju Demak.

Demikianlah ketika bayang-bayang semakin panjang, empat orang itu berjalan kaki di bawah temaram malam yang akan menjelang. Dari kejauhan terlihat kerlip oncor dari dalam rumah-rumah penduduk. Beberapa peronda mulai menyalakan obor-obor kecil yang ditempatkan pada beberapa bagian jalan sebagai penerangan. Sekali-kali mereka berempat berhenti untuk bertegur sapa dengan para peronda yang sedang menyusuri lorong-lorong pedukuhan. Dua pemimpin Demak itu mendengar penuh seksama setiap untaian kata yang diucapkan para peronda. Dua adipati itu mencatat dalam hati mereka tentang berbagai persoalan yang mereka dengarkan dari para peronda, termasuk perselisihan kecil antar warga mengenai pembagian air. Atau kadang mereka mendengar keluhan tentang tingkah laku segelintir orang yang meresahkan para pedagang.

Adipati Arya Penangsang kemudian memutar badan dan menghadap pada dua pengawal Demak, katanya, ”Kalian dapat beristirahat pada tengah malam ini.” Kemudian ia tengadah lalu memperhatikan kedudukan bintang. Kemudian ia berkata lagi, ”Atau kalian dapat berkuda mendahului kami menuju Demak. Sepenuhnya kami serahkan keputusan itu pada kalian.”

“Kami telah bersiap, Kanjeng Adipati!” kata pengawal berambut putih.

“Baiklah, jika demikian kalian berdua dapat meninggalkan kami.” Adipati Arya Penangsang menoleh pada Adipati Hadiwijaya kemudian memandang dua pengawal sambil memerintahkan, ” Berangkatlah kalian, kami akan menyusul di belakang.”

Dua pengawal dari Demak itu memberi hormat lalu minta diri untuk berangkat terlebih dahulu ke Demak. Maka tak lama kemudian derap dua ekor kuda berlari perlahan menuju Demak. Dalam waktu itu, Adipati Hadiwijaya kembali teringat bahwa sebenarnya ia masih mempunyai ganjalan dalam hatinya. Walau begitu, ia dalam keadaan meragu untuk bertanya.

“Saya hanya tidak mempunyai persangkaan bahwa sepeninggal Eyang, keluarga ini terlibat dalam usaha berburu dalam darah,” tiba-tiba Adipati Arya Penangsang berkata. Adipati Hadiwijaya yang tersentak kaget mendengarnya namun agaknya berusaha menahan diri. Ia merasa tahu arah pembicaraan saudara iparnya itu.

Lanjut kata Adipati Arya Penangsang, ”Saya berusaha untuk menerima kenyataan yang telah terjadi, sekalipun sulit untuk melupakan bahwa justru peristiwa yang telah menanggalkan akal itu dilakukan tanpa musabab yang dapat dibenarkan.” Terdengar hela napas panjang keluar dari dalam dada Adipati Jipang Panolan. Kali ini suara Arya Penangsang begitu dingin dan bernada datar, ”Aku menimbang semuanya. Terbesit keinginan untuk menuntut balas tetapi Eyang Kebo Kenanga dan Eyang Parikesit selalu hadir untuk membantu mengendalikan kekang. Lalu aku melihat Pangeran Benawa.”

Tanpa terasa genang air mata telah mencapai kelopak matanya, ia cepat mengusap dan melirik Adipati Hadiwijaya yang sepertinya tidak melihat gerak yang ia lakukan. Degup jantung Adipati Arya Penangsang berderap kian cepat. Ia berusaha keras untuk mengamati ke dalam hatinya. Ia tidak ingin merusak suasana perjalanan bersama Adipati Hadiwijaya.

Lalu kata Arya Penangsang lagi, ”Kemudian saya berjanji pada diri sendiri bahwa apa yang telah terjadi padaku di masa yang silam tidak akan menyentuh Pangeran Benawa di kemudian hari. Aku tidak ingin ia menudingku sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya.”

“Dan atas alasan itu, Kakang menyelamatkan saya,” Adipati Hadiwijaya berkata.

“Saya tidak ingin berkata lebih jauh dari yang saya alami semenjak meninggalkan Benawa di padepokan Ki Buyut,” kata Adipati Arya Penangsang sambil menggeleng. Ia meneruskan ucapannya kemudian, ”Saya  telah mendengar sebuah upaya untuk mengambil tahta dari paman Trenggana. Bahkan saya terlibat di dalam gerakan itu.”

Related posts

Kiai Plered 32 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 48 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman

Sampai Jumpa, Ken Arok! 12

Ki Banjar Asman