Ketika segala persiapan dilakukan oleh kedua pihak yang akan terlibat dalam sebuah pertempuran, di Kahuripan, Dyah Gitarja sedang duduk berhadapan dengan Gajah Mada.
“Kakang, mengapa paman Nambi tidak memberi perintah pada kita untuk mengirim bantuan ke Sumur Welut?” bertanya Bhre Kahuripan.
“Saya tidak tahu alasan beliau mengenai persoalan itu.Tetapi saya kira lebih baik jika kita mengirimkan prajurit langsung ke Sumur Welut.” Gajah Mada menjalin jemari ketika menjawab Bhre Kahuripan.
“Jika seperti yang Kakang rencanakan, apa paman Ken Banawa tidak merasa dilangkahi?”
“Beliau akan baik-baik saja jika saya dapat menemuinya besok pagi, lalu membicarakan langkah ini padanya. Sementara Ra Pawagal berada di sini membantu Anda.”
“Lalu?”
“Saya akan berangkat bersama dua orang prajurit yang nantinya menjadi penghubung di antara kita. Jika paman Banawa menerima bantuan yang kita tawarkan, seorang prajurit segera meneruskan pesan itu pada temannya di tempat yang saya tentukan nanti.” Gajah Mada berhenti sejenak. Pada waktu itu, ia berada dalam kecemasan tentang Ki Nagapati yang dikabarkan bersiap memutus kotaraja dari segala arah.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu katanya, ”Saya akan berbicara dengan Ra Pawagal setelah kita selesai. Dalam waktu itu, saya akan memintanya untuk menyiapkan setengah jumlah pasukan berkuda.”
Dahi Dyah Gitarja berkerut. Kemudian bertanya, ”Setengah? Apakah tidak terlalu besar? Lalu Kahuripan akan menjadi hilang setengah kekuatannya.” Nada suara Dyah Gtarja terdengar cukup tajam dan membawa pesan gusar.
Gajah Mada menggelengkan kepala lalu menjawab, ”Ki Sentot tidak memperhitungkan kekuatan Kahuripan. Ia telah membawa semua kekuatannya ke perbukitan Gunung Sari.” Sejenak ia menghela napas panjang, lalu berkata, ”Apakah Sri Bhatara mengkhawatirkan Ki Sentot akan memasuki Kahuripan?”
Bhre Kahuripan menganggukkan kepala.
“Ra Pawagal telah memperhitungkan semua laporan petugas sandi dan orang-orang yang berdiam di padukuhan Bulak Banteng. Mereka telah memberi laporan padanya bahwa keadaan di sana telah lumpuh. Dan sepanjang jalur dari Bulak Banteng sampai tempat ini sama sekali tidak ada jejak atau penanda jika ada pasukan besar. Tidak ada satu kemungkinan, walaupun kecil, yang menyiratkan ada kekuatan yang cukup untuk melumpuhkan Kahuripan.” Sorot mata Gajah Mada menyiratkan keyakinan yang kuat ketika mengatakan itu kepada Bhre Kahuripan.
“Baiklah, Kakang. Jika demikian, segeralah menemui Ra Pawagal dan katakan apa yang kita bicarakan ini padanya,” perintah Bhre Kahuripan.
Gajah Mada membungkuk hormat dan berlalu meninggalkan Dyah Gtarja dengan langkah lebar. Jarak istana Kepatihan yang tidak begitu jauh dilaluinya dengan berjalan kaki. Seorang prajurit yang seusia turut menemani Gajah Mada menemui Ra Pawagal, Patih Kahuripan. Mendung yang kelam membayangi perjalanan pendek kedua prajurit muda menapak jalan yang masih ramai orang berlalu lalang. Tanah lapang yang dikelilingi bangunan-bangunan besar pusat pemerintahan masih dijejali banyak orang. Kehidupan di Kahuripan berangsur kembali seperti sedia kala setelah beberapa waktu diberlakukan jam malam oleh Ra Pawagal.
Beberapa lama kemudian keduanya memasuki regol halaman Kepatihan. Prajurit penjaga segera membuka jalan masuk bagi Gajah Mada dan kawannya.
Ra Pawagal berada di serambi depan dengan pundak berbalut kain menutup luka-luka yang belum pulih sepenuhnya. Raut muka penuh wibawa semakin menambah kehormatan yang melekat padanya. Segera ia menjawab salam lalu mempersilahkan Gajah Mada dan kawannya duduk melingkar bersamanya.
“Bagaimana keadaan ayah ibumu, Kebo Pameling?” bertanya Patih Pawagal pada kawan Gajah Mada.
“Keduanya baik dan sehat, Tuan Patih,” Kebo Pameling menjawab. Kedua orang tuanya telah lanjut usia dan sebelumnya Kebo Pameling meminta perkenan memindahkan keduanya ke Kahuripan untuk sementara.
Patih Kahuripan, Ra Pawagal, memalingkan muka menatap Gajah Mada. Lalu dengan suara lembut ia berkata, ”Aku kira kau kemari untuk membawa pasukan ke Sumur Welut.”
Gajah Mada tersenyum lalu mengangguk.
“Lalu bagaimana keadaan Sumur Welut sekarang ini?”
Kemudian Gajah Mada mengatakan berita yang telah ia dengar dari seorang petugas sandi yang dikirimkan oleh Bhre Kahuripan. Ra Pawagal sesekali mengusap janggut dengan pandang mata sering menerawang jauh.