“Ah, sudahlah. Ini adalah kewajiban pengemban keamanan wilayah Majapahit.” Ken Banawa merendah.
Tiba-tiba ia merasa jantungnya berada di dalam remasan yang sangat kuat ketika melihat dua lelaki muda melangkah ke arahnya. Tubuh Arum Sari menggigil. Sorot matanya mendadak liar dan menyirakan kengerian yang mencekam! Lisah gadis muda itu mendadak kelu. Ia hanya meratap dan melolong dalam bisu.
Ken Banawa melihat perubahan yang sangat cepat terjadi dalam diri Arum Sari. Sejenak ia merenung, memilih kata agar tidak menambah resah yang melanda gadis dari Wringin Anom itu.
“Ia adalah Bondan. Ia datang bersama kami.”
“Oh,” desah Arum Sari dengan bibir bergetar dan hampir saja terlontar pertanyaan serupa ketika ia melihat seorang lagi dengan busur di punggungnya. Tiba-tiba saja ia memaki dirinya sendiri. “Begitu bodoh! Aku melihat mereka berdua berkelahi untuk membebaskanku tetapi aku berprasangka buruk pada mereka? Sementara paman Banawa kelihatan sangat dihormati oleh dua anak muda itu,” geram Arum Sari pada dirinya sendiri.
“Bondan, bagaimana keadaanmu?” Ken Banawa bersuara ketika Bondan duduk berbaur dengannya dan Arum Sari. Setelah menganggukkan kepala pada Arum Sari, saat itu, Bondan tengah merawat luka-lukanya dengan serbuk obat yang dibawanya sendiri.
“Sedikit lebih baik, Paman. Darah sudah berhenti dan mungkin satu dua hari ini lukanya akan menutup,” jawab Bondan sambil menahan rasa pedih. Kemudian ia berkata, “Sangat disayangkan! Sejauh ini kita tiba di tempat ini dan keduanya melarikan diri.”
Bondan menarik napas panjang sekali, dua kali, lalu suaranya datar terdengar, “Apakah kita akan mengejar mereka?”
Ken Banawa tidak segera menjawab, sejenak ia menatap wajah Arum Sari seolah mencari tahu keadaan gadis yang nyaris menjadi korban kebuasan Patraman. Namun ia tidak melihat perubahan pada air muka dan sinar mata gadis itu, lantas Ken Banawa berpaling pada Bondan, lalu kata-nya, “Bagaimana menurutmu jika Ra Caksana dan beberapa pengawal mengejar mereka?”
“Tak mengapa karena dua orang itu tidak akan kembali ke Wringin Anom atau Sumur Welut. Saya raasa seperti itu.” Bondan berdiri sambil mengibaskan tangan pada pakaiannya.
“Baiklah. Engkau dapat mengejarnya bersama Ra Caksana. Aku tinggalkan beberapa orang untukmu, sementara dan Gumilang akan menyertaiku untuk mengantarkan Arum Sari ke Wringin Anom. Segera beritahu kami jika kalian mempunyai kabar penting tentang kedua orang itu.”
“Baik, Paman. Selamat jalan.” Bondan sedikit membungkukkan badan pada Ken Banawa dan Arum Sari.
“Selamat jalan, Ngger.” Ken Banawa beranjak bangkit, lalu membantu Arum Sari untuk membenahi keadaannya. Sejumlah perintah ia sampaikan pada Ra Caksana.
Kedua kelompok ini segera berpisah dan sekilas Bondan menatap wajah Arum Sari namun segera memalingkan muka. Ada desir aneh yang merambat hatinya. Mengingatkannya pada satu masa yang telah berlalu.
Bagaimana keadaannya saat ini? Angin tidak memberiku berita. Hati Bondan mendesah.
Kelompok yang dipimpin Ken Banawa segera bertolak ke Wringin Anom dengan membawa beberapa tawanan dan orang yang terluka. Sedangkan Bondan dan Ra Caksana beserta beberapa prajurit berkuda ke arah selatan menyusuri sungai.
“Perjalanan ini akan berat, Arum Sari. Kita membawa banyak orang terluka. Aku harap tidak ada keberatan darimu bila kita menempuhnya dengan berjalan kaki,” kata Ken Banawa perlahan kepada Arum Sari yang berjalan di sampingnya.
“Tidak, Paman. Keadaan ini jauh lebih baik meskipun perlahan tetapi kita secara pasti menuju Wringin Anom.”
“Semoga demikian. Dan aku harap tidak ada gangguan yang mengejar kita karena aku pikir mereka sudah tidak ada kepentingan dalam hal ini.”
“Semoga begitu.”
Siang itu matahari bersinar terang namun tak begitu terasa panas. Semilir angin yang berhembus sela-sela beberapa hutan kecil yang mereka lalui cukup memberi rasa damai di hati Arum Sari. Namun tidak demikian bagi para tawanan yang merasa perjalanan ini sangat mencekam. Sebagian tawanan adalah prajurit Majapahit di bawah pimpinan Patraman dan telah membayang di benak mereka tentang hukuman yang menanti.