SuaraKawan.com
Bab 1 Bulan Telanjang

Bulan Telanjang 11

Aku ingin terbang melintasi pulau dan lautan dengan sayap yang belum penuh bertunas. Aku ingin menyapa burung-burung pipit yang melintas di atas sawah-sawah di Kalingan.

Aku bertapa dalam perasaanku. Aku terbenam dan tenggelam di dasar semesta. Aku mendengar ibuku berkata, “Berkemaslah, segera! Ketika esok hari menumbuhkan tunas untukmu, maka setiap pasang sayap tak akan berhenti mengepak.”

Aku tidak mengerti maksud perkataan ibuku. Tepatnya, aku belum mengerti kehendak beliau karena aku masih bertapa dengan segenap pikiranku.

Abilirah dijanem retang

Ingsun agunem tembang

Abilirah dijanem petang

Ingsun sumebyar terawang

Aku tidak mengerti maksud ucapan yang samar-samar dapat aku dengar. Aku hanya mengerti bahwa tubuhku masih meringkuk di dalam genangan air saat matahari melayang menuju puncak.

Aku bertapa dalam benakku.

Berkelana dalam pikiran yang dicekam oleh bayangan belenggu keemasan. Hari ini adalah waktu terakhir bagiku untuk menikmati masa yang bebas dari duka. Musibah, bagiku untuk saat ini, adalah buah dari aturan yang dilanggar. Bahagia bagiku, untuk masa sekarang, adalah kebebasan yang belum jatuh sebagai benih-benih permusuhan.

Aku bertapa dalam benakku.

Tubuhku tidak dapat mengapung dalam genangan air pada kolam sempit di dalam bilik yang dikhususkan untukku. Yang dapat aku lakukan hanyalah membiarkan perasaan dan pikiranku untuk tetap berkelana mencari jalan menuju pilar-pilar ilmu pengetahuan. Keadaan ini telah sesuai dengan pesan yang disampaikan padaku oleh perempuan berdada besar yang menjadi temanku berendam pada purnama ketujuh. Aku pejamkan mata agar dapat melihat cahaya yang jatuh pada sudut-sudut tersembunyi dalam ruang hatiku.

Aku tidak sedang mengadu.  Aku sedang berpikir tentang Poh Sangkhara. Lelaki yang belum pernah aku lihat, belum pula aku mengenalnya, aku hanya mendengar namanya disebut. Itu saja.

Aku masih bertapa dalam benakku.

Aku berulang-ulang memejamkan mata untuk menyaksikan tebing curam yang mengintaiku pada banyak waktu. Aku tengah mencoba melihat gunung-gunung dan lembah yang selalu menghamparkan pemandangan yang menakjubkan. Aku munculkan pertanyaan dalam hatiku, apakah Poh Sangkhara mampu membawaku menggapai langit? Untuk itulah, aku menggabungkan diri bersama sekawanan burung yang bebas menyusur lorong-lorong di kaki langit. Mereka begitu anggun ketika melintasi lereng gunung. Aku meihat kepak sayap mereka seperti tepuk tangan dewa yang berbahagia dengan mainan yang mereka sebut sebagai manusia. Dari puncak tebing yang curam, aku melihat kepak sayap angsa yang begitu mewah berayun di sisi pematang sawah.

Di ruang sempit penuh dengan air, aku akan melangkah untuk mengakhiri masa bahagia. Kemudian aku harus mampu melakukan kewajibanku yang lain : menutup telinga dari pandang dan bibir yang amis mencibir.

Oh, mengakhiri masa bahagia? Seorang pelayanku pernah mengatakan, bahwa mendampingi seorang lelaki adalah jalan lain mencapai bahagia.

Benarkah? Aku tidak melihatnya seperti itu. Aku melihat ibuku yang setia mendampingi lelaki yang tak terlihat oleh mata. Mendampingi penguasa yang begitu jauh dari telinga. Lalu, aku bertanya padanya, apakah yang demikian dapat menjadi bukti bahwa aku memberi yang terbaik? Pelayanku terpaku kemudian membenamkan wajah ke permukaan tanah yang basah.

Aku akan mengakhiri pertapaan. AKu tidak ingin berakhir dengan menyisakan kegetiran dalam benak dan hatiku. Aku ingin menjadi seorang perempuan yang bahagia ketika menatap wajah Poh Sangkhara.

Jalindra, jalindra, jalindra.

Sekali lagi, aku tidak memahami maknanya tetapi itulah yang diajarkan Han Rudhapaksa setiap kali aku akhiri masa berendam.

Namaku Dyah Murti. Aku akan mengulum puting susu ibuku untuk terakhir kali. Aku akan menjadi bayi yang kelaparan untuk pertama kali. Kemudian, selepas matahari menempati singgasana dengan gagah, aku dan ibuku akan meninggalkan Kalingan. Menemui ayah dan Poh Sangkhara.

Aku akhiri tapa dalam benakku!

Related posts

Bulan Telanjang 5

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 22

Ki Banjar Asman

Sampai Jumpa, Ken Arok! 2

Ki Banjar Asman