SuaraKawan.com
Bab 1 Bulan Telanjang

Bulan Telanjang 19

Keindahan alam yang tergelar di sekitarku pada pagi itu segera lenyap. Kegembiraanku menguap, tetapi tidak ada waktu bagiku untuk menyesali keputusan dengan meninggalkan rombongan ibu. Mungkin mereka sudah bergerak atau bahkan belum sama sekali! Aku tidak tahu. Yang aku tahu, satu-satunya yang aku tahu adalah sekumpulan lelaki yang memandangku dengan tatapan liar. Dalam sekejap mata, mereka berlompatan ke samping kiri dan kanan, menempatkan diri di depan dan belakangku. Aku tidak menghitung jumlah mereka. Begitu cepat dan aku? Sedang berusaha meredakan kuda yang gelisah. Kuda putih tungganganku bergerak tak menentu. Sekali-kali hewan ini meringkik dengan dua kaki depan terangkat.

Mungkin mereka telah mendapatkan laporan tentang peristiwa kemarin senja. Aku tidak peduli karena para lelaki itu mulai bergerak, mengitariku sambil membentak-bentak agar kudaku benar-benar tertimpa resah. Mereka telah menyusun gelar sementara mulut mereka tak henti memekikkan suara-suara yang sangat berisik, kotor dan menjijikkan!

Sekalipun terkejut dengan kedatangan Toh Kuning yang menemuinya di halaman belakang ketika ia masih membelah kayu bakar, Ken Arok dapat menduga arah kedatangan saudara seperguruannya itu.

Novel Silat Online : Siasat Ken Arok 4

Mereka menyebut nama-nama bagian terlarang dari tubuh. Seseorang dari mereka bahkan bersuara tentang kemaluanku. Sangat gamblang dan benderang mereka memaki ayahku, menyamakan beliau dengan benda-benda yang memalukan untuk diucapkan.

Aku bergeming.

Mereka lantang mengucapkan bagian terlarang dari tubuh. Seseorang dari mereka bahkan bersuara tentang kemaluannya. Sangat gamblang dan benderang mereka ingin bersetubuh denganku dan ibu.

Aku bergeming.

Mereka menyebut nama ayahku, Rakai Panangkaran, dengan cara tak pantas. Aku tidak pernah meminta orang agar menghormati ayahku. Aku tidak ingin memaksa orang lain menghargai ayahku. Rakai Panangkaran terlampau tinggi untuk itu.

Aku bergeming.

Mereka tetap memperdengarkan suara-suara tak beraturan. Kadang-kadnag diselingi dengan pekik-pekik perang. Senjata mereka saling beradu.

Aku tahu mereka sedang menakutiku dan kudaku.

Namaku Dyah Murti. Anak perempuan yang lahir di Tanah Kalingan. Aku kerap melihat bocah-bocah lelaki berlatih kanuragan di bawah pengajaran kakekku.

Aku meloncat turun dari kuda. Aku bertelungkup tubuh ketika telapak kakiku menginjak tanah. Aku tak berdaya walau berusaha keras membalikkan tubuh. Sesuatu yang tidak tampak seperti menindihku! Kekuatan gaib mungkin tengah menghimpitku lalu menyerahkanku pada kawanan serigala.

Mereka berloncatan gembira. Aku rasa, mereka tak lebih dari kawanan monyet yang melihat setandan pisang rebah. Ranum, lezat serta mampu melelehkan liur-liur yang kelaparan. Barangkali keadaan mereka lepas kendali sewaktu dua punuk lunak terbalut ketat oleh kain berwarna gelap terlihat sangat jelas.

Dari balik kelopak yang terpejam, aku melihat perempuan berdada besar yang menjadi teman rendamku ketika bulan telanjang beberapa waktu yang lalu. Seolah ia tengah berbicara padaku. Aku meyakinkan diri. Memang benar, perempuan itu menggerakkan bibirnya.

“Tārābhavanaṃ, Tārābhavanaṃ, Tārābhavanaṃ,”  ucapnya. Dan mungkinkah aku mendengarnya jelas? Aku tidak tahu, tetapi setidaknya mirip dengan yang dikatakannya pada waktu perendaman itu. Aku yang menelungkup dengan mata terpejam. Aku yang menelungkup dengan mata terpejam dan berharapan kosong seperti kehilangan kesadaran. Aku memang kehilangan kesadaran. Kesadaran yang sulit aku rasakan, sulit aku jelaskan karena yang tersisa hanya kesadaran bahwa aku adalah Dyah Murti.

Telingaku jelas mendengar belasan telapak kaki berderap, beradu cepat menghampiriku. Mereka telah begitu dekat denganku, aku dapat mencium bau keringat, bau mulut dan ketiak mereka!

Mungkin sesaat lagi aku tidak lagi mempunyai kehormatan. Mungkin sekejap lagi mereka akan menyeretku sambil menikmati kemaluan yang terpampang seperti mereka melihat bulan yang telanjang. Barangkali mereka akan bermain dengan jari jemari kasar di atas rambut selangkangan yang tak tumbuh lebat.

Mendadak!

Aku mencium bau-bau yang tak asing memasuki lubang pernapasanku. Ya, ini adalah bau yang meliputiku di badan sungai.

Mendadak.

Tubuhku terasa ringan. Kekuatan gaib — yang aku kira tengah menekan punggungku — telah sirna. Aku bergerak dengan luar biasa. Sepasang kakiku mementang tetapi mataku terpejam.

Aku mendengar seruan terkejut tetapi mereka tetap bersorak. Seorang dari mereka berkata, “Lihat! Bayangkan jika kalian terhimpit oleh benda lunak yang legit! Pikirkan kenikmatan yang ada pada lendir yang membasah!”

Mereka berderai tawa.

Aku berseru keras dan dalam bayangan di benakku, aku menerjang maju dengan delapan sujen yang telah berada di sela-sela jemariku yang mengepal. Aku tidak ingin mengetahui cara anak lidi itu mendadak ada padaku.

Begitu saja terjadi di dalam anganku.

Aku memutar dua lengan lalu menusuk orang-orang yang mencoba memelukku.

Seorang mati dengan dahi tertancap dua sujen. Ia terjungkal dengan bagian selangkangan mendongak pada arah wajahnya. Aku palingkan muka sambil cepat menarik senjata. Kecepatanku tidak berkurang ketika melanjutkan gerakan menebas ke kiri dan kanan.

Seruan terkejut bercampur umpatan segera membahana. Aku kesulitan, sungguh, aku kesulitan membuka mata sedangkan aku sangat ingin melihat kenyataan yang terjadi dengan mata wadag. Apakah perkelahian senja terulang dengan cara yang sama? Satu atau dua, tiga atau empat orang sepertinya berhasil menangkis seranganku. Aku hanya  merasakan tubuhku terpental. Benarkah? Aku tidak tahu karena itu terjadi di dalam anganku dan di luar kesadaranku.

Mungkin orang-orang yang menjadi lawanku mempunyai kepandaian lebih tinggi dari musuh-musuhku kemarin. Sungguh, aku dapat merasakan getaran yang lebih hebat sedang merayap sepasang lenganku.

Related posts

Merebut Mataram 21

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 67

Ki Banjar Asman

Lembah Merbabu 28

Ki Banjar Asman